Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Warta Magelang dari Prasasti Mantyasih (907 M)

8 Agustus 2024   08:47 Diperbarui: 19 Agustus 2024   21:54 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diolah dari beberapa sumber.dokpri

Bagi warga Magelang (khususnya kota Magelang), prasasti Mantyasih merupakan "rembulan yang bisa menerangi kegelapan" masa lalunya. Mengapa? Sebab dari prasasti inilah, dapat dikuak dengan lebih jelas tata kehidupan masyarakat Magelang pada Abad X M dan masa-masa sebelumnya, bahkan hari jadi Kota Magelang juga ditetapkan berdasar isi prasasti Mantyasih.

Sebab setelah ditelaah secara "toponim" nama Mantyasih tersebut sekarang bertrasformasi menjadi "Meteseh", yaitu salah satu kelurahan yang berada di wilayah Magelang Utara. Bahkan lokasinya berdekatan langsung dengan bangunan yang melegenda akibat pengkianatan Belanda (Jenderal De Kock) melawan Diponegoro yaitu eks Karesidenan Kedu.

Jejak peninggalan masih ada dan dirawat dengan baik oleh warga Meteseh, bahkan diperhatikan secara khusus oleh pemerintah Kota Magelang. Bukti sejarah ini selalu terawat baik kebersihan maupun pewarisan nilai-nilai hostorisnya. Sebab setiap tahun diadakan peringatan hari jadi Kota Magelang, maka sekaligus pewarisan nilai sejarah prasasti ini terus terjaga bagi generasi berikutnya.

Isi Prasasti Mantyasih

Prasasti Mantyasih lebih berisi tentang aspek-aspek politik yang terjadi pada masa raja Balitung pada tahun 907 M. Walaupun disebut nama suatu desa, namun terkait dengan politik raja tentang desa tersebut. Adapun isi pokok prasasti Mantyasih dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Disebut nama raja Rake Watukara Dyah Balitung yang mngeluarkan prasasti

2. Ditulis angka 829 saka (907 M)

3. Disebut nama desa Mantyasih yang ditetapkan oleh raja Balitung sebagai desa sima (perdikan).

4. Dijelaskan bahwa desa tersebut dipimpin oleh pejabat Patih

5. Disebut nama gunung Susundara (Sundara), dan Sumwing (Sumbing)

6. Dijelaskan alasan yang mendasari desa Mantyasih ditetapkan sebagai desa Sima

7. Disebut nama-nama raja Mataram Kuno masa dinasti Sanjaya:

  • Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
  • Sri Maharaja Rakai Panangkaran
  • Sri Maharaja Rakai Panunggalan
  • Sri Maharaja Rakai Warak
  • Sri Maharaja Rakai Garung
  • Sri Maharaja Rakai Pikatan
  • Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
  • Sri Maharaja Rakai Watuhumalang

Beberapa Warta Penting Magelang Berdasar Prasasti Mantyasih 

1. Sejarah Kelurahan Meteseh

Dari prasasti Mantyasih dapat diketahui bahwa nama Meteseh yang menjadi salah satu wilayah kelurahan di kota Magelang sudah ada sejak abad X M (907 M). Nama Meteseh pada tahun 907 M disebut dengan nama Mantyasih. Berdasar telaah toponim, nama Mantyasih yang tersebut dalam prasasti, diidentikan dengan Meteseh sekarang. Maka prasasti Mantyasih dijadikan dasar penetapan hari lahir Kota Magelang (11 April 907 M).

Desa Mantyasih pada masa pemerintahan raja Balitung, ditetapkan sebagai desa Sima. Dengan demikian, maka desa Mantyasih sejak itu telah dibebaskan kewajibanya membayar pajak kepada kerajaan. Alasan mendasarnya lebih pada alasan loyalitas dan keberhasilan menyelesaikan wabah penyakit dan kemampuan menekan tindak kriminalitas yang terjadi serta kemampuan dalam  melawan musuh kerajaan. 

Ditetapkanya Mantyasih sebagai desa sima, mengindikasikan bahwa raja Dyang Balitung mempunyai respek dan perhatian yang besar terhadap keberadaan para pemimpin dan masyarakat desa Mantyasih. Desa Mantyasih menjadi salah satu desa yang memperoleh perhatian istimewa dari sang raja. Bahkan dijelaskan pada isi prasasti Mantyasih, desa ini dijaga oleh 5 pejabat bergelar Patih. Mengapa tidak cukup seorang rama (kepala desa/wanua) yang mengendalikan pemerintahan, namun juga melibatkan Patih? Mungkin saja pada masa Balitung, Mantyasih memiliki kompleksitas masalah yang rumit, sehingga raja perlu menugasi Patih secara bergantian membantu mengendalikan pemerintahan di desa Mantyasih.     

Berdasar hal tersebut dapat diketahui bahwa desa Mantyasih merupakan desa tertua di wilayah Magelang. Sebab berdasar prasasti yang ada belum ada penjelasan angka tahun yang lebih tua dibandingkan desa Mantyasih. Dengan demikian kota Magelang, memiliki salah satu wilayah kelurahan yaitu Meteseh yang setidaknya sudah berumur 1117 tahun. Itu apabila didasarkan pada prasasti (Mantyasih). Sebab dalam prasasti Poh (905 M) juga disebut Mantyasih. Berarti sejak tahun 905 M desa Mantyasih sudah ada. Ini berart Mantyasih sudah ada sebelum periode 905 M.  Hanya saja desa Mantyasih ditetapkan sebagai sima oleh raja Balitung pada tahun 907 M.

Maka kelurahan Meteseh di kota Magelang sudah terbukti membentangkan sejarah panjang masyarakat Magelang sejak zaman Mataram Hindu. Hal ini membuktikan bahwa wilayah Magelang sejak zaman Mataram Hindu telah memainkan peran penting dalam percaturan sosial, ekonomi, agama, budaya maupun politik.

2. Raja-raja Mataram Kuno

Prasasti Mantyasih mampu menyingkap kegelapan masa lalu para pemimpin Mataram Hindu. Sebab dari prasasti tersebut diperoleh penjelasan tentang silsilah raja-raja Mataram Hindu yang pernah memerintah. Dari prasasti ini akhirnya diketahui para penguasa Mataram Hindu yang diletakkan pondasinya oleh raja Sanjaya.   Pada silsilah tersebut Sanjaya disebut sebagai wamsakarta (pendiri dinasti). Silsilah dengan versi yang berbeda yang juga menjelaskan silsilah raja Mataram Kuno adalah prasasti Wanua Tengah III (908 M) yang sama-sama dikeluarkan oleh raja Balitung.

Masih berdasar pada prasasti tersebut, nama Sanjaya makin jelas keberadaanya. Sehingga Sanjaya selain disebut dalam prasasti Canggal (732 M) dan cerita Parahyangan, Sanjaya juga disebut dalam prasasti Mantyasih. Berdasar hal tersebut dapat diketahui bahwa Sanjaya menjadi tokoh penting dalam pemerintahan Mataram Hindu. Nama Sanjaya juga disebut pada prasasti Wanua Tengah III dengan nama lain yaitu Rahyangta i Hara adik Rahyangta i Mdang. Nama-nama raja Mataram Hindu berikut masa berkuasanya dapat dilihat pada tabel berikut:

Data tabel diolah.dokpri.
Data tabel diolah.dokpri.

Bagi masyarakat Magelang, nama Sanjaya tentu menjadi sosok yang menghadirkan sejarah tata kehidupan sejak abad VIII M. Sebab di Magelang Sanjaya mengawali pembangunan Candi yang bercorak Hindu. Candi Gunung Wukir, Losari dan Selogriyo adalah peran besar Sanjaya dalam mengukir sejarah Mataram Hindu di Magelang. Kebesaran Sanjaya akhirnya dilanjutkan oleh para pewarisnya. Setelah Mataram Hindu di bawah kuasa raja Balitung wilayah Magelang menjadi pijakan sejarah lagi dengan ditandai penetapan Desa Mantyasih (sekarang Meteseh) sebagai daerah sima.

3. Pesona Gunung Sindoro dan Sumbing

Nama dua gunung (Sundoro dan Sumbing) yang menjadi panorama indah warga Magelang setiap harinya disebut secara tekstual dalam prasasti Mantyasih. Artinya sejak tahun 907 M dua gunung tersebut sudah menjadi perhatian sang raja sebagai fenomena alam yang menarik. Tentu kedua gunung tersebut juga mempunyai makna bagi kehidupan baik social, budaya, ekonomi dan relegi bagi masyarakat Magelang saat itu.

Ketika Belanda menguasai Magelang yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan, bangunan eks Karesidenan Kedu juga dibuat menghadap ke barat (arah gunung Sindoro dan Sumbing) oleh pemerintah Belanda.

4. Sistem Pemerintahan

Berdasar prasasti Mantyasih, dapat diketahui bahwa sistem kerajaan telah memiliki pijakan yang kuat dalam pemerintahan Mataram Hindu. Sistem tersebut secara tidak langsung telah menjelaskan adanya alur birokrasi dari tataran pemerintah pusat sampai pemerintahan yang paling bawah. Sistem ini sudah dimulai sejak zaman Sanjaya. Maka pada masa Balitung, sistem kerajaan tentu sudah mempunyai kelengkapan yang jauh lebih sempurna. Raja menjadi pemimpin tertinggi yang dibantu oleh I hino, I halu, I sirikan. Pemerintahan dibawahnya adalah seorang rakai yang menguasai wilayah watak, sedangkan pemerintahan paling bawah adalah rama yang menjadi kepala wilayah wanua.

Maka alur birokrasi yang dijalankan membutuhkan para pejabat yang secara berjenjang menjalankan tata pemerintahan dari atas sampai pemerintahan terbawah. Sehingga selain dibutuhkan pejabat yang bersifat birokratis, juga dibutuhkan kelengkapan komponen pemerintahan baik untuk keamanan (prajurit dan pimpinanya), pertanian (sistem dan petugas yang dibutuhkan), perpajakan (sistem dan petugas yang dibutuhkan), keagamaan (pemimpin agama/brahmana dan pemanfaatan, pemeliharaan dan pelestarian tempat suci), maupun profesi lain yang dibutuhkan oleh kerajaan. Makin lengkap dan kuat komponen pemerintahan, akan membawa dampak pada keberlangsungan kekuasaan rajanya. Uraian tentang para pejabat kerajaan dari raja sampai wanua (desa) sudah pernah diulas penulis pada tulisan di kompasiana. (https://www.kompasiana.com/ciptolelono0907/6670ca4bed641545ae2ae022/jejak-peradaban-hindu-di-magelang-membaca-warta-magelang-dari-prasasti-canggal)

Berdasar prasasti tersebut dapat diketahui bahwa status pemerintahan Magelang adalah sebagai wilayah wanua, sehingga pejabat pemerintahanya bergelar rama. Namun peristiwa penetapan sima wilayah Mantyasih saat itu diperintah oleh pejabat kerajaan yang bergelar Patih.

5. Sistem Keagamaan

Prasasti Mantyasih selain mewartakan tentang sistem pemerintahan juga menjelaskan tentang keagamaan yang hidup dan berkembang pada masa pemerintahan raja Balitung. Mengingat Balitung menobatkan diri sebagai penerus Sanjaya, maka Balitung adalah penganut agama Hindu. Namun sebelum ia berkuasa, para pendahulunya (setidaknya Panangkaran dan Pikatan) ada dugaan kuat membangun bangunan suci agama Budha (Panangkaran: candi Kalasan, Pikatan: candi Plaosan).  

Pada saat ia berkuasa sudah ditandai perkembangan agama Budha berikut bangunan suci yang ada. Misalnya di wilayah Poros Prambanan sekitar ada candi Sojiwan, Banyunibo, Sewu, Plaosan, Kalasan, Sari, bahkan di Poros Magelang sudah berdiri candi Ngawen, Mendut, Pawon dan karya monumental penganut Budha yaitu candi Borobudur.

Dengan demikian, pada saat Balitung berkuasa sudah berkembang secara bersamaan (khususnya di wilayah Magelang) agama Hindu dan agama Budha dengan bangunan suci masing-masing. Kedua agama ini bisa saja mengalami persaingan dalam menyebarkan ajaran masing-masing. Indikasi yang bisa dilihat adalah perkembangan bangunan suci (candi) yang berdekatan tempat maupun kurun waktu. Hal ini setidaknya dapat dapat dilihat pada poros Prambanan sekitar dan poros Magelang. Di kedua poros tersebut bertebaran candi Hindu dan Budha. Oleh sebab itu Magelang secara keagamaan sudah merasakan pengaruh Hindu dan Budha yang sedemikian kuat.

6. Sistem Budaya

Prasasti Mantyasih juga memberikan warta budaya pada tahun 907 M tentang aktivitas budaya yang dilakukan. Pemandangan paling nampak adalah pembangunan candi. Masa Balitung disebutkan berhasil menyelesaikan pembangunan candi Prambanan yang sudah dimulai sejak zaman Pikatan. Selain penyelesaian bangunan candi yang megah bercorak Hindu, Balitung yang berkuasa pada 899 s.d. 911 M merupakan salah satu raja Mataram Hindu yang meninggalkan banyak prasasti. Menurut Baskoro, 2017: Prasasti Peninggalan Balitung antara lain:

Data tabel diolah.dokpri
Data tabel diolah.dokpri

Tabel di atas menjelaskan tentang dugaan wilayah kekuasaan Balitung meliputi Jateng, Yogjakarta dan Jatim. Bahkan diduga hingga wilayah Bali. Selanjutnya tabel di atas juga menjelaskan bahwa pada masa itu sudah terjadi perkembangan literasi yang bersifat formal di kalangan kerajaan dalam bentuk penulisan prasasti. Melalui prasasti tersebut akhirnya dapat disingkap kehidupan Mataram Kuno. Prasasti tersebut juga menandai adanya perkembangan budaya tulis di Mataram Hindu. Kelak mengalami perkembangan pada periode Kediri dalam bentuk karya-karya sastra.

Perkembangan budaya Mataram Kuno juga ditandai perkembangan bangunan suci baik yang bercorak hindu maupun budha. Persebaran candi-candi di Magelang jejaknya banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Magelang. Uraian bangunan candi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel diolah dari beberapa sumber.Dokpri
Tabel diolah dari beberapa sumber.Dokpri

Berdasar tabel di atas dapat diketahui bahwa sejak abad VIII M di Magelang berdiri bangunan suci yang bercorak Hindu. Bangunan candi abad VIII M semua didirikan oleh Sanjaya. Bangunan suci yang bercorak Hindu berkembang juga di Magelang abad IX M yaitu dibangunya candi Asu, Lumbung dan Pendem oleh raja Kayuwangi. Bangunan suci yang bercorak Budha lebih dahulu dibangun di wilayah Magelang yaitu candi Ngawen, Pawon, Mendut dan Borobudur. Bangunan tersebut didirikan oleh raja Samarotungga dari dinasti Sailendra. Dengan demikian di Magelang dinasti Sanjaya yang berperan mendirikan candi yaitu Sanjaya dan Kayuwangi. Sedangkan dari dinasti Sailindra yang mendirikan bangunan sucinya adalah Samarotungga.

7. Sistem Sosial

Prasasti Mantyasih secara tekstual tidak menyebut adanya sistem sosial yang ada di Mataram Hindu masa Balitung. Yang pasti masa Balitung masih menunjukkan pengaruh Hindu (India). Maka sistem sosial yang berjalan adalah sistem kasta. Namun konsep kasta-nya tentu tidak bisa mutlak seperti India. Diperoleh informasi dari prasasti sebelum Balitung berkuasa, terdapat nama-nama yang bersifat ke Indonesiaan terkait dengan status sosial berdasarkan catur wangsa (brahmana, ksatria, waysa dan sudra). Informasi tersebut diperoleh dari beberapa prasasti yang dibuat sebelum Balitung. Adapun uraian sebagai berikut:

a. Golongan Brahmana (golongan agamawan). Kaum Brahmana disebut dengan "samgat/pamgat" (Prasasti Kamalagi ,821 M dan Munggu Antan, 886 M). Mereka bertugas di bidang keagamaan (mengajarkan agama hindu, memimpin upacara, memutus perkara keagamaan).

b. Golongan Ksatria (Golongan Bangsawan dan Pejabat Kerajaan). Kaum Ksatria terdiri dari raja (Rake Kayuwangi) dan pejabat kerajaan yang terdiri dari Rakaryan Mapatih Hino, Wka, Sirikan, Tiruan, Halaran, Panggilhyan, Wlawan, Manhuri, Tanjun, Lanka, Wadihati, Makudur (Prasasti Ramwi,882 M). Namun prasasti tidak menjelaskan secara pasti tugas masing-masing pejabat tersebut. Nastiti,2003:36 (dalam Arrazaq dan Rochmat,2020) menjelaskan pejabat kerajaan terdiri dari atas raja, putra mahkota (mapatih I hino yaitu calon pengganti raja, tiga putra yang lain (mapatih i halu, mapatih i sirikan, mapatih i wka) yaitu pejabat kerajaan yang melanjutkan perintah raja kepada para kepala daerah (kepala watak/rake), serta seorang pejabat keagamaan (pamgat/samgat) yang bertugas mengurus keagamaan.

c. Golongan Waysha (Golongan Pedagang). Golongan pedagang juga disebutkan dalam prasasti Ramwi 882 M dengan sebutan tuha dagan. Raharjo,2011:541 (dalam Arrazaq dan Rochmat,2020) menjelaskan bahwa tuha dagan adalah ketua/pemimpin kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang.

d. Golongan Sudra (Golongan Masyarakat Biasa). Golongan sudra adalah kelompok masyarakat yang memiliki status sosial paling bawah. Mereka disebut sebagai masyarakay biasa. Zoetmoulder,1994:473 (dalam dalam Arrazaq dan Rochmat,2020) menjelaskan bahwa masa kerajaan Mataram Kuno terdapat profesi masyarakat paling bawah yang disebut pembantu yang disebutkan dalam prasasti Luitan (901 M) dengan istilah katik. Prasasti ini ditulis masa Balitung. Maka katik adalah pembantu yang dikelompokkan dalam golongan Sudra.

8. Sistem Ekonomi

Prasasti Mantyasih secara tidak langsung juga menjelaskan tentang system ekonomi masyarakat dalam bentuk pertanian. Hal ini terkait dengan penetapan Mantyasih sebagai wilayah sima yaitu wilayah yang dibebaskan dari beban pajak, namun diberi kewajiban bahwa hasil pertanian digunakan untuk merawat dan melestrarikan bangunan suci. Berdasar prasasti sebelum Balitung berkuasa, diperoleh penjelasan beberapa aktivitas ekonomi yang tumbuh dan berkembang di Mataram Kuno. Uraian dapat dilihat pada tabel berikut:

Data tabel diolah.dokpri
Data tabel diolah.dokpri
Berdasar tabel di atas dapat diketahui ada empat kegiatan ekonomi yang dipastikan ada pada masa Balitung yaitu pertanian, perdagangan, Pengrajin, dan Kesenian. Dengan demikian profesi yang ada antara lain petani, pedagang, pengrajin, dan pegiat seni. Hasil pertanian antara lain beras dan biji-bijian, barng yang diperdagangkan antara lain beras dan komoditi lain yang dibutuhkan antar desa (wanua). Pengrajin emas, besi dan tembaga sudah berkembang pada masa Balitung. Demikian juga aktivitas kesenian (khususnya pengidung dan pemain kendang) juga sudah tumbuh dan berkembang.

Kehidupan Magelang Abad X

Warta Magelang awal abad X M jauh tentu lebih baik dibanding abad sebelumnya. Bahkan secara empiris mendapat dukungan pada bukti tertulis (prasasti) yang cukup banyak. Ditambah lagi dengan bangunan purbakala baik yang bercorak Hindu maupun Budha.

Penulis membayangkan, Magelang pada awal abad X M seperti kota metropolitan yang dipenuhi kecanggihan teknologi dan tata kehidupan social, ekonomi dan budaya yang masyarakatnya hidup sejahtera dan makmur. Sehingga tidak mustahil Magelang saat itu menjadi tumpuan masyarakat yang berasal di luar Magelang untuk berkunjung baik untuk keperluan agama, ekonomi, berwisata maupun kepentingan politik.

Pada artikel sebelumnya sudah penulis tampilkan beberapa sumber tertulis yang ditemukan di wilayah Magelang. Setidaknya terdapat 11 (sebelas) prasasti yang secara khusus ditemukan di wilayah Magelang (baik kota maupun kabupaten). Beberapa prasasti tersebut penulis tulis ulang dalam tabel berikut:

Data tabel diolah dari beberapa sumber:dokpri
Data tabel diolah dari beberapa sumber:dokpri

Berdasar tabel di atas dapat diketahui bahwa wilayah Magelang dari tahun 732 M (prasasti Canggal) sampai awal abad X M, pernah menjadi wilayah pemerintahan dinasti Sanjaya. Adapun raja yang pernah berkuasa antara lain Sanjaya, Garung, Kayuwangi, Watuhumalang, Balitung dan Daksa. Nama-nama raja tersebut yang disebut-subut dalam prasasti di atas. 

Bahkan berdasar pada temuan fakta kepurbakalaan yaitu candi Ngawen, candi Mendut, candi Pawon dan candi Borobudur, pada abad IX M sampai X M di Magelang sudah muncul dan berkembang bukti pemerintahan dinasti Sailendra yang beragama Budha.  Sehingga tidak mustahil di Magelang sudah menjadi wilayah yang diperebutkan keberadaanya. Fakta-fakta tersebut juga menunjukkan Magelang sudah menjadi pusat penyebaran agama Budha. Sehingga pada abad IX M sampai X M, pengaruh India di Magelang sudah sangat kuat baik secara politik, social, budaya, ekonomi, maupun agama.  

Berdasar data di atas setidaknya ada dua prasasti yang masuk kategori istimewa bagi masyarakat Magelang. Pertama prasasti Canggal (732 M) yang merupakan prasasti pertama yang mewartakan nama Sanjaya yang menjadi raja Mataram Kuno menggantikan Sanna (saudara ibu Sanjaya). Hal ini menjelaskan posisi Magelang pada abad VIII M sudah merupakan wilayah yang mempunyai pengaruh besar bagi pemerintahan Mataram Kuno. Sebab Sanjaya memilih Magelang menjadi tempat bangunan sucinya (candi Gunung Wukir). Candi tersebut berdasar angka tahun pada prasasti Canggal bisa dikatakan merupakan candi peninggalan Sanjaya tertua di Jawa Tengah (setidaknya di Magelang). Pendek kata pada VIII M warga Magelang mengenal bangunan dengan teknologi tinggi bernama candi dan sistem pemerintahan kerajaan.

Prasasti berikutnya adalah Mantyasih (907 M). Prasasti tersebut menjadi bukti tertulis yang menyebutkan para penguasa Mataram Kuno dari abad VIII M (732 M) sampai masa pemerintahan raja Balitung (awal abad X M). Prasasti ini secara khusus mewartakan salah satu desa di Magelang (sekarang kota) yang bernama Mantyasih dipilih oleh raja Balitung sebagai desa sima. Warta Magelang awal X M  berdasar prasasti Mantyasih (907 M) adalah terungkapnya raja-raja penguasa Mataram Kuno dari Sanjaya sampai Balitung. Hal tersebut menyingkap fakta tentang para penguasa Mataram Kuno dari dinasti Sanjaya. Tidak mustahil wilayah Magelang pernah menjadi pusat pemerintahan Mataram Kuno.

Secara bukti benda-benda purbakala pada awal abad X M banyak ditemukan candi. Bahkan boleh dikatakan bahwa abad X Magelang sudah merupakan "kota candi". Sebab saking banyaknya candi yang dibangun di wilayah Magelang. Namun semua candi-candi yang ada, berada di wilayah kabupaten Magelang. Bahkan candi-candinya ada yang bercorak Siwaisme maupun Budhisme. Wilayah yang bisa menandingi Magelang dalam pembangunan Candi adalah Prambanan (Poros Prambanan) sekitar.

Sebagai kota Candi, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa masyarakat Magelang sudah hidup dalam peradaban yang sudah tinggi dan mempunyai jejaring kehidupan social yang sudah terbuka dan komplek. Berdasar temuan candi-candi baik yang bercorak Hindu ada yang bercorak Budha semua ada di wilayah Magelang,  hal tersebut mengindikasikan adanya tingkat spiritualitas yang baik yang dilandasi semangat toleransi. Berikut ditampilkan peninggalan candi yang ada di wilayah kabupaten Magelang.

Foto diolah dari beberapa sumber.dokpri
Foto diolah dari beberapa sumber.dokpri
Penjelasan secara lebih rinci tentang foto-foto candi tersebur dapat dilihat pada tabel berikut:

Data tabel diolah dari beberapa sumber.dokpri
Data tabel diolah dari beberapa sumber.dokpri

Berdasar foto-foto dan tabel di atas menunjukkan bahwa bangunan candi baik yang bercorak Hindu maupun Budha telah berkembang di wilayah Magelang sejak abad IX M. Hal ini menunjukkan beberapa fakta sebagai berikut:

  • Pengaruh India berkembang dengan pesat di wilayah Magelang
  • Di Magelang, selain berkembang agama Hindu juga berkembang agama Budha. Walaupun Sebagian besar candi-candi bercorak Hindu, namun terdapat candi agama Budha yaitu candi Ngawen, candi Pawon, candi Mendut dan candi Borobudur. Candi Borobudur menjadi fenomena kebesaran dinasti Syailindra yang "menjadi pesaing" dinasti Sanjaya.
  • Selain di Magelang, juga kita temukan deretan candi-candi Hindu maupun Budha yang berada di wilayah Yogjakarta (Poros Prambanan) sekitarnya yaitu antara lain: candi Prambanan (hindu), candi Ijo (hindu), candi Gebang (hindu), candi Kedulan (hindu), candi Morangan (hindu), candi Sambisari (hindu), candi Barong (hindu),dll. Selanjutnya candi-candi Budha antara lain candi Sewu, candi Plaosan, candi Sari, candi Kalasan, candi Sojiwan, candi Banyunibo.
  • Candi-candi Hindu yang merupakan kompleks candi besar adalah candi Prambanan dan candi Ijo. Sedang kompleks candi Budha yang kategori besar adalah candi Sewu dan candi Plaosan. Sedangkan candi Borobudur merupakan candi terbesar di wilayah Magelang.
  • Maka secara politik Yogjakarta-Magelang sejak abad VIII M-X M secara bergantian saling berlomba membangun candi-candi, baik bercorak Hindu maupun Budha.
  • Di Magelang juga berkembang keahlian dalam bangunan candi
  • Di Magelang juga berkembang skil pembuat relif candi, arca dan patung. Pembuat relif, arca, maupun candi disebut dengan "Silpin" (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/silpin-dan-citralekha-siapa-mereka)
  • Tidak mustahil di Magelang juga sudah berkembang penulis prasasti (citraleka)
  • Di Magelang juga berkembang seni yang tinggi (seni lukis, seni kriya, seni ukir, dll)
  • Di Magelang pada abad X M sudah terjadi perkembangan budaya yang tinggi.

Berdasar paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Prasasti Mantyasih mempunyai makna sejarah yang penting bagi masyarakat Magelang. Dari prasasti tersebut dapat diketahui jejak historis Magelang pada abad X M baik sebelum maupun setelahnya, baik system social, ekonomi, budaya, politik maupun agama. Bahkan berdasar prasasti maupun bukti kepurbakalaan yang ada, pada abad IX M juga diwarnai perkembangan agama Budha dengan bukti-bukti kebesaran yang masih ada sampai sekarang.

Maka dapat disimpulkan bahwa sejak abad VIII M, Magelang mempunyai peran besar pada masa Mataram Kuno (baik hindu maupun budha). Puncak perkembangan adalah abad IX M yang ditandai perkembagan agama Hindu dengan berbagai bangunan sucinya serta perkembangan agama Budha dengan segenap bangunan sucinya. Sehingga tidak berlebihan apabila Magelang disebut sebagai kota sejarah. Sebab sejak zaman Hindu-Budha, Islam, Kolonial, bahkan masa Perang Kemerdekaan jejak sejarahnya semua bisa dilacak di Magelang.

Referensi :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun