Mohon tunggu...
Citra DiniYatie
Citra DiniYatie Mohon Tunggu... Bankir - bankir

profesional risk manager di bank BUMN

Selanjutnya

Tutup

Financial

Serba Serbi LTV

25 Juni 2019   23:37 Diperbarui: 26 Juni 2019   00:16 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh Brosur Harga Rumah

Bintaro, 2013.

Budi ternganga tak percaya. Ditatapnya brosur penawaran rumah itu dengan nanar. Dibolak-baliknya seperti sedang mencari sesuatu, namun tak jua ketemu.

Tapi memang tidak ada yang salah dengan brosur tersebut. Harga rumah sudah jauh melambung tinggi dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Apalagi di daerah "hot zone" seperti Bintaro, Serpong dan Cibubur. Rumah mungil dengan luas kurang dari 100 meter persegi bisa dibanderol seharga sekitar Rp1 miliar. 

Budi jelas tidak punya dana siaga senilai Rp1 miliar. Seperti layaknya keluarga muda lain di Indonesia yang baru pertama kali membeli rumah, ia berencana memanfaatkan fasilitas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dari perbankan. Pun demikian, cicilan per bulan sebesar Rp8 juta rupiah terasa sangat memberatkan. Itu memakan hampir seluruh gajinya.

Budi tak habis pikir, bagaimana bisa harga rumah bisa demikian menggila.... 

===

Periode 2012-2013 memang tercatat sebagai masa-masa unik dalam sejarah penjualan rumah di Indonesia. 

Pengembang seperti berlomba menawarkan produk mereka. Iklan rumah terpajang dimana-mana. Sebuah program televisi bahkan terkenal dengan jargon, "segera pesan unit Anda sekarang karena Senin harga naik!"

Anehnya, di tengah penjualan yang demikian gencar harga rumah justru terus naik. Bahkan seperti terbang tak terkendali. 

Siapa sebenarnya yang membeli hunian-hunian tersebut? 

Apakah mereka sedemikian kaya sehingga stok uangnya seperti tak terbatas dan tak berseri?

===

Penelitian oleh Bank Indonesia menemukan hal-hal menarik di balik fenomena meroketnya harga rumah. Sebagian besar pembeli pada periode tersebut sebenarnya menggunakan fasilitas pinjaman bank (KPR), yang artinya mereka tidak punya banyak uang. Namun mereka ternyata bisa membeli lebih dari satu rumah. 

Uniknya lagi, bank pemberi pinjaman juga seperti tidak peduli. Mereka bersedia memberi pinjaman dengan asumsi bahwa harga rumah akan terus meningkat sehingga KPR akan semakin bernilai. 

Pengusaha perumahan dengan cepat menangkap peluang. Mereka menawarkan berbagai produk perumahan dengan bermacam embel-embel. Sebagian bahkan berani menjual rumah yang belum jadi! Sampai-sampai ada istilah bahwa pembeli rumah saat itu sebenarnya sedang 'membeli gambar' karena rumahnya sendiri belum ada.

Perilaku tiga aktor ekonomi ini - konsumen, perbankan, dan pengembang perumahan - akhirnya berkelindan menciptakan tren harga rumah bak spiral yang makin hari makin menjulang tinggi.

===

Mengetahui hal tersebut, Bank Indonesia selaku otoritas makroprudensial tidak tinggal diam.

Pada September 2013, Bank Indonesia menerbitkan ketentuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Ia disebut Loan-to-Value atau disingkat LTV.

Sederhananya, LTV adalah persentase maksimal kredit yang boleh diberikan oleh perbankan (dibandingkan terhadap harga rumah). Sebagai contoh, apabila sebuah rumah ditawarkan seharga Rp1 miliar dan Bank Indonesia menetapkan LTV sebesar 70%, maka kredit perbankan yang boleh disalurkan untuk pembelian rumah dimaksud adalah senilai maksimal Rp700 juta.

Lalu bagaimana dengan Rp300 juta sisanya? 

Pembeli-lah yang harus menyediakannya di awal dengan cara tunai. Uang ini kita kenal dengan istilah down payment (DP).  

===

Semangat di balik kebijakan LTV adalah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, khususnya di sektor perbankan. Bank Indonesia tidak ingin harga properti tumbuh di luar kewajaran. 

Menggunakan data Survei Harga Properti Residensial (SHPR), kita dapat dengan mudah membandingkan pertumbuhan harga rumah di Jabodetabek dengan dampak kebijakan LTV.

Dampak LTV pada Harga Rumah
Dampak LTV pada Harga Rumah

Demikianlah salah satu instrumen makroprudensial yang digunakan oleh Bank Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun