Pemimpin dan kepemimpinan adalah konsep yang tidak bisa dibagi secara struktural maupun fungsional. Ada beragam pemahaman soal pemimpin dan kepemimpinan, di mana pemimpin dianggap sebagai tokoh sentral yang menyatukan kelompok, sementara kepemimpinan didefinisikan sebagai keunggulan individu atau sekelompok individu dalam mengontrol gejala-gejala sosial (Ambarita, 2013: 13). Bagi seorang pemimpin, tingkat keberhasilan kepemimpinan akan semakin meningkat seiring dengan kemampuannya dalam memengaruhi lingkungan sekitarnya. Hal ini menciptakan hubungan timbal balik yang kuat, di mana kepemimpinan yang efektif akan memperkuat kemampuan pemimpin untuk menghasilkan perubahan yang signifikan. Sebaliknya, pemimpin yang tidak mampu menghasilkan perubahan positif akan semakin terpinggirkan dari posisi kepemimpinan yang kuat (Woworuntu, 2003: 75).
Gaya kepemimpinan merupakan kumpulan orientasi, strategi, perilaku, sikap, atau teknik yang ditumbuhkan oleh seorang pemimpin melalui metode berlatih dari dalam yang dipadukan dengan lika liku kehidupan dan berbagai macam informasi yang didapat dari zona eksternal. Metode tersebut kemudian digunakan oleh seorang pemimpin menjadi gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan mencakup corak yang konsisten dan menyeluruh dari orientasi, pandangan, pembawaanan, dan perbuatan seorang pemimpin, baik itu dalam bentuk fisik ataupun nonfisik, verbal ataupun nonverbal, langsung ataupun tidak langsung. Hal ini termasuk perilaku pemimpin yang dijadikan contoh oleh orang lain.
Dalam hal ini, gaya kepemimpinan merujuk pada gabungan yang tetap dari prinsip, orientasi, karakteristik, aksi, dan perbuatan yang menjadi dasar perilaku seorang pemimpin (Zainal, dkk., 2014). Konsep gaya kepemimpinan digunakan guna mengklasifikasikan jenis-jenis kepemimpinan juga menggambarkan cara komunikasi seorang pemimpin. Berdasarkan Rivai dan Mulyadi (2012: 45), gaya kepemimpinan paling tidak terdiri dari tiga standar, yaitu fokus pada pelaksanaan tugas, memprioritaskan hubungan kerjasama, dan menitikberatkan pada pencapaian hasil kerja.
Presiden kedua Republik Indonesia adalah Jenderal Besar TNI (Purn.) HM Soeharto, yang menjabat mulai 12 Maret 1967 hingga 21 Mei 1998. Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921 di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Dia meninggal pada tanggal 27 Januari 2008. Orang tua Soeharto adalah Kertosoediro dan Soekirah. Soeharto merupakan tokoh militer terkemuka Indonesia yang memiliki kontribusi besar dan dikenal luas selama periode perjuangan kemerdekaan (1942-1949). Soeharto adalah salah satu tokoh militer terkenal dan terkenal di Indonesia. Saat Agresi Militer Belanda II terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, Soeharto menjadi komandan Wehrkreise III Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel. Dia adalah salah satu perwira menengah yang paling terkenal di TNI selama perang kemerdekaan.Ia adalah pemimpin yang dihormati dan disayangi oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. (Hamish, 2008).
Instabilitas politik dan penundaan rencana pembangunan ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno adalah masalah besar saat terjadi peralihan dari Orde Lama menuju Orde Baru. Akibatnya, militer mengontrol politik Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru, meskipun di bawah kepemimpinan Soeharto, politik semakin tersentralisasi pada 1980-an. Dengan konsolidasi kekuasaan di era Orde Baru, militer memiliki ruang yang cukup untuk menguasai proses politik. Militer mempunyaii saluran tak terbatas untuk mengelola situasi, termasuk masalah politik domestik, melalui Kopkamtib dan BAKIN.Â
Untuk mendukung Orde Baru, dominasi militer dimulai dengan pembersihan kelas (komunis) yang sistematis di berbagai tempat. Militer mengambil alih desa-desa yang diduduki oleh petani komunis (BTI) dan menguasai aktivis buruh di perusahaan perkebunan Sumatera (SOBSI). Dari peran penting petani dan buruh dalam politik membuat patuh tidak ada penentangan di bawah militer, perebutan dan pendudukan ini menunjukkan pergeseran drastis dalam hubungan kekuasaan. Setelah itu, militer memiliki otoritas absolut atas urusan politik nasional.
Pada awal pemerintahannya, Orde Baru secara sistematis merestrukturisasi politik untuk mengkonsolidasikan elemen kekuasaan dan menciptakan stabilitas politik yang terkontrol untuk memastikan kelancaran pembangunan. Paradigma Orde Baru berpendapat bahwa pembangunan ekonomi hanya dapat terjadi jika ada stabilitas politik. Menurut paradigma ini, stabilitas ini dapat dicapai dengan mudah jika dikombinasikan dengan kekuasaan sentralistik, yang akan mempermudah kontrol.
Bagaimana membuat sistem politik yang kuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan sektor lain adalah salah satu masalah utama dalam pemerintahan Orde Baru. Akibatnya, langkah pertama yang dilakukan adalah menggabungkan kontrol politik melalui birokrasi sipil dan militer. Orde Baru memperbaiki birokrasi dan mengontrol konflik militer, terutama Angkatan Darat. Pengaturan militer dilangsungkan secara teratur, dimulai dengan pembersihan perwira pro-Soekarno hingga perubahan struktur organisasi ABRI.
Doktrin dwi fungsi ABRI memperkuat dominasi militer. Doktrin ini membedakan tentara Indonesia dari tentara negara lain dengan memberi mereka misi khusus, termasuk tanggung jawab militer dan tanggung jawab pada semua bidang yang penting bagi negara. Doktrin ini membuat militer menganggap mempunyai alasan untuk ikut serta dalam sektor non-militer, yang biasanya merupakan area sipil.
Otoriter merujuk pada gaya atau sistem kepemimpinan yang cenderung otoriter, di mana kekuasaan dan kontrol terpusat pada seorang pemimpin atau pemerintah, sering kali tanpa adanya keterlibatan atau partisipasi yang signifikan dari masyarakat atau lembaga-lembaga lain. Dalam konteks politik, hal ini seringkali ditandai dengan pembatasan kebebasan sipil, penindasan terhadap oposisi politik, kontrol media, dan penggunaan aparat keamanan untuk menekan segala bentuk perlawanan atau kritik terhadap pemerintah.
Kepemimpinan otoriter efektif dalam situasi darurat yang membutuhkan arahan tegas untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah cedera, serta dalam keadaan yang membutuhkan pengaturan individu dalam kelompok besar. Meskipun gaya kepemimpinan ini efisien dalam mencapai tujuan dan menyelesaikan tugas, namun hal ini menekan kreativitas anggota kelompok dan bisa mengurangi efektivitas kelompok dalam jangka panjang. Kepemimpinan otoriter juga dapat menurunkan motivasi kelompok, membuat anggota kelompok lebih cenderung pasif-agresif, yang selanjutnya mengurangi efektivitas kelompok. Meskipun beberapa orang dapat menerima kontrol penuh dari pemimpin otoriter, banyak orang yang bekerja dengan tipe pemimpin seperti ini dalam jangka waktu lama cenderung merasa frustrasi dan kadang-kadang suka melawan.