Twit ini muncul di linimasa saya kemarin. Twit yang secara sederhana mewakili kegundahan saya mengenai prospek kependudukan Indonesia dan ASEAN Economic Community (AEC) yang akan "menjadi nyata" tahun depan, tahun 2015.
Statistik kependudukan Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi antara tahun 2025-2035. Secara sederhana, bonus demografi adalah peluang yang didapat suatu negara karena proporsi penduduk usia produktifnya lebih tinggi dibanding rentang usia lain. Jika dimanfaatkan dengan baik, bonus demografi ini akan meningkatkan perekonomian, karena tingginya jumlah penduduk yang bekerja, membayar pajak, sekaligus (mungkin) menabung yang artinya meningkatkan tabungan nasional, dan membelanjakan penghasilan mereka, menggerakkan roda perekonomian suatu negara.
Namun apakah itu benar-benar bonus?
Â
Bonus Tantangan
Sadar tidak sadar, pendidikan di Indonesia ini didesain untuk membuat penduduk Indonesia tidak memiliki ijazah SMA.
Kira-kira setengah tahun lalu, Pak Anies Baswedan menyampaikan ini kepada calon Pengajar Muda Indonesia Mengajar angkatan VIII. Pada kenyataannya memang begitu, jika diurutkan, jumlah SD lebih banyak dari SMP, jumlah SMP lebih banyak dari SMA. Sistem pendidikan kita "didesain" untuk membuat kita tidak banyak yang bisa mengenyam pendidikan hingga SMA. Bagaimana pendidikan bisa merata jika jumlahnya saja tidak seimbang?
Statistik tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah SD/MI di Indonesia adalah 177.539, SMP/MTs 49.486, SMA/MA 19.173. Secara kasar, jumlah sekolah untuk jenjang berikutnya (SD-SMP dan SMP-SMA) hanya sepertiga dari jumlah sekolah di bawahnya. Tak heran, riset UNDP di tahun 2011 menyebutkan bahwa rata-rata lama sekolah di Indonesia adalah 5,8 tahun.
Itu di abad 21, millenium, dan angka menunjukkan bahwa kita masih belum lulus SD.
Bonus demografi memberikan prospek untuk peningkatan ekonomi suatu negara, namun di sisi lain memberikan tantangan. Satu tantangan besar yang ada di depan mata adalah jumlah lapangan pekerjaan. Percuma ada banyak tenaga kerja (tahun 2013 saja ada sekitar 114 juta pekerja) bila tidak semuanya terserap dengan baik. People will be craving for jobs, and not just jobs, but better ones. Tak hanya lapangan pekerjaan saja, melainkan pekerjaan yang lebih baik. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang tinggi, pembukaan lapangan kerja yang stabil mutlak diperlukan untuk menyerap sekian banyak tenaga kerja dan 'memetik' buah dari bonus demografi. Ini mensyaratkan adanya industri padat karya, yang menyerap banyak tenaga kerja sekaligus (large labour-absorbing industries). Bonus demografi --> penduduk usia produktif tinggi --> perlu lapangan pekerjaan banyak --> perlu industri padat karya. Efek bola salju bonus demografi ini tidak berhenti hanya sampai di perlunya industri padat karya, lebih jauh lagi mensyaratkan pelatihan dan/atau pendidikan yang layak untuk tenaga kerja dan land clearance.
There, I said it.