[caption caption="Repatriasi Orang2 Indonesia dengan SS Waterman, 6 September 1958"][/caption]
Pelabuhan Rotterdam, Belanda pada awal September 1958 dipenuhi oleh kapal-kapal yang berdatangan dari Indonesia, mengangkut gelombang pengungsian (repatriasi) ratusan ribu orang-orang Belanda, Eropa dan Indo Eropa yang sebelumnya bermukim di Indonesia. Salah satunya SS Waterman, yang merapat pada 6 September 1958. Kedatangan mereka merupakan dampak dari memanasnya hubungan diplomatik antara RI dan Belanda sebagai akibat dari sengketa Irian Barat (Nieuw Guinea).
Memang hingga sekitar tahun 1957-1958, masih banyak orang Belanda, Eropa dan Indo yang tinggal di Indonesia. Hingga menjelang Perang Dunia 2 mencapai Hindia Belanda pada tahun 1942, jumlah penduduk berdarah Belanda ataupun Indo di Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) saja mencapai sekitar 140.000 orang. Jumlah yang cukup besar mengingat jumlah penduduk Jakarta waktu itu sekitar 500.000-600.000 penduduk. Jadi sekitar seperempat penduduk Batavia.
GELOMBANG REPATRIASI PASCA KEMERDEKAAN RI
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, populasi orang Belanda, Eropa dan Indo di Batavia (kemudian menjadi Djakarta) merosot drastis karena banyak di antara mereka yang sangat trauma oleh pendudukan Jepang dan memilih mengungsi (kembali) ke Belanda. Juga karena keadaan di Djakarta yang mulai genting memusuhi mereka segera setelah proklamasi kemerdekaan. Terkenal sebagai jaman BERSIAP. Inilah gelombang pertama apa yang dikenal sebagai repatriasi penduduk Belanda. Kemudian, berikutnya setelah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, terjadi lagi hengkangnya penduduk Belanda, Eropa dan Indo dari Jakarta. Merupakan gelombang kedua dari repatriasi mereka.
Pada paruh pertama tahun 1950an hingga tahun 1957, masih ada sekolah-sekolah Belanda di Jakarta. Banyak perusahaan besar di Jakarta masih dimiliki orang Belanda. Umumnya perusahaan dagang, ekspor-impor dan asuransi seperti Lindeteves Stokvis (bekas lokasi kantornya di jalan Hayam Wuruk dekat Glodok masih menggunakan nama Lindeteves hingga sekarang), Internatio, Borneo en Sumatra Handels Maatschappij atau Borsumij, Jacobson van den Berg & Co, Geo Wehry & Co. Kelima perusahaan ini terkenal sebagai “The Big Five” waktu itu.
Kemudian ada juga perusahaan minyak dan gas bumi BPM atau Bataafsche Petroleum Maatschappij, Stanvac dan Shell (kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia menjadi cikal bakal Pertamina); perusahaan pelayaran KPM atau Koninklijke Paketvaart Maatschappij, Rotterdamsche Lloyd; percetakan dan penerbit G. Kolff, J.B. Wolters; toko buku van Dorp dan banyak lagi lainnya. Film-film yang diputar di bioskop Jakarta tahun 1950an, umumnya filem Amerika, selain mempunyai anak judul (subtitle) terjemahan dalam bahasa Indonesia, juga dalam bahasa Belanda. Orang-orang bule atau Indo masih mudah terlihat di Jakarta waktu itu.
Akhirnya pada tahun 1957-1958 akibat memuncaknya perselisihan mengenai Irian Barat (Nieuw Guinea menurut penyebutan Belanda), terjadilah repatriasi gelombang ketiga dari warga Belanda ke negeri asal mereka, sehingga boleh dibilang habislah riwayat orang Belanda di Indonesia untuk selamanya.
Sebelum meninggalkan Jakarta tahun 1957-1958 itu, jumlah mereka di Jakarta masih sekitar 14.000 orang, kebanyakan adalah Indo Belanda atau Indisch, yaitu campuran darah Belanda (sebenarnya juga bangsa Eropa lainnya, termasuk Jerman, Perancis, Italia, dan Denmark dan dan bahkan bangsa Yahudi) dengan pribumi Indonesia.
Namun, sebenarnya istilah repatriasi bagi mereka sebenarnya kurang tepat, karena faktanya, "tanah air" mereka justru di Indonesia atau Hindia Belanda. Sebab, umumnya mereka sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia dan punya budaya sendiri, yg disebut sebagai "kebudayaan Indisch". Hanya saja karena memilih sebagai warga negara Belanda, mereka harus angkat kaki dari ‘tanah air’ yang sudah mereka tinggali sejak beberapa keturunan karena pemutusan hubungan Indonesia-Belanda akibat persengketaan Irian Barat tadi.
KRONOLOGIS KEBIJAKAN REPATRIASI GELOMBANG KETIGA
Pada 29 November 1957, PBB gagal menyetujui resolusi yang menyerukan kepada Belanda supaya berunding dengan Indonesia soal Irian Barat. Irian Barat pun tetap di bawah kekuasaan Belanda. Sukarno menyatakan, jika mosi yang diajukan Indonesia di Sidang Umum PBB ditolak, pemerintah Indonesia akan mengambil “jalan lain yang akan mengejutkan dunia.”
Pada 1 Desember 1957, pemerintah melarang terbitan-terbitan berbahasa Belanda, maskapai penerbangan Belanda KLM mendarat di Indonesia, dan warga negara Belanda memasuki Indonesia. Pada 2 Desember 1957, Menteri Penerangan Sudibyo, selaku ketua Aksi Pembebasan Irian Barat, memerintahkan kepada semua buruh perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia untuk mogok total selama 24 jam, yang berujung pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda.
Pada 5 Desember 1957, tepat di hari pesta Sinterklaas, Presiden Soekarno mengultimatum semua orang Belanda secepatnya meninggalkan Indonesia. Presiden juga melarang siapa pun di hari itu mengadakan pesta Sinterklaas yang dianggap budaya Belanda. Pelarangan tersebut dikenang sebagai Sinterklaas Hitam. Setelah itu, sentimen anti-Belanda menjalar di mana-mana.
“Kampanye dilakukan dengan melakukan demo-demo dan aksi corat-coret dengan cat di tembok-tembok atau poster-poster berisi kebencian terhadap orang Belanda dan hasutan untuk mengusir mereka,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja.
Harian Indonesia Raja 6 Desember 1957 memberitakan, berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kehakiman GA Maengkom, pemulangan orang-orang Belanda dibagi dalam tiga tahap: steuntrekkers (golongan tidak memiliki pekerjaan), middenstanders (kalangan menengah), dan vakspecialisten (kalangan tenaga ahli).
“Sesuai dengan putusan sidang Kabinet tanggal 5 Desember terhadap 9.000 orang warga negara Belanda yang umumnya pada waktu itu tidak mempunyai pekerjaan tetap, akan didahulukan pemulangannya,” tulis Merdeka, 10 Desember 1957.
Pemulangan orang-orang Belanda dimulai pada 10 Desember 1957 menggunakan Garuda Indonesia Airways dan maskapai asing. Pemulangan juga dilakukan melalui jalur laut. Pemulangan ini bisa dikatakan klimaks, sejak repatriasi pertama setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 dan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949.
EPILOG
Menurut Firman Lubis, sensus penduduk pada 1940 mendata 120.000 orang Belanda di Indonesia; mayoritas Indo, sisanya Belanda totok. Pada permulaan 1950-an, jumlahnya tinggal 80.000, sekira 50.000 menetap di Jakarta. Jumlah ini menurun karena pemulangan pada 1957-1958, menyisakan 40.000-50.000 di seluruh Indonesia. Di Jakarta sendiri tinggal 14.000 orang, sebagian besar Indo.
“Di Belanda sekarang ini ditaksir ada 200-300 ribu orang yang tergolong Indo. Satu di antara tujuh orang Belanda atau sekitar 15 persen dari seluruh penduduk Belanda mempunyai ikatan dengan Indonesia. Baik mempunyai darah keturunan, atau nenek moyang mereka pernah tinggal di Indonesia,” tulis Firman Lubis.
Mereka yang tidak pulang dan memilih jadi warga negara Indonesia bergabung dalam Gabungan Indo untuk Kesatuan Indonesia (GIKI) yang didirikan pada 1951, sebagai perubahan dari Indo Europeesch Verbond (IEV). GIKI dibubarkan pada 14 Mei 1961.
REFERENSI:
1. Firman Lubis. Penduduk Belanda di Jakarta
2. Repatriasi Harga Mati. Majalah Historia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H