Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Candi Ijo: Karakteristik, Keunikan, dan Kepak Sayap Kekuasaan Dinasti Sanjaya Abad IX M

10 Oktober 2024   08:09 Diperbarui: 10 Oktober 2024   08:10 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu candi yang ada di teras lima.Dokpri

Berdasar bukti tertulis yang ada, Sanjaya berkuasa sejak mengeluarkan prasasti Canggal 732 M dan ditandai dengan upaya mendirikan candi Gunung Wukir di kecamatan Salam, kabupaten Magelang.  Para penerusnya terus melakukan ekspansi dalam memperluas hegemoninya. Dinamika sosial, politik dan budaya yang terus terjadi, akhirnya memunculkan banyak bangunan suci yang dibangun. Bangunan suci yang dibangun, di satu sisi menjadi karakteristik dan keunikan; di sisi lain menunjukkan adanya kepak sayap kekuasaan yang dilakukan. Pembangunan candi-candi yang beraneka tujuan, akhirnya dapat mengarahkan pada anatomi kekuasaannya. Pada akhirnya bangunan candi-candi tersebut menunjukkan adanya tipologi bangunan-bangunan suci yang dikembangkan oleh dinasti Sanjaya.

Pada tulisan kali ini, penulis mengajak pembaca melihat dan mencermati candi Ijo yang diulas secara induktif tentang karakteristik, keunikan, sekaligus menelisik kepak sayap kekuasaan dinasti Sanjaya di Poros Prambanan. Di poros ini, selain ada candi Ijo, setidaknya terdapat beberapa candi yang bercorak Hindu yaitu: candi Prambanan (candi terbesar dinasti Sanjaya), candi Barong, candi Kedulan, candi Sambisari, candi Morangan, dan candi Gebang. Dari sekian candi tersebut hampir semua merupakan candi kompleks, kecuali candi Gebang. Di poros tersebut juga terdapat candi-candi yang bercorak Budha yang jaraknya relatif dekat (+ 2-4 km) dengan candi Prambanan. Candi-candi tersebut antara lain candi Sewu, candi Lumbung, candi Bubrah, candi Plaosan, candi Kalasan, dan candi Sari. Candi-candi Budha tersebut yang masuk kategori kompleks percandian besar adalah candi Sewu dan candi Plaosan.

Reruntuhan bebatuan candi Ijo.Dokpri
Reruntuhan bebatuan candi Ijo.Dokpri

Secara umum, pola bangun candi-candi peninggalan dinasti Sanjaya di poros Magelang-Prambanan mempunyai pola bangun yang sama yaitu adanya candi induk yang berhadapan dengan tiga candi perwara. Pola bangun demikian dapat dilihat pada candi Ijo, Sambisari, Kedulan, Morangan. Di Magelang pola bangun demikian ditemukan pada candi Gunung Wukir, candi Losari dan candi Gunung Sari.  Di dalam bilik candi induk biasanya ada lingga dan yoni yang menjadi simbol dewa Siwa dan Parwati (simbol kesuburan). Selain lingga dan yoni pada candi induk terdapat tiga relung yang biasanya ada patung Agastya, Ganesa dan Durga. Sedangkan pada candi perwara biasanya ada yoni dan Nandi (kendaraan dewa Siwa).

Fakta demikian memperkuat dugaan bahwa Hindu yang berkembang di wilayah Poros Prambanan-Magelang adalah aliran Saiwa (Siwa), secara khusus di candi Ijo. Candi Hindu yang bercorak Wisnu yang berada di Poros Prambanan-Magelang, baru teridentifikasi satu candi yaitu candi Barong.   

Karakteristik Candi Ijo

Candi-candi Hindu di poros Prambanan-Magelang, selain mempunyai kesamaan pola bangun juga mempunyai perbedaan baik strukur bangunan, bentuk dan ukuran candi, status candi, maupun relief yang ada pada kaki maupun badan candi. Maka candi Ijo juga mempunyai karakteristik yang berbeda dengan candi Hindu yang lain.

Karakteristik candi Ijo setidaknya dapat dilihat pada letak candi dan struktur bangunan. Letak candi lebih melihat lokasi candi dibangun, struktur candi melihat pada tatanan pembangunan secara keseluruhan.  Lokasi pembangunan candi Ijo di atas bukit (padahal kompleks percandian besar), serta mempunyai 17 struktur dan 11 teras berundak.  Kedua hal ini dibahas pada uraian berikut:

1. Kompleks Candi besar yang dibangun di atas bukit

Candi Ijo adalah kompleks candi besar. Dibangun di atas bukit Gumuk Ijo. Sehingga masyarakat akhirnya memberikan nama candi yang bercorak Hindu tersebut dengan nama candi Ijo. Seperti diketahui, bahwa candi-candi peninggalan dinasti Sanjaya ada beberapa yang dibangun di atas bukit. Di wilayah poros Prambanan, setidaknya ditemukan candi Barong. Namun di wilayah Magelang ditemukan jauh lebih banyak, antara lain: candi Gunung Wukir (candi pertama Sanjaya di Magelang), Selogriyo, dan candi Gunungsari. Namun, candi-candi tersebut dapat dikategorikan kompleks percandian kecil atau sedang. Parameter yang penulis gunakan adalah luas areal bangunan candi, besar/kecilnya bangunan candi serta jumlah komponen maupun jumlah candi yang dibangun, termasuk status candi.

Untuk candi Ijo, pembangunan di atas bukit secara proses bisa dikatakan menyimpang ('aneh'). Sebab candi Ijo adalah kompleks percandian besar, sehingga membutuhkan bahan dasar yang sangat banyak dan penyangga ekonomi yang juga kuat. Pada umumnya candi dibangun dengan alternatif dekat dengan aliran sungai agar mudah memperoleh bahan dasarnya yaitu batu andesit. Selanjutnya juga mempertimbangkan tingkat kesuburan tanah di sekitar bangunan candi. Contoh: candi Gunung Wukir, Gunung Sari, Selogriyo di Magelang, tetap mempertimbangkan kondisi areal bawah candi merupakan tanah pertanian yang subur. Mungkin saja bahan dasar candi Ijo menggunakan batu-batu perbukitan yang sudah berumur relatif lama (bukan batu sungai). Sebab tidak jauh dari candi Ijo juga terdapat bangunan dengan kompleks besar yaitu Keraton Ratu Boko yang juga berada di atas bukit dan menggunakan bahan dasar dari batu andesit. Secara umum pemilihan bukit sebagai lokasi pembangunan candi, setidaknya mempertimbangkan beberapa hal yaitu:

  • Mitologi agama Hindu, yaitu keyakinan bahwa dewa-dewa berada di tempat yang tinggi. Maka pembangunan sarana ibadah di atas bukit merupakan simbol proses kedekatan konsep dewa-dewa yang disembah.
  • Ekologi, yaitu memperhatikan pada keamanan, keberlangsungan dan kelestarian lingkungan. Sehingga keberadaan candi tidak sampai memutus mata rantai kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
  • Pertimbangan bahan baku, yaitu pertimbangan efektif dan efisiensi dalam memperoleh bahan dasar candi. Di Jawa Tengah candi-candi pada umumnya berbahan batu andesit. Pada umumnya batu andesit diambil dari sungai. Namun di Magelang bahan dasar candi yang berbentuk batu bata. Candi-candi tersebut antara lain: situs Plandi, situs Brongsongan, situs Samberan, dan situs Dipan. Situs-situs tersebut berada di radius 1 km s.d. 5 km dari candi Borobudur. Situs lain yang berbahan dasar batu bata adalah Candiretno yang ada di wilayah Candiretno kecamatan Secang.
  • Pertimbangan kemakmuran lingkungan, yaitu pertimbangan yang bersifat ekonomi. Sebab pembangunan candi selain proses pembangunan juga berurusan dengan pemeliharaan dan pelestarian bangunan suci. Oleh sebab itu wilayah yang dijadikan pembangunan candi, secara umum mempunyai tingkat kemakmuran yang baik.

Sepertinya pembangungan candi Ijo yang berada di atas bukit lebih dominan orientasi politiknya dibandingkan dengan beberapa pertimbangan di atas. Sebab di dekat candi Ijo juga terdapat kompleks Keraton Ratu Boko yang juga besar dan megah. Tidak jauh  dari candi Ijo juga terdapat candi-candi besar yaitu candi Prambanan (Hindu), Sewu dan Plaosan yang bercorak Budha. Candi lain yang bercorak Budha yang lokasinya berada sekitar candi Ijo adalah candi Sojiwan dan Banyunibo.

Mungkinkah candi Ijo dibangun oleh penerus Sanjaya (Pikatan?, Kayuwangi?, Balitung?) untuk menunjukkan 'menara kekuasaan kembar' (candi Prambanan-candi Ijo) untuk menandingi kekuasaan dinasti Saylindra yang berhasil membangun candi Sewu dan Plaosan? Sebab candi sebesar candi Ijo, sepertinya tidak sebanding dengan perjuangan dan pengrobanan rakyat; apabila hanya dibangun untuk tujuan pemujaan. Sehingga alasan politik lebih mendekati fakta yang muncul dibanding sekedar alasan keagamaan. Orientasi mengembangkan kejayaan (Glory oriented) sepertinya lebih tepat untuk melihat alasan candi Ijo dibangun di atas bukit. Apalagi hanya sekitar 2 km dari candi Ijo, juga terdapat bangunan di atas bukit yang megah dan besar yaitu Keraton Ratu Boko.  

Argumen ini relevan dengan dugaan para Peneliti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogjakarta yang menjelaskan bahwa berdasar tulisan yang ada di prasasti yang ditemukan, candi Ijo diduga dibangun sekitar tahun 850 s.d. 900 M. Periode tahun itu diperintah oleh Pikatan, Kayuwangi dan Balitung yang pada masa pemerintahannya dinasti Sanjaya mengalami masa kebesaran. Hal ini tentu memerlukan kajian yang lebih mendalam.

2. Struktur bangunan

Pembangunan komplekss Candi Ijo memiliki karakteristik yang unik dan menarik. Struktur bangunan kompleks candi Ijo terdiri 17 yang terbagi menjadi 11 halaman benrbentuk teras berundak. Halaman tersebut memanjang dari barat ke timur. Halaman yang paling suci (sakral) berada di di halaman belakang (paling atas). Dengan demikian berada di bagian paling timur. Halaman tersebut merupakan halaman ke-11. Pada halaman ini terdapat empat candi yaitu 1 candi induk dan 3 candi perwara. Selain bangunan candi, pada halaman ini terdapat lingga yang tertanam pada empat arah mata angin dan bangunan pagar yang mengelilingi halaman.

Pada dinding candi induk terdapat tiga relung yang masing-masing ditempati arca Agastya, Ganesha, dan Durga. Sedangkan pada bilik candi induk terdapat lingga dan yoni yang merupakan simbolisasi dewa Siwa. Selanjutnya di dalam candi perwara tengah terdapat arca Nandi yang dianggap sebagai keandaraan dewa Siwa.

Candi F di teras VIII kompleks candi Ijo. Sumber foto: BPCB DIY 2018
Candi F di teras VIII kompleks candi Ijo. Sumber foto: BPCB DIY 2018

Bangunan lainnya berada di teras 9. Pada teras ini terdapat struktur bangunan batur yang menghadap ke selatan. Selanjutnya di teras 8 terdapat tiga candi, empat batur, dan dua buah prasasti yang menjelaskan bahwa candi Ijo adalah candi pemujaan kepada buyut (generasi yang berada di atas kakek/nenek). Prasasti tersebut tidak berangka tahun, namun berdasar paleografinya diperkirakan abad ke-8 dan ke-9 M. Selanjutnya di teras 5, hanya terdapat satu candi dan dua batur. Sedangkan di teras 4 dan teras 1 (pertama) masing-masing terdapat satu candi. Pada teras ke-10, ke-7, ke-6, ke-3 dan ke-2 tidak terdapat bangunan candi. ( Edi Setyawati,dkk.2013).

Relung-relung candi induk kosong. Sebab arca Agastya, Ganesha dan Durga disimpan di BP3 Yogjakarta.Dokpri
Relung-relung candi induk kosong. Sebab arca Agastya, Ganesha dan Durga disimpan di BP3 Yogjakarta.Dokpri

Berdasar uraian tersebut dapat diketahui di kompleks candi Ijo terdapat 10 candi, 7 batur, 8 lingga patok dan pagar candi (terutama pada halaman teras terakhir). Oleh sebab itu candi Ijo merupakan kompleks percandian yang besar, sehingga tidak mustahil termasuk jenis candi kerajaan.

Keunikan

Hal menarik pada candi Ijo yang juga membedakan dengan candi peninggalan Hindu yang lain yaitu adanya proses alkulturasi dan sinkritisme antara pengaruh India (Hindu) dengan unsur asli nusantara yaitu masa Megalithikum (zaman batu besar). Pada masa ini ditandai dengan adanya kejelasan tentang konsep pemujaan roh nenek moyang.

Maka, mencermati keunikan candi Ijo dapat dilihat pada lokasi atau keletakan bangunan candi dan struktur bangunan. Dari sisi lokasi atau letak di atas bukit, ini merupakan salah satu keunikan. Sebab candi-candi lain yang dibuat di atas bukit umumnya candi tunggal dan kompleks candi yang dikategorikan kecil dan sedang. Padahal candi Ijo adalah kompleks candi yang besar dan megah dengan areal yang luas.

Pembangunan candi Ijo sepertinya merupakan hasil akuturasi antara unsur budaya Megalithikum, dengan pengaruh India (Hindu). Adanya teras-teras dari bawah ke atas (undak-undak) mengingatkan adanya peninggalan zaman Megalthikum yang bernama Pundek Berundak yaitu tempat yang digunakan untuk memuja roh nenek moyang. Maka bangunan teras secara berundak sudah ada sebelum Hindu masuk ke Indonesia. Selanjutnya, selain candi Ijo merupakan contoh hasil akulturasi, tidak mustahil juga merupakan hasil siskritisme mitologi Hindu dengan mitologi bangsa Indonesia sebelum Hindu masuk yaitu pemujaan roh nenek moyang yang berkembang pesat pada zaman megalithikum.   

Gambar candi Ijo dari Candi Induk (Teras IX) ke teras-teras di bawahnya. Sumber:(Foto: Dok. BPCB DIY 2016).
Gambar candi Ijo dari Candi Induk (Teras IX) ke teras-teras di bawahnya. Sumber:(Foto: Dok. BPCB DIY 2016).
Berdasar gambar di atas diketahui nahwa candi Induk selain dikelilingi pagar juga terdapat lingga-lingga yang ada di setiap arah mata angin. Kondisi demikian selain menampilkan kelengkapan suatu bangunan, juga menunjukka aspek keindahan dan kharisma suatu bangunan.

Tampak tiga candi Perwara pada halaman utama yang dikelilingi pagar. Foto diambil dari teras bawah. Dokpri
Tampak tiga candi Perwara pada halaman utama yang dikelilingi pagar. Foto diambil dari teras bawah. Dokpri

