Mohon tunggu...
Cita Puspita
Cita Puspita Mohon Tunggu... -

saya mendedikasikan sisa usia saya sebagai seorang abdi negara di bidang statistik dengan terus memupuk kecintaan yang luar biasa terhadap bidang jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cerita tentang Utang dan Pelarian

13 April 2015   14:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:09 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Anda merasa bahwa orang yang berutang adalah orang yang paling pusing dalam dunia utang-mengutang, kali ini saya tegaskan bahwa Anda salah. Orang yang paling pusing sesungguhnya adalah orang yang memberikan piutang, tapi tidak sampai hati menagih orang yang berutang. Kalau Anda tidak percaya silakan Anda tanya ke siapapun yang pernah memberikan piutang kepada teman dekat atau saudara. Di satu sisi kita butuh uang tersebut, tetapi di sisi lain kita tidak tega menagih secara terang-terangan karena alasan pertemanan atau persaudaraan.

Dan itu yang sedang saya rasakan sekarang.

Dua bulan lalu, ada seorang tetangga dekat rumah yang membangunkan kami dari tidur siang di sela waktu istirahat jam kantor. Orang itu datang dengan muka memelas dan hampir menangis ketika menceritakan kesusahannya. Dia butuh uang dalam jumlah banyak hari itu juga. Harus hari itu. Suami saya bilang bahwa kami sedang tidak ada tabungan dalam jumlah banyak dan uang yang dia minta itu bukan jumlah yang kecil buat kami. Kalaupun kami ada uang, tidak bisa mencukupi kebutuhannya saat itu.

Orang itu kembali bercerita panjang lebar. Saya hampir menangis, sangat terhanyut dengan ceritanya. Akhirnya tanpa pikir panjang, saya meluluskan permintaannya. Suami saya yang awalnya keberatan akhirnya mengiyakan juga. Kami menyanggupi permintaan utangnya separuh dari jumlah yang ia minta. Rasanya senang sekali saat kami bisa membantu orang terdekat dengan keterbatasan yang kami punya.

Satu bulan berlalu tanpa terjadi apa-apa. Hingga melewati jatuh tempo pembayaran utangnya kepada kami. Dia tidak datang ke rumah hari itu. Hingga satu minggu berikutnya. Saya gemas setiap kali melihatnya di luar rumah dan berlagak tak terjadi apa-apa. Kami sangat enggan menagih ke rumahnya sambil menunggu itikad baik dari dia. Tapi hari berganti hari tanpa perubahan apapun. Bahkan, lama-lama anaknya pun dilarang main ke rumah kami. Istrinya yang biasa jalan-jalan sore pun jadi jarang keluar. Mereka lebih sering “bersembunyi” di dalam rumah.

Puncaknya adalah kemarin. Ketika hari minggu, sore-sore dan hujan di perumahan kami. Saya menemani anak mainan di teras rumah. Saya melihat terus ke arah rumahnya dan berharap dia keluar menemui kami. Sekedar untuk menjelaskan bahwa dia masih ingat kalau punya utang. Itu saja. Saya tidak memaksa jika dia tidak punya uang sekarang, tetapi saya tidak suka sekali jika seseorang lari dari kewajibannya. Paling tidak dia datang ke rumah sebagai seorang pejantan. Sama seperti dulu ketika dia datang ke rumah kami siang-siang.

Akhirnya tepat sebelum azan maghrib berkumandang, saya melihatnya keluar untuk memasukkan sepeda motor ke dalam rumahnya. Dia melihat saya dengan jelas, tetapi tidak bicara apa-apa. Diam. Tanpa sapaan basa-basi ala tetanga dekat. Emosi saya memuncak tiba-tiba. Langsung saya berteriak dari tempat saya berdiri, “pak, jangan lupa nah!”. Kata-kata itu yang keluar dari mulut saya. Lantang. Bapak itu menengok ke arah saya dengan muka tak mengerti. Saya mengulangi kalimat itu dua kali dan langsung lari ke dalam rumah.

Saya marah. Saya kesal dengan diri saya sendiri. Kesal karena merasa telah zhalim kepada saudara seiman. Saya tahu dia sedang tidak punya uang. Namun, saya butuh kepastian pengembalian uang kami yang dipinjam. Ini pinjaman, bukan pemberian. Sesuai akad antara kami dan dia di hari itu. Salahnya kami, tidak ada hitam di atas putih. Tidak ada saksi dari orang ketiga. Tidak ada yang tahu peminjaman uang itu, selain kami, dia, dan istrinya.

Akhirnya, di ujung pena saya tuliskan bahwa ini adalah sebuah pelajaran yang mahal. Ketika kita ingin membantu seseorang, mungkin ada baiknya dipikirkan dulu manfaat dan mudharatnya. Jangan sampai nantinya kita sendiri yang merugi karena sesuatu hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Jangan sampai karena masalah uang bisa merusak pertemanan dan persaudaraan. Mungkin saya sedikit menyesal karena telah memberinya pinjaman, tapi semoga niat baik saya tidak sia-sia.

Jika rejeki itu masih menjadi milik kami, pasti akan kembali dengan cara apapun yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Kolaka utara_ cita puspita_13 april 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun