Mohon tunggu...
Cita Puspita
Cita Puspita Mohon Tunggu... -

saya mendedikasikan sisa usia saya sebagai seorang abdi negara di bidang statistik dengan terus memupuk kecintaan yang luar biasa terhadap bidang jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Dilema Wanita Karir: Anak atau Pekerjaan

19 November 2014   15:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:25 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda seorang wanita karir yang sedang berada dalam dilema antara kebutuhan anak dan keinginan untuk terus bekerja? Kalau iya, berarti kita sedang mengalami masalah yang sama.

Anak saya perempuan sekarang berumur 2 tahun 4 bulan 29 hari. Dia sangat lucu dan periang. Dia lebih suka menari daripada menyanyi. Rasanya melihat perkembangannya dari waktu ke waktu membuat rasa capek seharian seketika musnah.

Saya sangat memperhatikan kebutuhannya dari bayi hingga sekarang. Walaupun bekerja full time, tapi saya memberinya ASI selama 2 tahun lebih 1 bulan. Menurut saya itu hak yang harus dia terima sebagai seorang anak dari ibunya di awal-awal kehidupannya.

Saya mencari pengasuh buat menjaganya di rumah dengan susah payah. Kantor saya yang berada di pulau seberang, sangat jauh dengan kampung halaman. Saya membayar mahal pengasuh untuk tinggal di rumah dan berujung dengan dua kali ganti pengasuh di masa 2 tahun kehidupannya, demi ambisi saya untuk memberinya ASI. Penawaran orang tua di Jawa untuk mengasuhnya di sana saya tolak dengan halus karena saya merasa tanggung jawab saya sebagai seorang ibu harus ditunaikan. Entah orang lain bilang apa.

Namun disitulah letak masalahnya. Ini yang membuat anak saya terlalu dekat dengan saya. Bahkan dia tidak bisa tidur tanpa saya di sampingnya. Jadi, saya harus membawanya keluar kota untuk dinas dengan atau tanpa pengasuhnya. Anak saya tidak cepat akrab dengan orang baru. Saya harus berpikir berulang kali untuk mencari pengasuh lagi ketika pengasuh lamanya tidak mau ikut lagi karena jauh. Tapi keadaan membuat saya harus punya pengasuh lagi karena anak saya tidak bisa ikut saya dinas dan masuk ke ruang rapat.

Singkat cerita akhirnya saya punya pengasuh lagi. Saya impor lagi dari Jawa untuk yang ketiga kali. Kegagalan dua kali dengan pengasuh yang berasal dari penduduk asli sini membuat saya kembali mencari orang satu suku. Bukan karena saya rasis, tapi perbedaan budaya juga mempengaruhi cara kami dalam mengasuh anak yang menjadi berbeda juga.

Namun, anak saya tidak bisa cepat beradaptasi dengan pengasuh barunya ini. Saya pun bingung harus bagaimana karena dinas saya ke luar kota tinggal dua hari lagi. Saya takut anak saya akan meraung-raung sepanjang hari karena terpaksa ditemani dengan pengasuh baru di hotel sementara saya rapat. Kata orang-orang tua lebih baik dibiasakan ditinggal dengan hati yang plong. Biarkan saja menangis ntar lama-lama juga berhenti. Begitu yang biasa dibilang orang. Tapi bagaimana dengan psikologi anak saya? Saya takut jiwanya merasa terdzolimi karena harus berada dengan orang yang tidak dia kehendaki. Apakah saya sudah salah mendidik anak pertama?

Entahlah perasaan saya sebagai seorang ibu terkadang selalu ingin bersama dengan anak. Saya merasa ingin selalu melihat perkembangannya dari hari ke hari. Tetapi saya juga ingin bekerja sesuai dengan minat dan kemampuan saya. Apalagi saya bisa sampai pada level ini dengan cara yang tidak mudah. Orang tua dan suami saya juga tidak setuju saat saya ingin keluar dari pekerjaan ini. Saya sadar bahwa penghasilan keluarga kami tidak akan cukup jika hanya ditanggung satu kepala.

Lagi-lagi dilema ini datang dan semoga cepat hilang (lagi). Saya merasa tidak bisa hidup sebagai ibu rumah tangga saja karena saya suka bosan dengan segala rutinitas di rumah. Saya juga ingin anak saya tumbuh dengan limpahan kasih sayang orang tua dan selalu ceria dimanapun dia berada. Rasanya itulah impian semua orang tua terhadap anaknya.

Cepat atau lambat saya belajar sebagai seorang orang tua, sementara anak saya belajar untuk beradaptasi diluar lingkungan orang tuanya. Selamat belajar dan selamat bekerja :)

Lasusua_citaps191114_menjelangratekda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun