Mohon tunggu...
Siti Maesaroh
Siti Maesaroh Mohon Tunggu... Karyawati -

Hello! I like to challenge myself with different things and often wondering how some things work :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyelesaikan Masalah dengan Cara yang Menyenangkan dan Mengeyangkan

27 Agustus 2016   19:36 Diperbarui: 27 Agustus 2016   19:47 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa hal, saya sering berbeda pandangan dengan mama. Satu diantara beberapa itu sepertinya sudah lama sekali tidak kami perselisihkan. Saya sampai sempat mengira bahwa mama sudah sepaham, sepemikiran dengan saya dalam hal itu. Hingga kejadian satu hari di pekan ini menyadarkan saya bahwa kami (saya dan mama) untuk satu hal itu, masih berpikir dengan persepsi yang berbeda. Hal yang wajar sebenarnya jika kita memiliki pendapat yang berbeda. Bahkan jika pun kita satu keluarga, pandangan yang tak serupa bisa saja terjadi karena isi kepala kita, pergaulan, dan juga generasi kita yang tak sama.

Pagi itu ada satu kejadian yang membuat saya amat kesal. Saking kesalnya saya sampai melempar keluar semua kain lap yang berserakan di rumah ketika menyapu lantai. Menyaksikan saya yang kesal saat dan setelah membersihkan rumah dan mungkin karena saat itu mama sedang lelah, mama jadi ikut terbawa emosi.

Yang capek bukan cuma kamu. Kalau kamu capek, orang tua kamu lebih capek. Begitu ringkasan kata-kata yang mama sampaikan pagi itu.
Karena saya sudah terlanjur kesal, saya sampai menangis saat itu. Rasanya sudah lama sekali saya tidak menangis sampai sesenggukan, hehe.. Beruntung di hari itu saya ada keperluan di Royal, Serang. Jadi saat itu daripada saya berlama-lama menangis di kamar, saya lebih baik keluar rumah. Dalam perjalanan ke tempat itu saya sesekali masih menangis dan ini sungguh terasa menyebalkan.

Di sore hari, urusan di Serang itu selesai tapi saya bingung. Saya tidak mau pulang ke rumah. Saya ingin menenangkan pikiran lebih lama, sehingga malam itu saya putuskan untuk menginap di rumah nenek.

Menginap di rumah nenek memang pilihan yang tepat. Begitu sampai di rumahnya, saya disuguhi bakso, salah satu makanan favorit saya. Setelah melahap semangkok bakso saya mengambil minum lalu melihat makanan kesukaan saya yang lain di atas wajan: calamari alias cumi-cumi! Hmm.. alhamdulillah! Memakan makanan yang kita suka atau melakukan hal yang menyenangkan memang cukup efektif untuk melupakan sejenak masalah yang sedang kita hadapi. Setidaknya, itu menurut saya.

Saat makan, saya minta izin ke nenek untuk menginap. Saya ceritakan masalah antara saya dan mama pagi ini ke nenek. Meski dalam ‘konflik’ yang terjadi itu nenek satu pemikiran dengan mama, tapi saya senang nenek tidak begitu menyalahkan sikap saya. Cara nenek memberi nasihat tidak begitu menyudutkan saya atau memvonis saya mutlak yang salah melainkan dengan cara sedemikian rupa sehingga saya merasa bahwa saya juga benar tapi bukan berarti tidak bersalah. Malam pun berlalu dengan tenang. 

Keesokan paginya saya putuskan untuk pulang ke rumah. Semenjak mendapat petuah-petuah dari nenek saat makan kemarin sore, sebenarnya ada rasa khawatir kalau mama ternyata masih ngambek dengan saya. Meski saya rasa dalam hal ‘ngambek-ngambekan’ mama seperti saya (atau saya yang seperti mama?) yang tidak suka berdiam-diaman terlalu lama dengan seseorang yang kita anggap dekat. Saya harap semoga saja sikap itu akan muncul lagi.

Saat sampai rumah saya tidak melihat mama. Saya langsung masuk ke kamar lalu mengambil sapu untuk membersihkan rumah. Ini hampir mirip seperti hari kemarin, hanya saja semoga insiden lempar-lempar lap keluar rumah itu tidak terulang lagi, harap saya dalam hati.
Sampai dapur lalu saya melihat mama sedang memasak. Saya berusaha bersikap senormal mungkin. Saya berusaha tidak mengingat kejadian kemarin saat saya menangis cukup keras di kamar lalu ‘kabur’ dari rumah. Saya tidak berani menatap wajah mama. Saya khawatir, jangan-jangan mama masih marah. Saya jadi agak merasa bersalah.

Selesai menyapu lantai saya mencuci piring. Sekali lagi saya berusaha senormal mungkin dan ini adalah rutinitas yang normal saya kerjakan setiap pagi. Saya lihat mama sudah selesai memasak kemudian membawa satu mangkok lauk dan satu piring nasi yang ia masak keluar. Di luar ada dipan bambu yang biasa keluarga dan/atau tetangga kami gunakan untuk berkumpul seperti bancakan makanan, dll.

Mencuci piring beres. Tiba-tiba adik saya yang kecil memanggil saya dari luar, mengajak saya makan bersama di dipan itu dengannya, dan juga dengan mama. Saat menuju dipan itu saya melihat wajah mama. Tampak biasa saja. Tidak nampak kesal atau marah seperti yang saya khawatirkan. Syukurlah, ternyata mama juga sepertinya sudah melupakan kejadian kemarin. Senangnya.. 

Saat makan bersama di dipan itu kami mengobrol banyak hal seperti biasa, seperti tidak ada kejadian yang begitu emosional telah terjadi kemarin. Senang rasanya. Apalagi makanan yang mama masak adalah salah satu makanan yang saya suka juga: chilli mushroom!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun