Sekolah adalah tempat untuk belajar. Belajar banyak hal, bukan hanya tentang ilmu pengetahuan tapi juga belajar untuk beradab dan beretika. Oleh karena itu, pelajaran yang diberikan oleh guru-guru di sekolah seyogyanya bukan hanya materi pembelajaran yang tercatum di silabus, namun sekaligus mengajari murid-murid bertindak dan bersikap serta berbudi pekerti yang baik.
Barangkali kita sering mendengar sebuah pernyataan bahwa guru adalah orang tua murid di sekolah. Guru sama dengan orang tua murid. Dengan pernyataan itu, ada baiknya jika guru-guru kita lebih ‘menjiwai’ perannya sebagai orang tua murid di sekolah. Contoh sederhananya, dengan menyebut diri sendiri dengan sebutan ‘Bapak’/’Ibu’ dan memanggil nama murid dengan sebutan ‘Nak’ disamping nama panggilannya ketika sedang mengajar atau berbicara dengan murid.
Saya pribadi ketika menjadi murid merasa senang sekali dengan sebutan itu. Saya merasa benar-benar menjadi ‘anak’ dari guru tersebut sehingga saya berusaha membuatnya senang dengan belajar yang rajin dan mendapat nilai ujian yang baik dengan cara yang benar. Saya juga berusaha tidak membuat guru saya, orang tua saya di sekolah tidak marah atau bahkan sedih. Saya berusaha membuatnya bangga, karena ia peduli, ia perhatian, ia adalah ‘orang tua’ saya.
Setidaknya, kalau guru tidak bisa bersikap seperti orang tua murid, bersikaplah seperti ‘kakak’ yang baik bagi murid. Saya pernah memiliki guru yang ‘sangat gaul’ kepada kami, murid-muridnya. Guru itu memanggil dirinya sendiri dengan kata ganti ‘Saya’ dan di samping memanggil kami dengan nama panggilan, ia juga memanggil kami dengan sebutan ‘Dik’. Hal itu juga menyenangkan menurut saya. Penggilan adalah satu bentuk kecil dari perhatian.
Orang tua yang baik adalah orang tua yang memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Pun dengan guru, yang sekali lagi merupakan representasi orang tua murid di sekolah. Guru yang baik adalah guru yang berusaha memberi perhatian kepada muridnya, namun jangan sampai guru membuat kesan hanya memberi perhatian kepada anak-anak yang pintar saja. Perhatian yang lebih justru harusnya diberikan kepada murid yang kurang cemerlang di kelas agar keberadaannya benarbenar dianggap ‘ada’ oleh sang guru. Misalnya dengan memintanya mengerjakan soal di depan, jika ia belum mengerti, guru bisa membantu mengajarkannya kembali.
Di atas semua itu, konsep pendidikan yang baik sebenarnya tidaklah mutlak dibebankan kepada guru atau sekolah tempat anak belajar. Justru guru dan sekolah hanyalah pihak kedua, sedangkan keluarga dan rumah adalah tempat pertama dan utama bagi anak untuk belajar.
Pernyataan yang mengatakan bahwa guru memiliki tugas yang berat untuk mendidik murid-muridnya, justru sesungguhnya orangtualah yang seharusnya memikul tugas maha berat itu. Orang tua berkewajiban untuk memberikan pembelajaran dan contoh yang baik bagi anak-anaknya.
Kalau dipikir, dulu saya awal bisa menulis, membaca dan berhitung juga karena diajari oleh mama hampir setiap malam, setelah mengaji Quran. Saya ingat mama dulu sampai agak kesal mengajari saya yang selalu lupa menyebut angka 11 yang harusnya diucap sebelas, tapi saya malah menyebutnya satu-satu.
Mama adalah guru pertama yang mengajari saya dan adik-adik saya menulis, membaca dan berhitung. Mama yang hanya lulusan SD, yang telah mengajari kami bertata krama, bersikap baik kepada siapa pun dan menghormati setiap orang.
Papa yang selalu menghibur saat kami sedang ‘takut’ dengan mama yang kadang 'marah-marah'. Papa mengajari kami untuk tidak mudah menyerah, tetap berusaha dan berjuang. “Hidup adalah perjuangan. Hadapilah dengan penuh semangat”, itu adalah tulisan di lemari kecil dekat tempat tidur yang ditulis papa dulu.