Candi Ijo dan Kepak Sayap Kekuasaan Dinasti Sanjaya Abad IX M

Berdasar bukti yang sekarang ada, kepak sayap kekuasaan dinasti Sanjaya mulai tahun 732 M berkembang di wilayah Magelang. Selanjutnya penerus Sanjaya yaitu Panangkaran, mengembangkan sayap kekuasaannya di wilayah Yogjakarta (sekarang). Hal ini dapat dilihat dari candi Kalasan (budha) dan candi Sari (Budha). Bisa saja masa Panangkran, kekuasaan Sanjaya terdesak oleh dinasti Sanjaya. Namun pada abad IX M, dinasti Sanjaya berkembang lagi, bahkan bisa dikatakan mengalami masa kejayaan yang ditandai perluasan wilayah dari sampai poros Prambanan. Di Magelang, candi-candi peninggalan dinasti Sanjaya yang dibangun diwilayah Magelang hampir semua dibangun pada periode abad IX M, kecuali candi Gunung Wukir (732 M). Demikian juga Situs Liangan, candi Pringapus di Temanggung, diduga tumbuh dan berkembang abad IX M. Pembangunan candi merupakan bukti kuatnya kekuasaan pemerintah. Maka makin banyak candi yang dibangun, dapat diasumsikan, kekuasaan penguasa makin kuat.

Apakah Candi Ijo juga dibangun abad IX M? Berdasar data epigrafi, Candi Ijo diperkirakan dibangun dalam kurun waktu tahun 850 M-900 M (Srimuryantini Romawati,dkk:2008). Apabila dugaan ini benar, maka Candi Ijo dibangun sezaman candi-candi yang ada di Magelang (Pendem, Asu, Lumbung, Candiretno, Situs Plandi, Situs Samberan, Situs Brongsongan, candi Umbul) dan situs Liangan, candi Pringapus di Temanggung. Sehingga pada abad IX M dapat dijelaskan sebagai masa berkembangnya sayap kekuasaan dinasti Sanjaya. Periode 850 M-900 M berdasar prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III yang dikeluarkan Balitung, adalah masa kekuasaan Pikatan, Kayuwangi dan Balitung. Sehingga dapat dijelaskan bahwa masa pemerintahan Pikatan, Kayuwangi dan Balitung, sayap kekuasaan dinasti Sanjaya berkembang dari Poros Prambanan sampai Magelang (bahkan Temanggung).

Bahkan pada masa Balitung sudah berhasil mengembangkan sayapnya di banyak wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan-temuan prasasti yang tersebar di berbagai kota Jawa Tengah dan Jawa Timur. Persebaran prasasti masa Balitung dapat dilihat pada tulisan penulis di (https://www.kompasiana.com/ciptolelono0907/66b41ea934777c7e3730e692/membaca-warta-magelang-dari-prasasti-mantyasih-907-m?page=4&page_images=1).  Hal ini menunjukkan bahwa Pikatan dan Kayuwangi serta Balitung adalah raja yang besar pengaruhnya. Sebab paska Balitung, dinasti Sanjaya mengalami kemunduran. Bahkan pada masa pu Sindok, dipindahkan ke Jawa Timur.

Salah satu candi yang ada di teras lima.Dokpri
Salah satu candi yang ada di teras lima.Dokpri

Berdasar uraian di atas dapat dijelaskan bahwa candi Ijo doduga dibangun tahun 850 M s.d. 900 M. Periode tersebut bisa dikatakan sebagai masa kebesaran dinasti Sanjaya. Setidaknya hal ini dapat dilihat pada prasasti yang dikeluarkan dan bukti-bukti arkeologi yang ditinggalkan, baik berupa candi maupun artefak yang tersebar. Dengan kata lain bisa dijelaskan bahwa candi Ijo merupakan salah satu bukti keberhasilan dinasti Sanjaya mengembangkan kepak sayap keuasaannya di wilayah poros Prambanan (sekarang). Pada periode 850 M s.d. 900 M wilayah kekuasaan dinasti Sanjaya terbentang dari Temanggung, Magelang, Sleman, Klaten, maupun DIY. Bahkan berdasar temuan prasasti pada saat Balitung, wilayah kekuasaanya terbentang dari Jateng, DIY sampai ke Jawa Timur.

Referensi

  • Ari Setyastuti, dkk.2003.Mozaik Pusaka Budaya Yogjakarta. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogjakarta.
  • Edi Setyawati,dkk.2013. Candi Indonesia, Seri Jawa. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Jakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Sri Muryantini Romawati,dkk.2008.Selayang Pandang Candi-candi di Yogjakarta. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogjakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun