Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bonus Demografi, Bonus Tantangan, Bonus Solusi

8 Oktober 2014   00:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:59 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Twit ini muncul di linimasa saya kemarin. Twit yang secara sederhana mewakili kegundahan saya mengenai prospek kependudukan Indonesia dan ASEAN Economic Community (AEC) yang akan "menjadi nyata" tahun depan, tahun 2015.

Statistik kependudukan Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi antara tahun 2025-2035. Secara sederhana, bonus demografi adalah peluang yang didapat suatu negara karena proporsi penduduk usia produktifnya lebih tinggi dibanding rentang usia lain. Jika dimanfaatkan dengan baik, bonus demografi ini akan meningkatkan perekonomian, karena tingginya jumlah penduduk yang bekerja, membayar pajak, sekaligus (mungkin) menabung yang artinya meningkatkan tabungan nasional, dan membelanjakan penghasilan mereka, menggerakkan roda perekonomian suatu negara.

Namun apakah itu benar-benar bonus?

 

Bonus Tantangan

Sadar tidak sadar, pendidikan di Indonesia ini didesain untuk membuat penduduk Indonesia tidak memiliki ijazah SMA.

Kira-kira setengah tahun lalu, Pak Anies Baswedan menyampaikan ini kepada calon Pengajar Muda Indonesia Mengajar angkatan VIII. Pada kenyataannya memang begitu, jika diurutkan, jumlah SD lebih banyak dari SMP, jumlah SMP lebih banyak dari SMA. Sistem pendidikan kita "didesain" untuk membuat kita tidak banyak yang bisa mengenyam pendidikan hingga SMA. Bagaimana pendidikan bisa merata jika jumlahnya saja tidak seimbang?

Statistik tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah SD/MI di Indonesia adalah 177.539, SMP/MTs 49.486, SMA/MA 19.173. Secara kasar, jumlah sekolah untuk jenjang berikutnya (SD-SMP dan SMP-SMA) hanya sepertiga dari jumlah sekolah di bawahnya. Tak heran, riset UNDP di tahun 2011 menyebutkan bahwa rata-rata lama sekolah di Indonesia adalah 5,8 tahun.

Itu di abad 21, millenium, dan angka menunjukkan bahwa kita masih belum lulus SD.

Bonus demografi memberikan prospek untuk peningkatan ekonomi suatu negara, namun di sisi lain memberikan tantangan. Satu tantangan besar yang ada di depan mata adalah jumlah lapangan pekerjaan. Percuma ada banyak tenaga kerja (tahun 2013 saja ada sekitar 114 juta pekerja) bila tidak semuanya terserap dengan baik. People will be craving for jobs, and not just jobs, but better ones. Tak hanya lapangan pekerjaan saja, melainkan pekerjaan yang lebih baik. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang tinggi, pembukaan lapangan kerja yang stabil mutlak diperlukan untuk menyerap sekian banyak tenaga kerja dan 'memetik' buah dari bonus demografi. Ini mensyaratkan adanya industri padat karya, yang menyerap banyak tenaga kerja sekaligus (large labour-absorbing industries). Bonus demografi --> penduduk usia produktif tinggi --> perlu lapangan pekerjaan banyak --> perlu industri padat karya. Efek bola salju bonus demografi ini tidak berhenti hanya sampai di perlunya industri padat karya, lebih jauh lagi mensyaratkan pelatihan dan/atau pendidikan yang layak untuk tenaga kerja dan land clearance.

There, I said it.

Dua hal penting yang diperlukan untuk menunjang stabilitas perekonomian dalam kaitannya dengan lapangan pekerjaan dan industri padat karya adalah pelatihan dan/atau pendidikan dan land clearance. Membahas singkat mengenai land clearance, industri besar padat karya, apalagi manufacturing, tentu memerlukan lahan yang luas pula. Dan tantangannya adalah: Pulau Jawa yang menjadi favorit sebagian besar penduduk Indonesia untuk tinggal dan bekerja sudah mulai tidak nyaman dihuni.

Bicara soal pendidikan. Ketika perjanjian ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan implikasinya ke AEC mulai diterapkan tahun depan, penduduk usia produktif di Indonesia tidak hanya akan bersaing dengan sesama penduduk Indonesia, melainkan juga dengan semua penduduk ASEAN di kisaran usia yang sama. Meskipun ini tidak berarti akan ada free flow of labour, dalam kenyataannya izin dan birokrasi untuk pekerja terampil (skilled labour) akan dipermudah, misalnya dokter, ilmuwan, perawat, insinyur, arsitek, hingga akuntan. Maka benarlah apa yang dikatakan Aditya Sani di atas, tahun depan, lulusan S1 Indonesia akan langsung berhadapan dengan lulusan S1 negara ASEAN lain.

1412675616222626301
1412675616222626301
Siapkah mereka bersaing?

Lalu bagaimana dengan mereka yang lulus SD saja tidak?

Tantangan multi dimensi untuk pemerintah, karena dari sononya masalah pendidikan bukanlah masalah yang bisa selesai dengan membangun sekolah atau mengirimkan guru. Tantangan yang juga pelik bagi kaum muda yang akan/sudah memasuki masa produktif, bagaimana meningkatkan kompetensi diri untuk bersaing.

 

Bonus Solusi

Berbicara mengenai tantangan, tentulah ada window of opportunity.

Kesempatan untuk peningkatan kualitas pendidikan, misalnya. Pendidikan formal haruslah tetap berjalan, diamati, dan dievaluasi sehingga rata-rata lama penduduk Indonesia di sekolah bisa naik. Membangun sekolah baru, mengirimkan banyak guru, memperbaiki kurikulum dan fasilitas. Untuk mempersiapkan tenaga kerja yang siap bersaing, tak hanya mengenai level IQ, keterampilan lain dan tentunya kemampuan berbahasa Inggris sangat diperlukan, juga dengan pengetahuan mengenai informatika. Suka tidak suka, kini kita hidup di era digital.

Sementara industri padat karya yang berada di sektor primer (tambang dan mineral) sudah terlihat jenuh, dan dengan demikian tidak bisa memberikan lapangan pekerjaan yang lebih daripada sekarang, sektor sekunder (manufacturing) menjadi tumpuan. Indonesia bisa jadi tertolong karena iklim perekonomian yang baik dan upah minimum regional yang rendah, beberapa perusahaan raksasa luar negeri seperti Foxconn menjadikan Indonesia sebagai lokasi produksi baru. Pabrik rekanan Apple ini di China mempekerjakan sekitar 1 juta orang dan kabarnya sudah menandatangani letter of intent untuk berinvestasi di Indonesia. Bila ini berjalan baik, didukung dengan aturan yang tak hanya menguntungkan perusahaan dan negara, namun juga sekaligus melindungi hak-hak pekerja, Indonesia (dan negara-negara ASEAN pada umumnya) bisa menjadi daerah tujuan baru perusahaan manufacturing raksasa dunia untuk berinvestasi.

Hawa segar dan semangat baru yang berhembus di dunia kreatif sejak kampanye pemilihan presiden tahun ini haruslah dicermati dan dikembangkan. Sementara sektor primer dan sekunder berjalan begitu-begitu saja, pemerintah bisa mengelola dan mengembangkan sektor tersier, yaitu jasa, retail, keuangan, hingga wisata. Bicara soal wisata saja, Indonesia adalah surga. Pantai, gunung, kuliner, Indonesia kaya akan itu semua. Dukungan pemerintah dalam melihat peluang di sektor ini sangat dibutuhkan oleh pelaku industri kreatif. Hingga bulan September 2014, jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia sudah mencapai 6 juta. Tidak bisa dipungkiri bahwa bila dikelola dengan serius, sektor pariwisata bisa mendukung perekonomian Indonesia dan sekaligus menyerap tenaga kerja: sebagai guide, karyawan hotel, restoran, perajin cenderamata, dan sebagainya.

Ada yang suka kerja kantoran, ada juga yang suka punya kantor maya. Berbicara mengenai era digital, Indonesia adalah lahan subur untuk berbagai start up yang menggunakan internet dan sosial media sebagai medium utama untuk mempromosikan dan menjual karya mereka. Tak hanya untuk mereka yang memiliki online shop, banyak pekerja lepas (freelance) yang bergantung pada koneksi internet untuk memamerkan hasil karya mereka. Because the digital world is limitless. Di dunia digital, kita bisa menjual servis/kemampuan kita ke siapapun, regardless of location. Saya pun salah satunya, menjual kemampuan bahasa Inggris dan menulis ilmiah saya dalam bentuk jasa proof-reading/editing/translating. Klien lintas benua pun tak masalah (jika internetnya stabil). Di sini peranan pemerintah adalah mendukung peningkatan layanan internet dan perlindungan untuk karya-karya kreatif anak-anak muda Indonesia.

Jadi internet cepat buat apa?

Ya buat kerja, Pak.

Bonus demografi memang sepaket dengan bonus tantangan, tapi juga masih ada bonus lainnya: opportunity and solution. Menyelesaikan masalah bersama yang tidak bersifat uni-dimensional seperti ini memerlukan sinergi dari banyak pihak, tak peduli pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Iuran dari berbagai kalangan.

Karena Indonesia bisa kuat bila semuanya bergandengan tangan untuk saling menguatkan.

XOXO,

-Citra

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun