Erick Ernest Hobsbawm, anak dari Leopold Percy Hobsbawm dan Nelly Grun, di didik di Vienna dan berlin sebelum pindah ke Inggris pada 1932. Dia melanjutkan di St. Marylebone Grammar School dan di King’s College, Cambridge, tempat dia meraih BA dan Ph.D-nya. Dia menghabiskan sebagian besar karier akademiknya di Birkbeck College, London. Pada saat Revolusi industri, menimbulkan keburukan kerja dan memaksa proletariat industri yang terus tumbuh untuk memilih satu diantara tiga pilihan: berusaha bergabung dan mengikuti aturan dan perintah kelas menengah, menerima dengan ikhlas nasib mereka dalam kehidupan, atau memberontak. Namun revolusi-revolusi ini tak berhasil, lantaran para pekerja kurang memiliki organisasi, kematangan, dan brangkali yang terpenting, memberi alternatif politik (The Age of Capital, hal. 21). Ini lebih merupakan periode kemenangan kalangan borjuis liberal (1848-1875). Hegemoni itu, dalam pandangan Hobsbawm, dikukuhkan lewat revolusi industri (Britania) dan sekaligus revolusi politik (Prancis). Menurutnya, revolusi Prancis dimungkinkan terutama oleh konsensus ide-ide umum dikalangan borjuis. Sejarah abad XIX oleh karena itu berat sebelah oleh revolusi industri. Persaingan-persaingan ini memuncak menjadi perang dunia I, malapetaka global pertama di ‘jaman ekstrem’ (the age of extremes)m(1914-1991). Abad XX yang ‘pendek’, menurut Hobsbawm, bisa dibagi menjadi tiga jaman: ‘jaman malapetaka’ (the age of catastrophe) (1914-akhir 1940-an), ‘jaman keemasan/kejayaan’ (the golden age) (akhir 1940-an – 1973), dan ‘kemerosotan’ (the landslide) (1973-1991).
Revolusi Rusia dan fasisme, memaksa kapitalisme untuk merebut basis sosial yang luas dan menegaskan janji-janji eknominya (age of extremes, bab 4, 5, 9). Perkembangan abad XX-lah yang paling disayangkan oleh hobsbawm. Orang-orang yang tak memiliki lagi tuntunan sosial untuk bertindak, tegas, melakukan ‘hal-hal yang dibicarakan’. Para intelektual barangkali menegaskan bahwa proyek pencerahan tak lain aspirasi elite laki-laki kulit putih yang ditulis besar-besar, namun menurut Hobsbawm ia adalah ‘satu-satunya pondasi bagi seluruh aspirasi untuk membentuk masyarakat yang sesuai buat seluruh manusia yang hidup di mana saja di dunia san bagi penegasan dan pembelaan hak-hak kemanusian mereka sebagai individu-individu. Buang pondasi itu dan kita beri manusia ‘kesempatan memasuki surga erotis tempat segala hal di perbolehkan (Barbanisme: a User’s Guide dalam On History, hal. 254). Itu, tegas Hobsbawm, telah cukup tergambar dalam banyak kekejaman yang terjadi di abad XX. Sejarah bisa berbahaya lantaran masa lalu bisa dipakai untuk melegitimasi tindakan-tindakan. Ia bisa menjadi ‘pupuk’ buat ideologi nasionalis, etnis atau fundamentalis. Meskipun Hobsbawm mengatakan bahwa ini adalah soal-soal penting, dia tidak menjelaskan mereka secara lebih rinci. Namun, dia mempraktikan apa yang dia ajarkan.
Komitmen Hobsbawm terhadap mereka ‘yang kurang didengar’ tampak jelas dalam sebagian besar buku yang dia tulis tentang bentuk-bentuk pemberontakan dan gerakan sosial: Labour’s Turning Point (1964), Primitive Rebels (1959), Labouring Men (1969), Revolutionsries (1973), World of Labour (1984), dan The Jazz Scene (aslinya terbit dengan nama samaran F. Newton, 1959). Hobsbawm juga kritis terhadap penulis yang mengilhaminya untuk menulis sejarah-sejarahtersebut. Marx. Hobsbawm bukan seorang fanatik Marxis. Dia tak ragu-ragu untuk menghindari apa yang dia rasa kadaluwarsa dan salah pada Marx dan pemikiran Marxis. Hobsbawm percaya bahwa visi sejarah materealis Marx memberi pedoman terbaik buat transformasi-transformasi dunia sejak abad tengah (perface, dalam On History, hal. Ix). Namun dia juga percaya bahwa sejarah Marxis tak seharusnya dipisahkan dari riset dan pemikiran sejarah selainnya. Baginya, Marx adalah titik tolak dalam riset, bukan titik sampai (What do Historians Owe to Karl Marx?, dalam On History, hal. 141-156).
Komitmen kuat Hobsbawm tidak seharusnya dihubungkan dengan siapa pun. Namun Hobsbawm tidak menulis semata-semata buat para mualaf (mereka yang taklid, dan biasanya fanatik). Sebaliknya tampak lebih menyukai para pembaca yang percaya bahwa sejarah adalah objek yang layak dipersoalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H