Mohon tunggu...
Citra Ayu Putri Ningrum
Citra Ayu Putri Ningrum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Saya adalah mahasiswi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, jurusan Teknik Informatika. Selain mempelajari aspek teknis dalam dunia TI, saya juga memiliki minat besar di bidang kepenulisan, khususnya dalam membuat ulasan tentang film, lifestyle, novel, dan berbagai hiburan lainnya. Dengan latar belakang TI, saya tertarik untuk menggabungkan kreativitas dalam menulis dengan pemahaman teknologi, seperti menggunakan platform digital untuk berbagi konten serta mengoptimalkan media online dalam menjangkau pembaca secara lebih luas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Adopsi DCT di China: Mengapa Respons Pemerintah Meningkatkan Kepercayaan Publik?

13 September 2024   12:30 Diperbarui: 24 September 2024   23:04 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : https://pin.it/5amsOLJ5p

Pandemi COVID-19 telah mempercepat adopsi teknologi digital di berbagai sektor, termasuk dalam manajemen krisis kesehatan masyarakat. Salah satu inovasi yang menonjol adalah penggunaan aplikasi Digital Contact Tracing (DCT), yang diadopsi secara luas di banyak negara, termasuk China. Artikel ilmiah berjudul Joint-Sensemaking, Innovation, and Communication Management During Crisis: Evidence from the DCT Applications in China yang ditulis oleh Jingjing Qu, Liwei Chen, dan rekan-rekan dari berbagai universitas di China, mengungkap bagaimana proses "joint-sensemaking" atau pembuatan makna bersama mempengaruhi adopsi DCT di masa krisis. DCT di China, dikenal dengan "Health Code", telah diimplementasikan di lebih dari 300 kota dan digunakan oleh lebih dari 900 juta orang (Liang, 2020). Inovasi ini menjadi salah satu strategi utama pemerintah China dalam menjaga tingkat infeksi tetap rendah di negara dengan populasi terbesar di dunia.

Namun, kecepatan pengembangan dan implementasi DCT ini menimbulkan tantangan tersendiri, terutama dalam hal bagaimana publik, pemerintah, dan media berinteraksi untuk memahami dan menerima teknologi tersebut. Penelitian ini menyebutkan bahwa media resmi dan pemimpin opini memainkan peran penting dalam menghubungkan pemerintah dan masyarakat, namun interaksi tersebut sering kali menghasilkan pola yang berbeda di antara berbagai modul jaringan sosial. Data yang dikumpulkan dari 113.264 postingan di platform Weibo menunjukkan bahwa efektivitas intervensi pemerintah dan peran media sangat bervariasi dalam proses adopsi inovasi ini. Studi ini memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana manajemen inovasi dan komunikasi selama krisis harus dikelola agar lebih efektif dalam mencapai penerimaan publik yang luas.

Dalam artikel yang ditulis oleh Jingjing Qu dan timnya, terungkap bahwa keberhasilan adopsi teknologi Digital Contact Tracing (DCT) di China tidak hanya tergantung pada efektivitas teknologinya, tetapi juga pada proses pembuatan makna bersama atau joint-sensemaking yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dari 113.264 postingan Weibo yang dianalisis, studi ini menunjukkan bahwa terdapat dua jalur utama dalam proses joint-sensemaking, yaitu jalur "Patching" dan jalur "Add-in". Jalur Patching terjadi ketika publik menghadapi masalah dalam penggunaan DCT, seperti kesulitan akses bagi warga lanjut usia yang tidak memiliki smartphone. Jalur ini memerlukan intervensi dari pemerintah yang responsif, seperti penyesuaian aturan penggunaan DCT bagi kelompok rentan, yang kemudian meningkatkan sentimen publik secara signifikan (Qu et al., 2024).

Sebaliknya, jalur Add-in terjadi ketika ada kebutuhan baru yang muncul dari masyarakat, seperti permintaan untuk integrasi sertifikat vaksinasi ke dalam aplikasi Health Code. Pemerintah bertindak dengan melakukan promosi pra-peluncuran fitur baru untuk memfasilitasi penerimaan publik. Namun, penelitian ini menemukan bahwa intervensi semacam ini, meskipun dirancang untuk meningkatkan penerimaan, tidak selalu berpengaruh besar terhadap perubahan sentimen publik (coef=0.019, p>0.1), yang berarti bahwa pendekatan ini kurang efektif dibandingkan respons cepat terhadap masalah yang sudah ada (Qu et al., 2024).

Lebih lanjut, studi ini mengidentifikasi bahwa media resmi, seperti CCTV dan People's Daily, memiliki peran lebih besar dibandingkan pemimpin opini dalam menyampaikan informasi kepada publik selama krisis. Dalam konteks jalur Patching, media resmi memiliki pengaruh signifikan dalam menghubungkan pemerintah dengan masyarakat, sehingga informasi yang disampaikan melalui media ini lebih cepat diterima dan lebih dipercaya. Analisis jaringan sosial menunjukkan bahwa media resmi mendominasi dalam menyampaikan pesan kepada publik, dengan kontribusi sebesar 60% dari top 1% node dengan nilai constraint terendah, menunjukkan bahwa mereka berperan sebagai jembatan informasi yang kuat (Qu et al., 2024).

Penting untuk dicatat bahwa pengaruh media dalam proses joint-sensemaking selama krisis tidaklah seragam di setiap konteks. Sebagai contoh, pada periode Juli hingga Oktober 2020, ketika terjadi banyak keluhan publik tentang sulitnya akses Health Code bagi lansia, intervensi pemerintah yang dibantu oleh media berhasil meningkatkan sentimen publik dari 0.161 menjadi lebih dari 0.5 dalam beberapa bulan (Qu et al., 2024). Sebaliknya, dalam jalur Add-in, pengaruh media tidak sebesar itu karena masyarakat cenderung lebih skeptis terhadap perubahan teknologi baru, meskipun diperkenalkan melalui promosi besar-besaran.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Jingjing Qu dan timnya, jelas bahwa keberhasilan adopsi teknologi seperti Digital Contact Tracing (DCT) selama masa krisis sangat bergantung pada proses joint-sensemaking yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah, media, dan masyarakat harus bekerja sama dalam menciptakan pemahaman bersama terhadap teknologi yang diadopsi. Studi ini menunjukkan bahwa respons cepat terhadap masalah nyata, seperti yang terlihat pada jalur Patching, jauh lebih efektif dalam meningkatkan sentimen publik dibandingkan promosi fitur baru pada jalur Add-in, yang memiliki dampak lebih terbatas. Media resmi memainkan peran sentral dalam menyebarkan informasi dan membangun kepercayaan publik, dengan kontribusi hingga 60% dalam penyampaian informasi kritis.

Implikasinya bagi manajemen krisis di masa depan sangat jelas: komunikasi yang responsif dan berbasis bukti harus menjadi prioritas utama dalam mengelola adopsi teknologi selama krisis. Selain itu, peran media resmi harus dioptimalkan untuk menjembatani informasi antara pemerintah dan masyarakat, sementara pemerintah juga perlu lebih proaktif dalam merespons kebutuhan masyarakat. Dengan pendekatan ini, diharapkan teknologi inovatif seperti DCT dapat lebih diterima dan berfungsi efektif dalam membantu mengelola krisis kesehatan masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun