Berdasar isi prasasti Rumwiga II dapat diketahui bahwa telah terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh petugas pajak dengan cara memberikan beban lebih banyak dari ketentuan kerajaan. Maka protes rakyat Rumwiga yang dipimpin oleh ketua desa (karaman) diterima. Prasasti Rumwiga II memberikan bukti sejarah bahwa awal abad X M sudah terjadi penyimpangan pajak oleh petugas pajak.
b) Prasasti Palepangan 906 M
- Ditemukan di Borobudur Magelang, menggunakan bahasa dan huruf Jawa Kuno. Terjemah isi prasasti sebagai berikut:
- Selamat tahun saka yang telah berlalu 828 tahun, bulan ... tanggal 8 paroterang, paringkelan Haryang, pasaran Wage, hari Jumat. Pada saat itu para rama (kepala desa) di Palepangan
- mendapat anugrah penetapan dengan prasasti dari Rakryan Mahapatih i Hino Pu Daksottama Bahubajrapratipaksaksaya. Adapun sebabnya karena para rama tidak setuju
- terhadap sang Nayakan Bhagawanta Jyotisa bahwa sawahnya dihitung 2 lamwit luasnya dan dikenai pajak 6 dharana uang perak setiap tampah. Karena sempitnya maka para rama tidak sanggup membayar pajak. Para rama menghadap kepada Rakryan Mahapatih, dan diperintahkan agar sawahnya diukur dengan tampah haji.
Nugroho, L. A ,dkk (2018) menjelaskan bahwa intisari isi prasasti adalah sengketa pajak antara warga desa Palepangan dengan Nayaka (petugas pajak) yang bertugas memungut pajak di desa Palepangan.Â
Warga Palepangan protes kepada petugas karena beban pajak yang harus dibayar terlalu besar. Kepala desa (rama) dan warga melaporkan kasus tersebut kepada mahamantri Daksa.Â
Selanjutnya dilakukan pengukuran ulang tanah milik warga Desa Palepangan. Dari pengukuran ulang tersebut, warga desa akhirnya mendapat anugerah berupa keringanan pajak karena memang terjadi penyimpangan dalam pengukuran pajak sebelumnya yang dilakukan oleh petugas pajak yang bernama Bhagawanta Jyotisa.
Berdasar dua prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa sejak abad X M sudah ditemukan adanya perilaku  petugas pajak (oknum) yang 'nakal'. Perilaku tersebut tentu berorientasi pada upaya memperkaya diri sendiri. Dengan demikian dapat diketahui bahwa perilaku memperkaya diri sendiri dan koruptif tidak mengenal zaman.Â
Era kuno, era modern perilaku tersebut selalu ada. Masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang; perilaku tersebut akan selalu ada. Sebab perilaku demikian bersifat laten. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketidakjujuran bersifat laten. Ia terus ada dan tumbuh di setiap peradaban masyarakat.Â
Demi kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara; semoga kita, anak keturunan kita dapat terbebas dari perilaku korup yang dapat merugikan diri sendiri, keluarga apalagi masyarakat.
Referensi:
- https://disbud.bantulkab.go.id/storage/disbud/menu/469/158.-Prasasti-Rumwiga-II-A-BG-6.39.pdf
- Nugroho, L. A., Wuryani, E., & Sunardi, S. (2018). Kebijakan Penguasa Jawa Kuno: Balitung dalam Sebuah Kajian Epigrafi. Cakrawala Jurnal Penelitian Sosial, 7 (1), 65--82. Diunduh dari https://ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/view/2099
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H