Mohon tunggu...
Citra Nanda Agung Subekti
Citra Nanda Agung Subekti Mohon Tunggu... Mahasiswa - UPN "Veteran" Yogyakarta

Mahasiswi jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kegagalan ASEAN dalam Upaya Perdamaian di Myanmar

30 April 2023   23:55 Diperbarui: 1 Mei 2023   19:09 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik domestik yang terjadi di Myanmar telah terjadi sejak tahun 1962, dimana kelompok militer menentang rezim yang sedang berkuasa di Myanmar. Konflik tersebut kemudian berkembang dan melahirkan kudeta yang mengancam keamanan negara Myanmar. Kudeta di Myanmar kembali terjadi pada 1 Februari 2021 lalu oleh junta militer Myanmar (Tatmadaw). Kemenangan telak Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada pemilihan umum November 2020 silam menjadi alasan konflik di Myanmar kembali terjadi.  Kemenangan tersebut dianggap hasil dari kecurangan NLD dan pihak Tatmadaw menuntut untuk melakukan pemungutan suara ulang.

Para pemimpin NLD termasuk Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi ditangkap sebagai tahanan rumah dan kekuasaan negara dipegang oleh Jendral Min Aung Hlaing. Tatmadaw kemudian menetapkan status keadaan darurat di Myanmar hingga Agustus 2023. Setelah keadaan darurat tersebut selesai, Tatmadaw merencanakan untuk melakukan pemilu ulang dengan bebas dan adil. Status keadaan darurat yang ditetapkan tersebut mendapat tentangan dari masyarakat sehingga terjadi demonstrasi besar-besaran. Menanggapi hal tersebut, Tatmadaw kemudian menerapkan aturan jam malam, pemutusan jaringan internet, pembatasan kerumunan, hingga penggunaan kekerasan.

Seiring berjalannya waktu, konflik yang terjadi di Myanmar tak lagi hanya  manyangkut permasalahan politik namun telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan. Terdapat sebanyak 1.500 korban jiwa serta 11.838 tawanan yang ditangkap oleh pihak militer. Selain itu terdapat pula sejumlah 405.700 warga Myanmar yang mengungsi sejak Februari 2021 hingga Januari 2022 dan sebanyak 6,2 juta orang diprediksi akan membutuhkan bantuan kemanusiaan darurat pada tahun ini. 

Krisis kemanuasiaan yang terjadi akibat konflik di Myanmar ini kemudian menarik perhatian dunia internasional untuk turut membantu menyelesaikan konflik yang ada. Respon yang diterima Myanmar di dunia internasional sangat beragam. beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, dan Uni Eropa mengecam tindakan kudeta tersebut serta menetapkan sanksi ekonomi terhadap Tatmadaw karena dianggap telah melanggar hak asasi manusia. Negara-negara anggota ASEAN memiliki respon yang berbeda. Beberapa negara seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina berpendapat bahwa konflik yang terjadi di Myanmar tersebut merupakan konflik internal yang tidak perlu di intervensi. Sedangkan negara seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia merespon dengan menyerukan pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan sangketa secara damai.

Meskipun respon negara-negara anggota ASEAN berbeda, ASEAN sebagai organisasi kawasan di Asia Tenggara tetap melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik di Myanmar tersebut. Dalam upayanya tersebut, ASEAN menetapkan lima poin konsesnsus terhadap Myanmar. Pertama, kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan dan semua pihak yang terlibat harus menahan diri. Kedua,  dialog konstruktif di antara semua pihak terkait mulai mencari solusi damai untuk kepentingan rakyat.

Ketiga, mediasi proses dialog difasilitasi oleh utusan khusus Ketua ASEAN dengan bantuan Sekretaris Jendral ASEAN. Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre. Dan kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.

Namun pada kenyataannya, upaya ASEAN dalam mencapai perdamaian di Myanmar melalui lima poin konsensus masih belum terwujud. Myanmar tetap menjalankan kudeta dengan menerapkan kekerasan dan tindakan pelanggaran kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu, Kamboja sebagai ketua ASEAN melanjutkan berbagai upaya guna mencapai perdamaian tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mengundang perwakilan non-politik dari Myanmar pada pertemuan retreat para Menteri Luar Negeri ASEAN yang dilaksanakan pada 17 Februari 2022. Namun sayangnya Myanmar memilih untuk tidak berpartisipasi dengan tidak mengirimkan perwakilan non-politiknya.

Berbagai upaya telah dilancangkan ASEAN hingga akhirnya pimpinan ASEAN berhasil berdialog dengan pihak Tatmadaw, namun tidak dengan Suu Kyi. Dialog tersebut membahas mengenai keputusan untuk memperpanjang waktu gencatan senjata antara Tatmadaw dan kelompok bersenjata etnis hingga akhir 2022, penyelenggaraan pertemuan konsultatif antara Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar, Sekretaris Jendral ASEAN, perwakilan AHA Centre, Gugus Tugas NAsional Myanmar, Palang Merah Myanmar, dan pengiriman bantuan kemanusiaan oleh badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta pengalaman proses perdamaian yang terjadi di Kamboja. 

Langkah yang dilakukan Kamboja sebagai ketua ASEAN tersebut dianggap sebagai permulaan dalam membangun kembali hubungan antara Myanmar dan ASEAN yang telah renggang pasca kudeta militer. Langkah ini juga diharapkan dapat mengokohkan kembali pengimplementasian Lima Poin Konsensus yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun dalam pelaksanaannya, pihak-pihak yang terlibat dalam dialog tersebut terus memperjuangkan kepentingan masing-masing alih-alih bernegosiasi.  Selain itu, bantuan kemanusiaan yang telah diberikan kepada Myanmar justru ditimbun dan tidak didistribusikan ke masyarakat yang membutuhkan. 

Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa Kamboja sebagai ketua dari ASEAN telah gagal untuk membuat kemajuan dalam upaya perdamaian di Myanmar. Ketidakmampuan Kamboja untuk menemui Suu Kyi serta kegagalan dalam pendistribusian bantuan kemanusiaan menjadi hal yang sangat krusial dalam konflik ini.  Hal tersebut dikarenakan jalan untuk menuju perdamaian terdapat pada proses negosiasi dengan Suu Kyi dan pemimpin senior NLD lainnya serta keberhasilan dalam pendistribusian bantuan kemanusiaan adalah faktor kunci dalam Lima Poin Konsensus ASEAN. Oleh karena itu, Kamboja sebagai ketua di ASEAN diharapkan dapat melakukan upaya penuh untuk dapat melakukan pertemuan lanjutan dan berdialog secara langsung dengan Suu Kyi untuk membahas konflik yang terjadi dibawah rezimnya tersebut.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun