Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Perlunya Sopir Taksi Pintar

20 November 2014   17:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:19 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terakhir kali naik taksi di Jakarta beberapa hari lalu, sopirnya tidak tahu jalan dari kosan saya (di Setiabudi) ke sebuah kantor di bilangan Jakarta Barat. Mulanya mengatakan tahu, namun beberapa saat kemudian si bapak salah belok yang mengakibatkan kami harus memutar jauh. Pada akhirnya saya yang harus menunjukkan jalan, padahal setiap naik taksi saya maunya melihat ke luar jendela dan melamun. Saya kemudian bertanya, "Memangnya pas masuk nggak pake tes jalan, Pak?" yang dijawab dengan "Pake sih neng, tapi jalan utama aja".

Krik krik krik.

Memang tidak setiap sopir taksi yang saya jumpai seperti itu. Yang tahu jalan sampai ke gang-gang gelap tak bernama juga banyak. Hanya saja, tidak sekali dua kali saya menjumpai sopir taksi di Jakarta yang kurang tahu jalan, padahal berada di bawah perusahaan taksi terkenal, yang saya asumsikan terkenal bukan hanya karena armada yang baik, juga mengenai pelayanan. Tak jarang ketika naik taksi dan menyebutkan tujuan, sopirnya balik bertanya, "Ini lewat mana ya mbak?"

Momen krik krik krik berulang.

Di Taipei, meski jarang menggunakan taksi (buka pintu aja udah 21.000!), saya banyak mendengar cerita dan rekomendasi teman lokal bahwa taksi di Taipei itu bisa banget diandalkan. Tak hanya karena argo yang menurut mereka (orang lokal) bersahabat, juga karena sopir taksi di sana tahu jalan dan tidak menipu. Saya pun melihat ketika Uber dan taksi yang menggunakan GPS muncul di Taipei, taksi kuning biasa yang beredar di jalanan lebih banyak dipilih. Dari hasil bincang bintang (*halah) dengan sopir taksi di sana, si bapak mengatakan, "Belum pantas jadi sopir taksi kalau belum tahu jalan-jalan tikus di Taipei, neng!"

Pembicaraan selanjutnya adalah mengenai "masa belajar" calon sopir taksi sebelum melamar ke perusahaan taksi dan menjalani tesnya. Berhubung pengetahuan rute, termasuk di antaranya jalur alternatif, jam buka tutup jalan tertentu, mana yang satu arah, sampai menemukan alamat yang tidak biasa (alias nyelip) itu krusial, kata si bapak, calon sopir taksi di Taipei biasanya menghafalkan rute dulu dengan naik sepeda/sepeda motor keliling-keliling kota. Dalam hati saya berkata, "Pantes sopir taksi di sini disebutkan jalan langsung nangkep dan tahu lewat mana".

Cerita si bapak sopir taksi di Taipei ini mengingatkan saya pada The Knowledge, istilah yang mengacu pada pengetahuan seorang sopir taksi di London. Saya pernah mendengar ceritanya dari seorang teman asal Inggris, bahwa untuk jadi sopir taksi di London itu ujiannya setengah mati susahnya, karena ujiannya menghafalkan semua jalan yang ada di London. Saya kutipkan satu paragraf dari artikel tadi,

"To achieve the required standard to be licensed as an “All London” taxi driver you will need a thorough knowledge, primarily, of the area within a six-mile radius of Charing Cross. You will need to know: all the streets; housing estates; parks and open spaces; government offices and departments; financial and commercial centres; diplomatic premises; town halls; registry offices; hospitals; places of worship; sports stadiums and leisure centres; airline offices; stations; hotels; clubs; theatres; cinemas; museums; art galleries; schools; colleges and universities; police stations and headquarters buildings; civil, criminal and coroner’s courts; prisons; and places of interest to tourists. In fact, anywhere a taxi passenger might ask to be taken."

Iya sih cuma radius 6 mil, sekitar 9,5 km, tapi jalanan di radius itu jumlahnya lebih dari 25.000! Beuh. Mau jadi sopir taksi sesusah itu, dan memang perlu, karena yang namanya penyedia layanan transportasi ya sudah layak dan sepantasnya harus memiliki pengetahuan menyeluruh mengenai rute.

Taksi di Jakarta sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari moda transportasi umum, karena keberadaannya yang di mana-mana dan kurang bisa diandalkannya moda transportasi umum yang lain. Hanya saja kualitas dan pengetahuan sopir taksi barangkali belum menjadi hal yang diprioritaskan. Yang penting bisa menyetir, tahu jalan arteri, beres. Lepas dari soal kejujuran (sopir taksi yang tidak menyesatkan), bagi saya masalah pengetahuan soal jalan ini krusial. Kenyamanan penumpang itu tak hanya diukur dari AC yang dingin atau sopir yang ramah, juga sopir yang pintar, alias sigap dan mengerti rute.

Jakarta luas, neng. Iya benar, tapi ya sebaiknya jangan merendahkan kompetensi diri dengan menyalahkan faktor geografis.

Ya supaya momen krik krik krik tadi tidak berulang. Supaya pengguna taksinya senang riang gembira. Gembira itu menular, dan bisa banget menular viral. Penumpang senang, sopir taksi riang karena banyak penumpang. Yeaaaay!

XOXO,

-Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun