Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Aku dan Buku

17 Oktober 2014   18:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:40 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Back when I was in elementary and junior high school, reading wasn't cool. Iya, di masa itu, saya justru dicap sebagai si kutu buku yang konotasinya notabene seseorang yang kuper, tidak gaul. Toko buku belum menjamur, membaca belum menjadi bagian dari sesuatu yang keren. Saya pulang sekolah ke tempat penyewaan komik/perpustakaan, sementara anak gaul nongkrong di mana gitu.

Tapi saya tidak tersinggung atau minder. Buku mengalihkan dunia saya dari kegelisahan tidak penting karena dianggap tidak keren.

Bapak adalah orang yang bertanggung jawab atas adiksi saya pada buku. Buku-bukunya adalah buku-buku pertama yang saya baca. Karena kedua orangtua saya adalah guru, buku yang sedianya untuk mengisi perpustakaan sekolah sering sekali diantarkan ke rumah (dari dinas pendidikan). Buku-buku yang masih terikat rafia itu sering saya ambil diam-diam, saya baca dengan khusuk sepulang sekolah, lalu saya kembalikan ke tempatnya. Saya ingat, bukunya banyak sekali tentang fabel dan cerita rakyat. Timun Emas, Keong Mas, Cindelaras, Sangkuriang, hingga legenda Batu Menangis. Dari sana saya belajar mengenai kearifan lokal yang kaya.

Agak besar sedikit, saya boleh membaca majalah. Bobo sudah tentu. Hanya saja ada dua majalah anak-anak lain yang mendominasi masa kecil saya, yaitu Ceria dan Si Kuncung. Ceria merupakan singkatan dari Cerita Ilmu dan Akhlak (*hehe). Isinya bermacam-macam, dari puisi, cerpen, konsultasi dokter, sampai latihan soal. Halamannya banyak berwarna, sehingga menyenangkan untuk dibaca. Si Kuncung ini unik, kertasnya semacam kertas buram, buluk-buluk gitu (*hahahaha). Kisah-kisah di dalamnya amat beragam dan mengajarkan banyak hal, mulai dari toleransi, keberanian, tenggang rasa, kejujuran. Ada pula cerita-cerita lucu yang dekat dengan kejadian sehari-hari. Ada pula cerita bersambung mengenai cinta dan bela negara, sekelompok remaja yang berani memanggul senjata melawan penjajah.

Pendek kata, masa kecil saya kaya dengan cerita.

Beranjak remaja, bacaan saya mulai bergeser ke Trio Detektif, Lima Sekawan, dan STOP. Juga ke St. Clare, Si Badung, dan Malory Towers. Bukannya selera saya yang kebarat-baratan (karena semua impor), ada juga yang dari penulis Indonesia namun terbatas. Dari buku-buku barat itu saya tahu banyak mengenai keadaan sekolah di Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara lain. Tahu pula tentang budaya dan lansekap di sana. Dan yang lebih penting: mengenai nilai-nilai universal yang bisa tertuang dinamis dan nyaman dibaca remaja. Sungguh, saya merindukan bacaan remaja seperti ini, karena toh hingga sekarang, jarang penulis yang mau berkonsentrasi menulis di genre remaja. Kisah yang menawarkan nilai-nilai seperti Malory Towers, misalnya, sudah sangat ketinggalan setting-nya, juga gaya bahasanya. Padahal nilai-nilai yang terkandung di sana bisa menjadi bahan permenungan dan teladan: tentang setia kawan, tentang kedisiplinan, tentang cinta keluarga. Mungkin memang menulis untuk remaja sulit dibanding anak-anak atau dewasa. Atau memang pasarnya tidak ada?

Beranjak dewasa hingga sekarang, hidup saya tak lepas dari buku. Ketika bahasa Inggris saya sudah cukup lancar, saya memilih untuk membaca buku dalam bahasa aslinya. Sudah lama saya bertanya apakah membaca buku dalam bahasa aslinya akan memberikan sensasi berbeda atau tidak. Nyatanya, iya. Sebaik apapun sebuah terjemahan, selalu ada sesuatu yang hilang. Lost in translation. Dengan membaca buku dalam bahasa aslinya, saya tak hanya belajar menambah kosakata, juga merasuk dalam kepala si penulis, menelaah kata-kata aslinya. I feel connected.

Saya berhutang banyak pada buku-buku yang saya baca. Dari buku-buku itu saya belajar meluaskan pandang dan melebarkan ruang berpikir. Banyak sekali pelajaran yang tidak bisa saya dapat di sekolah, saya dapatkan di buku. Banyak tempat yang tidak bisa saya kunjungi di dunia nyata, bisa saya hinggapi dalam waktu singkat dengan buku. Banyak perbedaan yang tidak bisa saya pahami karena tak mengalami, bisa saya dekati dengan membaca buku.

14135214121898661047
14135214121898661047
Di perpustakaan keluarga, saya menemukan bhinneka. Buku memang meluaskan pandang, melebarkan pikiran.

Yuk membaca,

-Citra

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun