Aktivisme Data: Gerakan Akar Rumput atau Dominasi Elit?
Dalam era digital saat ini, data telah menjadi komoditas yang paling berharga, mengubah cara masyarakat berinteraksi, membuat keputusan, dan memahami dunia. Artikel "Mapping the Discursive Landscape of Data Activism: Articulations and Actors in an Emerging Movement" karya Agnes Liminga dan Simon Lindgren (2024) dari Ume University memberikan wawasan penting tentang gerakan aktivisme data yang muncul sebagai respons terhadap konsekuensi sosial, politik, dan ekonomi dari datafikasi. Aktivisme data tidak lagi hanya berkaitan dengan perlindungan privasi, tetapi juga dengan keadilan sosial yang lebih luas, termasuk tantangan diskriminasi algoritmik, pengawasan massal, dan manipulasi opini publik melalui media sosial.
Penulis menggunakan analisis jaringan sosial di Twitter, yang merupakan salah satu platform penting untuk menyuarakan isu-isu sosial, untuk meneliti bagaimana wacana keadilan data diartikulasikan oleh berbagai aktor. Dari 401.369 tweet yang dikumpulkan antara Desember 2008 dan Januari 2023, mereka mengidentifikasi pola artikulasi utama dalam aktivisme data yang dibentuk oleh co-occurrence hashtag. Artikel ini mencatat adanya dua pola utama: satu pola yang dipromosikan oleh akar rumput dan aktivis komunitas, dan satu lagi yang didorong oleh akademisi, pebisnis, dan pembuat kebijakan yang memiliki posisi kekuasaan.
Yang menarik, hanya sekitar 5% dari hashtag yang digunakan dalam diskusi ini berasal dari aktor politik atau yang berhubungan langsung dengan pembuat kebijakan, sementara sebagian besar diskursus ini dikuasai oleh akademisi dan komunitas bisnis. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang representasi siapa yang sebenarnya berperan dalam membentuk narasi keadilan data. Sebagai sebuah gerakan yang tumbuh dari lapisan masyarakat, aktivisme data masih memiliki kesenjangan yang besar antara suara-suara marginal dan mereka yang sudah memiliki posisi kekuasaan dalam struktur sosial.
***
Dalam artikel ini, Agnes Liminga dan Simon Lindgren (2024) menyoroti bagaimana aktivisme data diartikulasikan oleh aktor yang berbeda melalui analisis jaringan sosial di Twitter. Mereka menemukan bahwa diskursus keadilan data, meskipun sering diidentifikasi sebagai gerakan akar rumput, ternyata dikuasai oleh aktor dari kalangan akademisi dan bisnis. Dengan lebih dari 401.000 tweet yang dianalisis, artikel ini mengidentifikasi bahwa 60% dari aktor yang paling berpengaruh dalam diskusi ini berasal dari akademisi, sementara 25% lainnya dari sektor bisnis teknologi. Hanya 5% dari diskusi ini didorong oleh aktor politik atau mereka yang secara langsung terlibat dalam pengambilan kebijakan.
Pendekatan metodologis yang digunakan oleh penulis menggabungkan analisis diskursus dengan analisis jaringan, memungkinkan mereka untuk memetakan bagaimana tagar (#) tertentu digunakan secara bersamaan dalam percakapan tentang keadilan data. Misalnya, hashtag seperti datajustice dan algorithmbias sering kali dikaitkan dengan akademisi dan aktivis teknologi, sementara gdpr dan dataprivacy lebih banyak dihubungkan dengan aktor bisnis yang memiliki agenda lebih reaktif terhadap isu-isu perlindungan data. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa diskursus keadilan data bukanlah gerakan monolitik. Alih-alih, ia mencakup dua pendekatan yang berbeda: pendekatan proaktif, di mana data dianggap sebagai alat untuk perubahan sosial yang positif, dan pendekatan reaktif, di mana data dilihat sebagai ancaman yang harus dikendalikan melalui regulasi dan teknologi keamanan.
Penelitian ini juga mencatat adanya tumpang tindih dalam isu-isu keadilan data dengan gerakan sosial lain, seperti BlackLivesMatte dan WomenInSTEM, yang memperlihatkan bagaimana diskursus keadilan data berhubungan dengan isu-isu ketidakadilan yang lebih luas, termasuk diskriminasi rasial dan gender. Namun, meskipun aktivisme data berpotensi mengubah dinamika kekuasaan dalam masyarakat digital, penulis mencatat bahwa gerakan ini masih didominasi oleh elit. Hanya sekitar 10% dari tweet yang dianalisis berasal dari organisasi komunitas atau aktivis akar rumput, sementara sebagian besar dikendalikan oleh suara-suara dari kalangan bisnis dan akademisi.
Fakta ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi gerakan ini untuk benar-benar memberikan kekuasaan kepada mereka yang paling terpinggirkan oleh proses datafikasi. Sebaliknya, ada risiko bahwa diskursus keadilan data akan terus didominasi oleh mereka yang sudah memiliki akses ke sumber daya dan kekuasaan, mengubah aktivisme ini menjadi sekadar alat untuk melindungi kepentingan mereka. Penulis menyarankan bahwa untuk mencapai keadilan data yang inklusif, perlu ada keterlibatan yang lebih besar dari komunitas yang terkena dampak langsung oleh datafikasi dan pengawasan algoritmik.
***
Artikel karya Agnes Liminga dan Simon Lindgren (2024) berhasil mengungkapkan ketidakseimbangan yang signifikan dalam aktivisme data, yang dikuasai oleh aktor-aktor elit seperti akademisi dan pelaku bisnis teknologi. Meskipun aktivisme ini bertujuan untuk memperjuangkan keadilan sosial melalui keadilan data, penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan dari komunitas yang paling terdampak masih sangat minim, hanya sekitar 10%. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang apakah aktivisme data benar-benar mampu memberdayakan kelompok-kelompok yang terpinggirkan atau justru memperkuat status quo yang didominasi oleh mereka yang memiliki kekuasaan.
Untuk memastikan bahwa gerakan ini lebih inklusif, para penulis menekankan pentingnya mendorong lebih banyak keterlibatan dari komunitas akar rumput, organisasi non-pemerintah, dan kelompok yang terpinggirkan. Aktivisme data seharusnya tidak hanya menjadi arena diskursus akademis atau komersial, tetapi juga wadah bagi suara-suara yang paling terdampak oleh dampak negatif datafikasi dan diskriminasi algoritmik. Jika tidak, gerakan ini berisiko kehilangan potensinya sebagai kekuatan perubahan sosial yang nyata.
Secara keseluruhan, artikel ini memberikan kontribusi penting dalam memetakan lanskap wacana aktivisme data dan mengidentifikasi tantangan ke depan. Penting bagi kita untuk terus mengevaluasi bagaimana teknologi dan data dapat dimanfaatkan untuk keadilan, serta memastikan bahwa narasi yang terbentuk mencerminkan pengalaman dan kebutuhan semua lapisan masyarakat, bukan hanya elit yang berkuasa.
REFRENSI :
Liminga, A., & Lindgren, S. (2024). Mapping the discursive landscape of data activism: Articulations and actors in an emerging movement. Big Data & Society. https://doi.org/10.1177/20539517241266416
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H