Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Kamu Mau Nebus Dosa, Ya?"

23 September 2014   16:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:50 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah pertanyaan yang terlontar dari Kompasianer Babeh Helmi saat kami bertemu di sebuah acara di Jakarta Selatan. Pertanyaan yang muncul setelah tahu saya bekerja di Indonesia Mengajar.

Mungkin maksudnya menebus dosa sekian lama tinggal di luar negeri.

Serius atau tidak, saya memikirkannya sampai saya pulang. Sebagaimana orang Indonesia lain yang tinggal lama di luar negeri, pertanyaan mengenai nasionalisme itu adalah pertanyaan yang selalu muncul. Mengapa harus kuliah ke luar negeri, mengapa harus tinggal di sana, mengapa ini dan itu, lalu berujung pada pertanyaan mengenai kecintaan pada Indonesia. Seakan-akan tinggal di luar negeri berarti saya tak cinta Indonesia. Belum lagi jika menulis tentang bagusnya negara lain, pasti ada saja komentar nggak enak yang nyelip, semacam "pindah saja ke negara lain, mbak".

Ya itu, seakan-akan saya berdosa karena tinggal lama di luar negeri.

Padahal saya cinta Indonesia, secinta-cintanya.

Pada akhirnya memang saya pulang, setelah lima tahun mengembara. Dan ketika akhirnya memutuskan bergabung dengan manajemen Indonesia Mengajar, keputusan itu sebenarnya keputusan yang sederhana dan tidak saya pikirkan motivasi ruwetnya. Saya ingin melakukannya, sesederhana itu.

Namun sama seperti keputusan lainnya yang saya buat berdasar intuisi, mengapa saya bisa sampai pada keputusan itu bisa ditarik mundur jauh ke belakang, karena keputusan itu merupakan kondensasi berbagai peristiwa yang terjadi sekian tahun sebelumnya.

By any means, I was raised a happy kid.

Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kondusif dan oleh orang tua yang keduanya sama hebatnya. Mengenyam pendidikan yang baik, di rumah masih mendapat pengayaan yang lebih baik karena ayah dan ibu keduanya guru. Sedari kecil saya sudah dicekoki dengan uraian dan teladan betapa pendidikan yang baik itu penting untuk membentuk karakter.

Hanya saja, kedua orang tua saya menyadari benar, bahwa pendidikan formal bukanlah satu-satunya cara untuk mendidik. Lepas SMP, saya ‘dikeluarkan’ dari rumah, masuk ke sebuah sekolah berasrama yang memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler pengembangan karakter. Homestay, live in, kerja mandiri untuk menggalang dana bakti sosial, hingga mengajar anak-anak Sekolah Minggu di daerah-daerah. Di sana saya belajar membuka mata dan hati, tak semua orang seberuntung saya, dan bahwa saya bisa memberikan secuil bantuan pada mereka, entah itu uang, waktu, tenaga, atau perhatian, yang sesungguhnya berarti meski terlihat sepele.

Saya juga mengagumi Tenzing Norgay, sherpa yang mendampingi Sir Edmund Hillary menaklukkan Everest. Dalam sebuah wawancara, ketika ditanya apakah dirinya tidak ingin menjadi orang pertama dalam sejarah yang menaklukkan Everest, Norgay menjawab, “tujuan hidup saya adalah mengantarkan orang lain mencapai mimpinya.”

Dari Norgay saya disadarkan, bahwa tidak semua orang memiliki mimpi untuk berada di bawah kilau keberhasilan, ada sosok-sosok tak dikenal yang berdiri di belakang, mengantar.

Pengalaman saya semasa SMA dan permenungan akan sosok Norgay yang membuat saya yakin bergabung dengan kepengurusan perdana Universitas Terbuka di Taiwan di tahun 2011. Pekerjaan yang melelahkan, tidak menjanjikan bayaran, tidak berada di bawah kemilau ketenaran; namun tujuannya mulia: membantu para tenaga kerja Indonesia di Taiwan untuk merasakan pendidikan tinggi, dengan harapan tinggi bahwa kemudian mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

After all those sleepless nights and exhausting days; I was happy. I am still happy.

Keinginan bergabung di Indonesia Mengajar pun dilandari motivasi serupa. Indonesia Mengajar, dengan gerakannya yang terlihat sederhana (apa yang istimewa dari menyediakan guru?), justru memanggil orang-orang luar biasa. Gaungnya tak jua hilang, bahkan semakin keras. Memanggil anak-anak muda untuk meninggalkan kemapanan dan berkarya di desa. Menjadi pendorong mimpi anak-anak di sana untuk mengejar cita setinggi angkasa. What do they get? Not money, but a lesson lasting for a lifetime.

Saya ingin menjadi bagian dari tim di balik layar Indonesia Mengajar, ingin memiliki kesempatan bertemu dengan orang-orang luar biasa yang mencetuskan idenya, juga tim penggerak dan pelaksana yang tentu tidak kecil dedikasinya. Dengan menjadi bagian dari Indonesia Mengajar, setidaknya saya bisa memberikan sumbangan bagi Indonesia. No matter how small.

Ini iuran saya untuk Indonesia. Ini aksi saya untuk Indonesia.

Much love,

-Citra

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun