Kemarin saya menulis status di media sosial tentang ketidaksetujuan terhadap kebijakan yang tidak sejalan dengan peraturan. Saya merasa kalaupun peraturan itu direvisi itu hanya menguntungkan sebagian orang dan merugikan sebagian yang lain. Itu yang ada dalam otak saya dan saya ungkapkan secara gamblang. Hingga akhirnya memancing puluhan komentar yang membuka pikiran saya terhadap sisi lain yang tidak tersentuh.
Tempo hari saya pun pernah menulis tentang kekecewaan saya terhadap kebijakan tidak strategis yang diambil pimpinan tertinggi di negeri ini. Saya menulis dari sudut pandang penduduk di pelosok daerah yang sebagian besar orang tidak tau apa dan dimana. Antah berantah. Alhasil tulisan itu dibaca puluhan ribu kali di media online. Pro kontra datang melalui berbagai sumber. Tentu saya tidak akan lupa bahwa yang saya kritik di tulisan itu adalah orang penting dan punya banyak pendukung. Tapi saya merasa tidak ada yang salah dengan tulisan saya. Saya hanya ingin membuka mata orang-orang di luar sana bahwa ada penduduk di bawah bendera yang sama tapi nyaris tidak terjamah.
Beberapa orang bilang ke saya untuk lebih mensyukuri hidup yang saya miliki dan tidak protes. Bukannya saya ingin membela diri, tapi menurut saya “bersyukur” dan “bersuara” adalah dua hal yang berbeda. Saya menyuarakan isi hati bukan berarti saya tidak bersyukur dengan kehidupan saya.
Saya bersyukur sudah menikah dan dikaruniai anak yang cantik di usia ke 26 di saat sebagian yang lain masih lajang. Perjalanan karir dan keluarga saya berjalan harmonis. Bahkan, saya harus bersyukur ketika anak saya masuk rumah sakit dan suami saya sedang dinas beda pulau, saya masih ditemani teman-teman kantor yang sangat baik. Saya juga bersyukur masih diberi kesempatan pulang menjenguk orang tua setahun sekali dengan menyusuri darat, laut dan udara sehari penuh. Apalagi yang membuat saya tidak bersyukur dengan dikaruniai suami pengertian dan anak ceria? Saya hanya memikirkan masa depan kami selanjutnya. Saya hanya ingin kehidupan yang lebih baik dan lebih dekat.
Saya tau hanya manusia biasa yang tidak punya kewenangan apa-apa. Tapi, masa untuk bersuara saja tidak boleh?
Saya tau apapun yang saya bilang tidak akan pernah merubah keadaan. Saya bukan siapa-siapa. Tapi paling tidak, jika ada yang membaca tulisan saya, mereka bisa tau bahwa kebijakan yang mereka ambil sudah menzhalimi sebagian orang. Jika sebagian yang lain diam, bukan berarti mereka setuju dengan kebijakan itu. Bisa jadi mereka takut. Kemungkinan kedua, karena mereka merupakan orang-orang yang diuntungkan dengan kebijakan, atau setidaknya tidak dirugikan.
Apakah dengan saya “bersuara” berarti saya adalah korban? Bisa ya, bisa juga tidak. Terkadang saya merasa bahwa ada sesuatu yang berjalan tidak semestinya dan mungkin harus ada seseorang yang meluruskan, atau setidaknya ada orang yang menjelaskan kenapa harus berbelok dari jalur yang seharusnya. Saya hanya ingin segala pertanyaan itu tidak hanya mengendap di otak. Saya ingin menemukan jawaban kenapa begini, kenapa begitu. Tapi di satu sisi, saya menyadari bahwa tidak semua pertanyaan harus ada jawabannya. Kalaupun ada, mungkin jawabannya bukan untuk saya dan bukan untuk dibicarakan.
Pada akhirnya di suatu titik, saya hanya ingin tetap menulis. Menulis apa saja yang menarik untuk diangkat dan dibaca. Mungkin tidak sesuai dengan keinginan orang banyak. Tapi memang begitulah hidup. Tidak bisa menyenangkan semua orang. Seperti yang dibilang oleh seorang teman, bahwa memang peraturan yang dibuat tidak akan bisa menguntungkan semua pihak. Saya hanya berharap suatu saat ada peraturan yang menguntungkan sebagian besar orang, termasuk saya.
Selamat bekerja dan berdoa untuk masa depan yang lebih baik. Amiiin.
_CitaPuspita Sari_27januari2015_Kolaka Utara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H