Mohon tunggu...
Cita Puspita
Cita Puspita Mohon Tunggu... -

saya mendedikasikan sisa usia saya sebagai seorang abdi negara di bidang statistik dengan terus memupuk kecintaan yang luar biasa terhadap bidang jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jurnalis: Antara Mimpi dan Kenyataan

27 Januari 2015   15:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:18 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya mimpi sejak kecil ingin jadi seorang jurnalis. Sejak SD pelajaran favorit saya adalah Bahasa Indonesia karena ada tugas “mengarang”. Pernah suatu kali ketika ujian, ada soal untuk mengarang dengan beberapa topik yang bisa dipilih. Saya lupa topik apa yang saya pilih, yang jelas saya asyik mengarang waktu itu. Saking asyiknya saya mengarang hingga menghabiskan dua folio. Dan ketika sudah di baris-baris terakhir saya menyadari bahwa cerita yang saya buat sudah jauh dari topik yang saya pilih. Terlalu jauh malah. Tapi sudah tidak ada waktu untuk membuat cerita baru karena waktu sudah hampir habis.

Otak saya yang masih imut-imut karena berumur kurang dari 10 tahun saat itu terpaksa berpikir keras. Akhirnya saya menemukan jalan keluar. Di akhir cerita saya tulis kalau saya terbangun dari mimpi. Jadi semua cerita yang saya buat dari awal gak benar-bernar terjadi dalam kehidupan nyata. Lalu saya lanjutkan cerita setelah bangun sesuai dengan tema. Menyerempet sedikit ga masalah. Apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan saya. Tulisan saya dipuji guru di depan kelas. Mama saya juga suka karangan saya. Katanya berbobot dan penuh imajinasi.

Saat SMA saya dan beberapa teman yang suka menulis berkompetisi membuat semacam novel. Tidak dipublikasi, hanya untuk mengisi waktu sambil bersenang-senang. Selama satu bulan kami menulis novel dengan tulisan tangan. Maklum saat itu kami belum punya komputer. Jadi, kami memanfaatkan apa yang ada. Setelah satu bulan, akhirnya novel level amatir pun jadi. Kami tukeran novel dan saling menilai satu sama lain. Novel saya pun akhirnya dibaca banyak orang. Bukan hanya temen satu komunitas, tapi juga merembet ke keluarga mereka. Alhamdulillah mereka bilang bagus. Ceritanya menarik dan terarah.

Saat di kampus, saya pun awalnya memilih jurusan “ilmu komunikasi” karena mau mewujudkan cita-cita saya sebagai seorang jurnalis. Saya ingin bekerja di surat kabar atau televisi. Namun, jalan hidup saya menemukan cahaya lain yang lebih terang. Setidaknya terlihat terang di mata saya saat itu. Saya memilih pindah dan kuliah di jalur kedinasan di jurusan yang sebenarnya bukan favorit saya.

Di kampus yang baru saya ikut media kampus. Ikutan bikin tulisan-tulisan sama temen-temen satu komunitas. Namun, sayangnya saya tidak pernah benar-benar memanfaatkan bakat saya. Saya memang suka menulis, tapi hanya pada saat saya mau. Kadang banyak sekali yang ingin saya tulis, tapi saya tidak tau cara memulainya. Saya tidak menemukan kalimat pertama yang bagus untuk dijadikan pembuka. Seringkali saya sudah menulis hingga pertengahan, kemudian gak menemukan klimaks yang tepat dan akhirnya saya hapus. Hilang.

Saya suka menulis di berbagai macam blog dan media sosial. Saya buat banyak akun dimana-mana. Saya tulis beberapa kemudian lupa passwordnya. Kemudian setelah sekian lama saya tulis lagi di media yang baru. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya saya lupa sudah menulis apa dan dimana.

Hingga suatu kali tulisan saya dibaca lebih dari 24 ribu kali di satu akun media online. Saya senang sekaligus kaget. Tulisan saya di share dimana-mana. Dikomentari banyak orang. Pro kontra pun muncul selama beberapa hari. Bahkan, ada satu waktu saya tidak berani buka media online karena takut membaca komentar negatif. Saya tidak sampai hati melihat komentar bernada kasar mampir di tulisan saya.

Akhirnya hingga di suatu titik saya berpikir tentang satu hal bahwa jadi penulis bukan sesuatu yang mudah. Kesulitan sudah dialami ketika mencari kata pertama untuk memulai cerita. Tapi bukan disitu pangkal masalahnya. Masalah yang sebenarnya adalah ketika tulisan itu sudah jadi dan dibaca banyak orang. Sebagai seorang penulis, baik amatir maupun professional, harus berani mempertanggungjawabkan tulisannya di depan banyak orang. Dia tidak hanya harus berani menerima pujian, tapi juga kritikan pedas. Tapi tidak ada yang salah dengan itu. Selama kita merasa itu benar dan tidak melanggar UU ITE, tidak ada yang perlu ditakutkan.

Saya tidak pernah bermimpi untuk membuat buku atau semacamnya. Untuk saat ini, saya lebih suka menulis lepas di sela rutinitas di kantor. Menulis membuat saya lepas dan terlihat “ada”. Menulis dimana-mana, dibaca banyak orang, itu sudah cukup buat saya.

Selamat bekerja dan selamat mengukir mimpi di hari ini.

_CitaPuspita_27Januari2015_Kolaka Utara_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun