Saya banyak diam sepanjang perjalanan.
Saya tahu bahwa banyak anak-anak yang harus menempuh perjalanan berat ini untuk menuju sekolah mereka. Saya juga tahu guru-guru mengalami hal yang sama. Harus berangkat pagi demi mengejar jam masuk sekolah. Perjalanannya tentu bukan 10 menit, 20 menit, setidaknya satu jam berkendara menembus sepinya perkebunan dan beratnya jalan. Setiap hari. Dua kali, pulang pergi. Bagi para guru, perjalanan panjang mereka bisa menjadi dua tiga kali lipatnya ketika harus ke "kota" kecamatan atau kabupaten, dengan biaya yang juga berlipat.
Melihat masalah-masalah yang ada di depan mata, sangat normal jika saya jadi depresi.
Hanya saja, saya menemukan banyak cerita. Perjalanan dua minggu saya dijalin oleh benang merah yang sama: yang ada bukan masalah, melainkan tantangan; yang ada bukan kekhawatiran, melainkan harapan. Semua sekolah dasar yang saya tuju memang aksesnya sulit, dan saya menemukan dua kesamaan lain: guru-guru berdedikasi yang menghangatkan hati dan anak-anak yang semangatnya tak henti membuat saya tersenyum. Segala kesulitan itu adalah tantangan yang mereka hadapi dengan senyum dan kepercayaan. Mutiara memang tetap mutiara meski terbenam dalam lumpur. Saya tersenyum bangga mendengar cerita anak-anak dari "talang" (perkampungan kecil yang hanya terdiri dari 20-30 KK, berada di tengah kebun karet) dan sekolah pinggir sungai yang bisa berprestasi sampai ke tingkat nasional. Saya bahagia bertemu guru-guru, penggerak daerah, local champion, yang mau membaktikan diri untuk tetap bertahan karena yang namanya berjuang itu tak bisa hanya dengan ujar dan semboyan.
Mereka tak memilih untuk menjadi pesimistik. Saya pun ikut memilih untuk tetap bersemangat. Mereka menunjukkan pada saya satu cinta yang hangatnya menular cepat.
XOXO,
-Citra