Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Peradaban Hindu di Magelang: Membaca Warta Magelang dari Prasasti Canggal

18 Juni 2024   06:53 Diperbarui: 18 Juni 2024   06:54 1680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ukiran dan arca Nandi di komplek candi Gunung Wukir, bukti adanya profesi baru yang dikenal masyarakat Magelang abad VIII M.Dokpri

Prasasti Canggal merupakan salah satu bukti tertulis yang bisa dijadikan untuk menelusuri jejak peradaban masa lalu Magelang. Berbeda dengan prasasti Tukmas, prasasti Canggal mempunyai beberapa kelebihan antara lain: terdapat angka tahun dalam prasasti, jelas siapa yang memerintah menuliskan prasasti, ditemukan di kompleks percandian yang ada di atas bukit yang sekaligus menjadi salah satu isi prasasti. Namun huruf dan bahasanya sama dengan prasasti Tukmas. Keduanya memakai huruf Palawa dan bahasa Sansekerta, walaupun prasasati Canggal lebih muda. 

Berdasar pada karakteristik prasasti Canggal, maka prasasti ini lebih jelas untuk mengungkap aspek-aspek kehidupan masa lalu di Magelang. Apalagi prasasti ditemukan di komplek candi, sehingga memberikan informasi yang lebih lengkap. Prasasti Canggal berangka tahun 654 saka atau 732 M. Menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Palawa. Situs ini berada wilayah Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Prasasti Canggal merupakan prasasti yang berangka tahun paling tua di pulau Jawa (sementara ini).

Teks Prasasti Canggal yang asli. Sumber:           https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/prasasti-canggal
Teks Prasasti Canggal yang asli. Sumber:           https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/prasasti-canggal

Repro Salinan isi prasasti Canggal dan terjemah di Kantor Kompleks Candi Gunung Wukir.Dokpri
Repro Salinan isi prasasti Canggal dan terjemah di Kantor Kompleks Candi Gunung Wukir.Dokpri
Candi Gunung Wukir yang menjadi tempat ditemukannya prasasti, berada di puncak bukit. Maka untuk sampai ke lokasi hanya bisa ditempuh pakai motor dengan jalanan menukik. Atau jalan kaki dari perkampungan yang berada di bawah bukit. Sebelum sampai puncak bukit, penulis menemukan makam dua pendakwah Islam di wilayah Magelang yang menurut penuturan juru kuncinya masih mempunyai alur keturunan nabi Muhammad SAW.

Dua makam tokoh penyebar Islam di Magelang  Letak sekitar 1 km sebelum kompleks candi Gunung Wukir.Dok
Dua makam tokoh penyebar Islam di Magelang  Letak sekitar 1 km sebelum kompleks candi Gunung Wukir.Dok

Yang pasti, prasasti dan candi Gunung Wukir telah mewartakan jejak kehidupan di Magelang pada abad VIII (732 M), baik secara sosial, budaya, ekonomi, agama, maupun sistem pemerintahan. Berikut akan diulas warta Magelang berdasar prasasti Canggal.

Isi Prasasti Canggal

Secara ringkas Sartono Kartodirjo,dkk (82-83) menjelaskan isi prasasti Canggal sebagai berikut: "pendirian lingga oleh Sanjaya yang terletak di pulau Jawa. Pulau  yang kaya tambang emas dan padi-padian di desa Kunjarakunja. Pulau Jawa (yawadwipa) mula-mula diperintah oleh raja Sanna. Ia memerintah dengan kehalusan budi untuk waktu yang lama. Setelah raja Sanna meninggal, pecahlah negaranya. Rakyat kebingungan karena kehilangan pelindung. Penggantinya adalah raja Sri Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).

Selanjutnya menurut Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (papan informasi situs candi Gunung Wukir) isi prasasti Canggal sebagai berikut: "pendirian lingga (lambang dewa Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan juga bahwa yang menjadi raja mula-mula Sanna. Kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanna)".

Sedangkan Perbatjaraka menjelaskan bahwa Sanjaya mendirikan lingga di bukit sthirangga yang diidentikaan dengan candi Gunung Wukir. Candi tersebut merupakan tempat ditemukannya prasasti Canggal.

Berdasar paparan tersebut isi prasasti Canggal dapat diambil beberapa hal pokok sebagai berikut:

  • Raja Sanjaya mendirikan lingga di bukit sthirangga pada tahun 654 saka atau 732 M
  • Disebut nama Jawa (yawadwipa) yang kaya dengan tambang emas dan biji-bijian, padi, dll
  • Ada tempat yang luar biasa untuk memuja dewa Siwa di desa Kunjarakunja
  • Jawa diperintah oleh raja yang bernama Sanna
  • Sanjaya menggantikan raja Sanna yang meninggal
  • Sanjaya adalah anak Sannaha saudara perempuan Sanna

Dilihat dari isinya, prasasti ini termasuk jenis prasasti yang panjang.  Prasasti Canggal memuat 25 baris tulisan yang terbagi menjadi 12 klausul yang dipahatkan pada sebuah lempeng batu berbentuk persegi panjang berwarna kecoklatan. Di bagian atas terdapat pahatan berupa hiasan dedaunan, sedangkan bawahnya yang berfungsi semacam frame border atas isi prasasti. Melihat kualitas tulisannya yang relatif indah dan rapi, prasasti Canggal ditulis seorang citralekha (penulis prasasti) pilihan. Berdasar isinya dapat diketahui juga bahwa yang memerintah penulisan prasasti adalah raja Sanjaya.

Melacak Jejak Magelang dari Isi Prasasti Canggal

Ada warta apa yang diperoleh dari prasasti Canggal? Berdasar isi prasasti yang telah diterjemahkan para ahli dapat diketahui tentang kehidupan Magelang abad VIII M (732 M). Walaupun masih tetap berpijak pada analisis yang bersifat spekulatif, namun wartanya jauh lebih lengkap dibanding informasi dari prasasti Tukmas guna melacak jejak kehidupan di Magelang masa lalu. Selain bukti tertulis, juga ada candi yang merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa keduanya ada di wilayah kabupaten Magelang sekarang. Maka di Magelang tentu sudah ada peradaban yang berkembang. Uraian bidang-bidang kehidupan, dibahas pada paparan berikut:

1. Kehidupan sosial

a. Interaksi sosial 

Interaksi sosial adalah proses terjadinya hubungan sosial baik individu-individu, individu-kelompok maupun kelompok-kelompok. Dalam interaksi sosial terjadi dua proses yaitu asosiatif dan disosiatif. Proses asosiatif adalah proses interaksi sosial yang mengarah pada pencapaian tujuan bersama. Sedangkan proses disosiatif adalah proses interaksi sosial yang berusaha mencapai tujuan masing-masing. Kedua proses tersebut juga terjadi bagi masyarakat Magelang saat itu. Berdasar isi  prasasti Canggal kondisi masyarakat sudah tergambar lebih komplek. Maka ulasan tentang interaksi sosial akan dikaji baik secara internal maupun eksternal.

1.1. Interaksi Internal 

Yaitu interaksi yang terjadi antara sesama warga Magelang dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui aktivitas pertanian maupun kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat pada prasasti Canggal yang menyebut nama Jawa yang kaya dengan padi dan biji-bijian. Isi prasasti tersebut setidaknya menjelaskan Jawa penduduknya bermata pencaharian pertanian. Konsep Jawa kala itu tentu tidak bisa dikonotasikan dengan Jawa seperti sekarang. Bisa saja Jawa yang dimaksud adalah Magelang sekitar yang secara factual mempunyai tanah yang subur dan banyak pegunungan.

Yang pasti Jawa dalam pengertian sosial-budaya, alam dan mitologis. Konsep sosial-budaya berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan budaya yang dimiliki. Konsep mitologi selain berkaitan fungsi kepercayaan yang dapat dilihat salah satunya tentang keberadaan candi Gunung Wukir.  Selain itu juga pemilihan tempat bangunan candi yang berada di perbukitan.

Di Magelang setidaknya ada 3 (tiga) candi Hindu yang berada di atas bukit yaitu candi Gunung Wukir dan candi Gunung Sari di wilayah kecamatan Salam dan candi Selogriyo di wilayah kecamatan Windusari.  Bahkan kecamatan Salam tahun 2004 juga ditemukan candi peninggalan Hindu yaitu candi Losari yang diduga peninggalan abad VIII M. Mengingat Magelang adalah daerah yang dikelilingi banyak gunung, maka konsep mitologisnya sangat kental.

Memang menarik, nama Jawa yang disebut dalam prasasti Canggal. Bahkan dijelaskan tentang wilayah yang kaya padi dan biji-bijian. Maka tidak berlebihan apabila dijelaskan bahwa sejak abad VIII M, di Magelang dapat diketahui sudah ada kehidupan sosial yang ada dalam suatu wilayah sosial yang hidup dari pertanian yang warganya saling berinteraksi.

Oleh sebab itu interaksi sosial asosiatif terjadi antar petani maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini secara ilustratif dapat dijelaskan menjadi cikal bakal lahirnya kegotongroyongan di masyarakat. Sebab di Magelang memang sangat cocok untuk pertanian. Mengingat kesuburan tanahnya akibat banyak gunung dan pegunungan yang mengitarinya.

Selanjutnya juga terjadi interaksi antar sesama pemeluk agama Hindu dalam beribadah, bersesaji, dll. Sebab berdasar isi prasasti Canggal maupun adanya candi yang ditemukan di Magelang, dapat dijelaskan bahwa di Magelang masyarakat sudah memeluk agama Hindu. Maka interaksi social yang bersifat keagamaan juga dimungkinkan sudah terjadi. Bahkan sangat mungkin telah terjadi interakasi sosial secara struktural antara rakyat biasa dengan pejabat di wilayahnya, walaupun interaksi ini bersifat instruktif.

Untuk interaksi yang bersifat instruktif dapat dilihat secara faktual adanya candi Gunung Wukir. Sebab pembangunan candi membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Sehingga memerlukan proses interaksi yang bersifat asosiatif dalam jangkauan yang relatif luas sebagai bentuk pengerahan massa.

Interaksi yang berjalan secara internal ini akhirnya melahirkan nilai dan norma sosial yang disepakati. Nilai-nilai tersebut tentu berkaitan dengan tantangan kehidupan nyata yang dihadapi. Nilai-nilai tersebut dalam perkembangan menjadi adat-istiadat masyarakat. Nilai-nilai yang paling dekat dengan kehidupan mereka adalah nilai-nilai yang berkaitan pertanian, gunung maupun berkaitan dengan nenek moyang (leluhur). Proses pengolahan tanaman yang lancar, hasil pertanian yang melimpah adalah harapan semua warga petani. Maka munculah nilai-nilai sosial yang berkaitan dengan pertanian. Sesaji, mantra, maupun simbol-simbol lain yang berkaitan dengan pertanian. Nilai-nilai yang berkaitan dengan keberadaan gunung akan bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat kosmologis tentang keberadaan dewa-dewa yang diyakini.  Secara factual di berbagai kecamatan banyak ditemukan  lingga maupun yoni, yang menjadi simbol dewa Siwa ditemukan di sawah ladang penduduk.

Repro beberapa peninggalan hindu di wilayah Secang. Sumber: https//nyariwatu.blogspot.com
Repro beberapa peninggalan hindu di wilayah Secang. Sumber: https//nyariwatu.blogspot.com

1.2.Interaksi eksternal

Interaksi sosial yang bersifat eksternal yang memungkinkan adalah interaksi dengan India. Interaksi ini bisa bersifat langsung maupun tidak langsung. Interaksi juga dilakukan dalam bentuk asosiatif. Hubungan India-Indonesia pada abad VII-VIII M sangatlah mungkin. Sebab agama Hindu sudah ada dan berkembang di wilayah Magelang. Hal ini dapat dilihat dengan adanya fakta candi Gunung Wukir maupun candi Losari yang ditemukan di wilayah Kecamatan Salam Kabupaten Magelang. Pada abad sebelumnya di prasasti Tukmas juga sudah ditemukan fakta agama Hindu sudah ada di wilayah Magelang.

Berdasar fakta-fakta tersebut dapat diduga kuat bahwa agama Hindu sudah berkembang di Magelang sejak Sanjaya berkuasa (bahkan sebelumnya). Pendirian candi jelas menunjukkan adanya bukti adanya agama Hindu sudah menjadi agama masyarakatnya di wilayah sekitar candi.

Dengan demikian sangatlah mungkin bahwa masyarakat Magelang sudah membangun interaksi sosial yang bersifat eksternal dengan para pembawa dan pengajar agama Hindu baik yang langsung dari India atau yang berasal dari wilayah nusantara lain. Apakah mereka kaum brahmana atau pemuka agama yang dipercaya untuk menyebarkan agama Hindu di wilayah Magelang khususnya. Hubungan juga dimungkinkan menggunakan jalan perdagangan. Sekali lagi interaksi tersebut bisa berbentuk direct maupun indirect.

Selain agama Hindu yang berkembang di Magelang, tidak mustahil agama Budha juga mulai menyebarkan ajaranya di wilayah Magelang. Candi-candi Budha seperti candi Ngawen, Mendut, Pawon apalagi Borobudur telah menunjukkan bahwa sejak Sanjaya berkuasa bisa saja agama Budha juga mulai masuk dan berkembang di Magelang.

Bahasa sanskereta dan huruf Pallawa yang terpahat dalam prasasti Canggal, secara langsung menunjukkan adanya pengaruh India di wilayah Magelang pada abad VIII M (732 M). Baik bahasa maupun huruf tersebut identik dengan kaum brahmana di India. Sebab menurut beberapa sumber, kaum brahmanalah yang memahami bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa.

Dengan demikian selain terjadinya interaksi sosial yang bersifat internal sesama warga Magelang, juga sudah memungkinkan terjadinya interaksi yang bersifat eksternal, khususnya dengan India. Tentu interaksi tersebut selain bersifat keagamaan, juga bisa bersifat perekonomian.

b. Struktur sosial

Ada dua struktur sosial yang selalu muncul di masyarakat yaitu lapisan sosial (stratifikasi sosial) dan diferensiasi sosial. Lapisan sosial ditandai perbedaan tingkatan status sosial dari bawah sampai ke atas. Sedangkan diferensiasi sosial lebih pada munculnya perbedaan status sosial secara horizontal, sehingga di masyarakat muncul aneka status sosial maupun peran sosial.

1. Struktur Sosial Vertikal

Struktur sosial vertikal di Magelang abad VIII M juga sudah terpengaruh India. Sebab berdasar prasasti Canggal, sistem pemerintahannya adalah kerajaan. Maka struktur sosial vertikal tertinggi adalah raja. Sebab berdasar isi prasasti Canggal dijelaskan bahwa Sanjaya adalah raja yang memimpin kerajaan, sebagai pengganti raja sebelumnya yaitu Sanna. Setelah raja tentu ada para pejabat pembantu raja. Mengingat Mataram Kuno bergama Hindu, tentu juga terpengaruh sistem kasta yang menetapkan garis keturunan sebagai penentu. Sehingga muncul kasta brahmana, ksatria, waisya dan sudra. Walaupun dalam praktiknya, sistem kasta yang berkembang di Nusantara (Mataram Hindu) tidak se kaku yang ada di India. Hal ini membuktikan bahwa nenek moyang kita saat itu sudah mengembangkan langkah local genius (kearifan lokal).

Bagan diolah dari Soekmono,1990:11:Dokpri
Bagan diolah dari Soekmono,1990:11:Dokpri
Menurut Cristie:1986(dalam Maziyah,2018:188) secara vertikal wilayah Mataram Kuno dibagi menjadi kerajaan (raja sebagai penguasa), watak (rakai sebagai penguasa), dan wanua (rama sebagai penguasa). Maka secara vertikal struktur sosial yang muncul adalah raja, rakai, dan rama, rakyat jelata. Secara hirarki dapat dijelaskan sebagai berikut:

Lapisan sosial berdasar kekuasaan Mataram Hindu (diolah dari beberapa sumber).Dokpri
Lapisan sosial berdasar kekuasaan Mataram Hindu (diolah dari beberapa sumber).Dokpri

Berdasar bagan tersebut raja memiliki lapisan sosial tertinggi atas dasar keturunan. Lapisan sosial berikutnya adalah rakai/samgat (pejabat tingkat watak). Di bawahnya adalah lapisan sosial rama (pejabat tingkat wanua). Paling bawah adalah lapisan sosial rakyat jelata yang pada umumnya sebagai petani. Lapisan sosial tersebut bersifat tertutup. Sebab dasar lapisan sosialnya berdasar keturunan. Seorang rakai/samgat dapat menempati lapisan teratas apabila berhasil melakukan pemberontakan. Sehingga rakai tersebut menjadi pendiri dinasti (keturunan baru).

Apakah pada masa Sanjaya sudah mengenal nama-nama pejabat tersebut? Bisa saja belum. Sebab nama-nama jabatan tersebut terurai pada prasasti masa Kayuwangi (856-882 M). Yang pasti Sanna adalah raja, Sanjaya juga raja yang menggantikan Sanna. Sebagai raja mereka adalah penguasa tertinggi yang tentu mempunyai para pejabat di bawahnya sampai pada rakyat yang diperintahnya.

 Berdasar tradisi yang sering ditemui, nama-nama jabatan juga bisa diwariskan dari generasi pendahulu. Apalagi sistem kerajaan adalah pengaruh yang berasal dari India. Bisa saja nama-nama jabatan juga terpengaruh dari kerajaan di India. Yang pasti kekuasaan tertinggi pada tahun 732 M adalah raja Sanjaya. Siapa saja para pembantu di istana serta para pejabat di bawah raja, belum bisa diungkapkan. Tata birokrasi Mataram kuno sudah nampak lengkap pada abad IX (setidaknya pada masa pemerintahan Kayuwangi). Namun berdasar prasasti Canggal, dapat disimpulkan bahwa sistem kerajaan sudah diterapkan dalam penerapan kekuasaan. Dengan kata lain pada tahun 732 M, Magelang menjadi salah satu wilayah yang berada dalam kekuasaan kerajaan Mataram Kuno masa Sanjaya.

2. Struktur Sosial Horizontal

Berdasar bagan tersebut raja memiliki lapisan sosial tertinggi atas dasar keturunan. Lapisan sosial berikutnya adalah rakai/samgat (pejabat tingkat watak). Di bawahnya adalah lapisan sosial rama (pejabat tingkat wanua). Paling bawah adalah lapisan sosial rakyat jelata yang pada umumnya sebagai petani. Lapisan sosial tersebut bersifat tertutup. Sebab dasar lapisan sosialnya berdasar keturunan. Seorang rakai/samgat dapat menempati lapisan teratas apabila berhasil melakukan pemberontakan. Sehingga rakai tersebut menjadi pendiri dinasti (keturunan baru).

Apakah pada masa Sanjaya sudah mengenal nama-nama pejabat tersebut? Bisa saja belum. Sebab nama-nama jabatan tersebut terurai pada prasasti masa Kayuwangi (856-882 M). Yang pasti Sanna adalah raja, Sanjaya juga raja yang menggantikan Sanna. Sebagai raja mereka adalah penguasa tertinggi yang tentu mempunyai para pejabat di bawahnya sampai pada rakyat yang diperintahnya.

Berdasar tradisi yang sering ditemui, nama-nama jabatan juga bisa diwariskan dari generasi pendahulu. Apalagi sistem kerajaan adalah pengaruh yang berasal dari India. Bisa saja nama-nama jabatan juga terpengaruh dari kerajaan di India. Yang pasti kekuasaan tertinggi pada tahun 732 M adalah raja Sanjaya. Siapa saja para pembantu di istana serta para pejabat di bawah raja, belum bisa diungkapkan. Tata birokrasi Mataram kuno sudah nampak lengkap pada abad IX (setidaknya pada masa pemerintahan Kayuwangi). Namun berdasar prasasti Canggal, dapat disimpulkan bahwa sistem kerajaan sudah diterapkan dalam penerapan kekuasaan. Dengan kata lain pada tahun 732 M, Magelang menjadi salah satu wilayah yang berada dalam kekuasaan kerajaan Mataram Kuno masa Sanjaya.Struktur sosial horizontal lebih melihat pada keanekaragaman status, profesi maupun agama yang dianut masyarakat Magelang pada abad VIII M. Pada masyarakat biasa dapat dilihat adanya profesi sebagai petani (sayur, padi,dll), peternak, pedagang, petugas pengairan, penarik pajak, maupun penjual jasa yang ada di masyarakat. Sedangkan petugas keagamaan, kemungkinan dipegang oleh brahmana tingkat desa.

Mengingat pada saat itu dibangun candi Gunung Wukir, maka pasti ada profesi yang berkaitan dengan keberadaan candi. Arsitek candi, pemahat batu, pematung, pembuat relif, termasuk penulis prasasti. Sekaligus sudah tergambar juga peralatan yang digunakan untuk memahat, membuat relif, menulis prasasti. Peralatan tersebut tentu ada orang-orang yang mempunyai keahlian pada bidang-bidang tersebut (profesi). Kondisi demikian akan mendorong terjadinya kompleksitas struktur social yang bersifat horizontal.

Komplek candi Gunung Wukir di wilayah Salam Magelang. pada Abad VIII M (732 M) masyarakat Magelang sudah berkenalan dengan Arsitektur candi. Dokpri
Komplek candi Gunung Wukir di wilayah Salam Magelang. pada Abad VIII M (732 M) masyarakat Magelang sudah berkenalan dengan Arsitektur candi. Dokpri

Ukiran dan arca Nandi di komplek candi Gunung Wukir, bukti adanya profesi baru yang dikenal masyarakat Magelang abad VIII M.Dokpri
Ukiran dan arca Nandi di komplek candi Gunung Wukir, bukti adanya profesi baru yang dikenal masyarakat Magelang abad VIII M.Dokpri

Nama pedagang disebut dalam prasasti Ramwi 821 M dengan sebutan "tuha dagan", petugas pengairan/irigasi kusus mengurusi beras disebut dengan "hulu waras". Sedang seorang yang menjadi pengawas irigasi disebut "huler". Mungkin nama tersebut dalam perkembang berikutnya menjadi "ulu-ulu". Pengawas hutan disebut dengan sebutan "tuha alas". Pertanian dikenal ada dua yaitu pertanian sawah dan pertanian kebun. Pandai besi, perajin emas/perak penjelasanya ditemukan pada prasasti masa Kayuwangi abad IX M (Naufal Raffi,2020:218). Bahkan pada prasasti Kwak (878 M) disebutkan alat-alat pertanian, pertukangan dan alat rumah tangga antara lain "kris (mungkin keris), tatah (alat pertukangan), lingis. Penumbuk padi disebut "halu-halu" (mungkin sekarang menjadi 'alu'), rimwas (kapak), landuk (cangkul), "dan" (alat masak), mungkin sekarang 'dandang',dll. Namun dalam prasasti Canggal disebutkan adanya kekayaan yang berupa emas. Tentu hal tersebut juga memunculkan profesi perajin emas. Apa sebutanya terurai pada masa Kayuwangi.  

Dengan demikian munculnya aneka profesi juga berdampak pada makin kompleksnya struktur social horizontal di masyarakat Magelang pada saat itu. Hanya saja profesi-profesi tersebut baru disebut secara jelas pada prasasti yang dikeluarkan pada masa Kayuwangi.   

Struktur sosial horizontal berdasar pada ras, bisa saja terdiri dari pribumi (warga masyarakat Magelang) dan pendatang dari India maupun Cina. Orang India (pendeta, brahmana) menyebarkan agama (Hindu maupun Budha), sedangkan orang-orang etnis Cina melakukan perdagangan. Kehadiran mereka di Indonesia, tidak mustahil juga sampai di Magelang. Apalagi keberadaan etnis Cina di Magelang jejaknya juga dapat dilihat sampai sekarang.

2. Ekonomi

a. Pertanian

Seperti diuraian di atas, bahwa dalam prarasti Canggal, Jawa adalah wilayah yang kaya dengan padi dan biji-bijian. Berdasar isi tersebut tidak berlebihan apabila dijelaskan bahwa masyarakat Magelang (Jawa) hidup dari kegiatan pertanian. Bahkan pertanian menjadi tiang penyangga kehidupan ekonominya. Ditambah lagi, secara faktual Magelang dikelinggi oleh deretan gunung maupun perbukitan.

Kabupaten Magelang berada di cekungan sejumlah rangkaian pegunungan. Kabupaten Magelang adalah suatu wilayah pegunungan/dataran tinggi dari lima gunung (Panca Arga) yaitu Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Gunung Telomoyo, dan Pegunungan Menoreh.(https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Magelang).

 Kondisi demikian berdampak pada tingkat kesuburan tanah yang tinggi dibanding daerah yang pantai maupun wilayah yang jauh dari pegunungan. Heri Priyatmoko,dkk (2022:56) menegaskan bahwa di era Mataram Kuno wilayah  Magelang menjadi lumbung padi bagi kerajaan. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat telah mampu membangun kearifan lokal dalam mewujudkan mata pencaharian yang relevan dengan kondisi alam yang dihadapi. Bisa saja kondisi demikian juga sudah terjadi masa Sanjaya. Maka candi Gunung Wukir, candi Losari, candi Selogriyo dibuat di wilayah Magelang.

Fakta yang lain lagi, dalam rentang sejarah masa kolonial, Magelang juga menjadi sentral pemerintahan untuk wilayah karesidenan Kedu. Hal tersebut menunjukkan Magelang mempunyai daya tawar yang kuat untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Namun secara adimistratif ada di wilayah kota Magelang.

b. Pertambangan

Berdasar isi prasasti Canggal, selain dapat diketahui tentang kehidupan pertanian juga dijelaskan tentang hasil tambang yang secara eksplisit disebutkan yaitu emas. Oleh sebab itu bisa saja pada saat itu wilayah Magelang juga menjadi salah satu daerah yang menghasilkan tambang emas. Sebab tidak mungkin pernyataan raja yang ditulis resmi dalam prasasti, isinya tidak sesuai dengan realita yang ada. Yang pasti wilayah Magelang mempunyai kekayaan bahan tambang yang bersumber dari gunung berapi dan deretan perbukitan.

c. Perdagangan

Berdasar prasasti Canggal, dapat diketahui bahwa kehidupan sosial ekonomi masyarakat sudah kompleks. Pertanian sudah berkembang dengan baik. Oleh sebab itu tidak mustahil mata pencaharian berdagang juga sudah dijalani. Perdagangan yang dijalankan bisa saja hal-hal yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (sandang pangan) maupun yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan keagamaan. Mungkinkah sudah membangun hubungan dagang dengan Cina maupun India? Bisa saja demikian, namun secara empiris masih diperlukan bukti arkeologis baik yang berupa tulisan maupun peninggalan benda-benda arkeologis.  Sebab secara geografis, wilayah Magelang dekat dengan wilayah Semarang yang mempunyai wilayah perairan yang memungkinkan sebagai sarana perdagangan internasional.

Apabila dicermati pada isi prasasti Canggal, bisa saja beras menjadi barang komoditi yang diperdagangkan masyarakat Magelang. Sebab berdasar kondisi geografis yang ada, Magelang memang menjadi wilayah penghasil padi. Sehingga tidak mustahil masyarakat Magelang sudah melalukan kegiatan perdagangan. Dalam sistem Kasta, kaum pedagang masuk dalam salah satu kasta Waisya.

3. Pemerintahan

a. Sistem pemerintahan Mataram Kuno

Sistem pemerintahan Mataram Kuno adalah kerajaan. Hal ini didasarkan pada isi prasasti Canggal yang menyebut pendirian Lingga. Menurut Soekmono, 1990:40, pendirian lingga secara khusus adalah lambang mendirikan kerajaan.

Maka raja adalah penguasa tertinggi. Berdasar prasasti Canggal, raja pertama bernama Sanna. Setelah meninggal baru Sanjaya yang menggantikan tahta. Masih berdasar pada isi prasasti Canggal, Sanjaya bukan anak Sanna, namun anak Sannaha (saudara perempuan Sanna). Jadi Sanjaya adalah keponakan Sanna. Lalu siapakan ayah Sanjaya? Dalam hal ini prasasti Canggal hanya menyebut ibu Sanjaya yaitu Sannaha yang dijelaskan di dalam prasasti saudara perempuan Sanna. Sedang siapa ayahnya tidak disebutkan.

Apakah ia seorang raja atau bukan? Yang pasti, berdasar prasasti Canggal, Sanna merupakan raja yang berkuasa sebelum Sanjaya. Selanjutnya silsilah Sanna dan Sanjaya juga disebut dalam cerita Parahyangan. Bagimana silsilah Sanjaya berdasar prasasti Canggal dan Cerita Parahyangan? Bagan berikut akan mengulas persoalan ini.

Silsilah raja Sanjaya diolah berdasar prasasti Canggal dan Cerita Parahyangan.Dokpri
Silsilah raja Sanjaya diolah berdasar prasasti Canggal dan Cerita Parahyangan.Dokpri

Mencermati bagan tersebut dapat diketahui bahwa berdasar prasasti Canggal, Sanjaya adalah anak Sannaha. Namun tidak dijelaskan siapa ayahnya. Namun berdasar Cerita Parahyangan, Sanjaya adalah anak Sannaha dengan Sanna. Padahal, nama Sanna dalam prasasti Canggal disebut sebagai saudara Sannaha (ibu Sanjaya). Sehingga Sanna dan Sannaha adalah kakak beradik (saudara kandung). 

Namun berdasar cerita Parahyangan, Sanna dan Sannaha adalah saudara kandung yang berasal dari ayah yang sama, namun berbeda ibu. Ayah Sanna dan Sannaha sama yaitu Mandiminyak.  Sanna terlahir dari Mandiminyak dengan ibu bernama Pwah Rababu, Sannaha terlahir dari Mandiminyak dengan ibu bernama Parwati. Mandiminyak adalah anak laki-laki Raja Galuh. Sedang Parwati adalah anak perempuan Ratu Sima penguasa kerajaan Kalingga. Selanjutnya ratu Sima adalah anak pendeta Sriwijaya. Sementara itu suami Ratu Sima yang bernama Kartikejasima adalah anak saudara ratu kerajaan Sribuja yang berpusat di Palembang.

Dengan demikian berdasar cerita Parahyangan, Sanjaya dari garis Sanaha adalah buyut Ratu Sima dan Kartikejasinga yang keduanya berasal dari darah penguasa wilayah Sumatra. Sedang Sanjaya dari garis Sanna adalah cucu raja Galuh yang bernama Wreti Kandayun.

Masih berdasar cerita Parahyangan, baik dari garis ayah maupun ibu, Sanjaya adalah keturunan para penguasa kerajaan di Jawa. Kerajaan Galuh berada di Jawa Barat, Kalingga berada di Jawa Tengah. Dalam prasasi Canggal siapa bapaknya memang tidak dijelaskan. Dijelaskan Ia (Sanjaya) menjadi raja menggantikan Sanna yang meninggal. Jika berdasar cerita Parahyangan, yang pasti perkawinan Sanna dan Sannaha adalah Inces (terlarang). Sebab mereka berasal dari ayah yang sama, walupun ibunya berbeda. Dengan pertimbangan tersebut, maka sangat logis apabila dalam prasasti Canggal, Sanjaya menyebut anak Sanaha (saudara perempuan Sanna). Dengan pernyataan tersebut maka secara garis keturunan lebih jelas, walaupun status hubungan Sanna dan Sanjaya adalah keponakan.

Maka kesimpulan yang dapat diambil lebih didasarkan pada prasasti Canggal, sebab itu bukti tertulis. Berdasar prasasti tersebut bahwa saat itu sistem pemerintahan yang dijalankan adalah kerajaan, dengan Sanna sebagai raja dan dilanjutkan Sanjaya setelah Sanna meninggal. Mengingat sudah berbentuk kerajaan, tentu sistem birokrasi sudah dijalankan. Sistem ini yang mengatur alur komando dari atas sampai kepada masyarakat di tingkat sosial paling kecil (desa?). Sartono Kartodirjo,dkk, menjelaskan ada beberapa pejabat setelah raja. Para pejabat tersebut antara lain i hino, i halu dan i sirikan. Para pejabat tersebut adalah pejabat tinggi kerajaan. Maka pada umumnya mereka adalah putra mahkota atau setidaknya keluarga raja. Merekalah yang melanjutkan kebijakan raja kepada para pejabat di bawahnya.

Seperti diuraikan di atas ada para pejabat di bawah kerajaan yang disebut dengan rakai/samgat yang menjadi kepala wilayah watak yang disebut watak. Mereka adalah pejabat secara struktural di bawah kendali raja. Namun mereka mempunyai kekuasaan yang bersifat otonom. Sehingga peran sosial, ekonomi dan politik mereka juga sangat kuat. Secara hirarki sistem pemerintahan Mataram Kuno dapat dilihat pada bagan berikut:

Bagan pemerintahan diolah bersumber pada pendapat Sartono Kartodirjo,dkk.(Sejarah Nasional Indonesia Jilid II).Dokpri
Bagan pemerintahan diolah bersumber pada pendapat Sartono Kartodirjo,dkk.(Sejarah Nasional Indonesia Jilid II).Dokpri

Berdasar bagan tersebut, terdapat tiga pejabat yang langsung berada dalam perintah raja yaitu i hino, i halu dan i sirikan. Seperti diuraian di atas bahwa ketiganya merupakan pejabat yang berasal dari keluarga raja. Bahkan untuk jabatan i hino, adalah putra mahkota. Hal ini berarti bahwa seorang i hino adalah calon penerus tahta kerajaan. Ketiga pejabat tersebut yang secara operasional mempunyai kekuasaan memberi perintah dan menyampaikan kebijakan raja kepada para rakai/samgat. Selanjutnya para rakai/samgat menindaklnjuti perintah raja sampai kepada pejabat terendah yaitu beberapa rama yang menjadi wilayah kekuasaan masing-masing rama.

Oleh sebab itu seorang rakai/samgat dapat diidentikkan sebagai "raja bawahan". Sebab betapapun para rama akan tunduk pada perintah seorang rakai/samgat. Dengan demikian, wibawa seorang rakai/samgat bahkan melebihi wibawa i hino, i halu atau i sirikan. Dengan sistem pemerintahan tersebut, makin banyak wilayah kekuasaan seorang rakai/samgat, wibawa, pengaruh maupun kekayaan yang dimiliki makin banyak.

Apabila di dalam lapisan raja juga masih terdapat lapisan sosial yaitu raja dan keluarga, pejabat tinggi kerajaan (i hino, i halu dan i sirikan), dan para pelayan kerajaan (abdi dalem?). Lapisan sosial para rakai/samgat juga terdiri dari rakai/samgat, para pejabat pembantu rakai/samgat, para pelayan rakai/samgat. Demikian juga pada lapisan sosial rama. Seorang rama tentu tidak mungkin menjalankan tugas sendirian. Mereka juga mempunyai para pejabat tingkat wanua yang disebut "halima marwwud" (5 pamong desa). Baru rakyat yang merupakan lapisan sosial paling bawah dalam struktur sosial vertikal pada masyarakat feodal.

Yang pasti rama wanua merupakan unsur birokrasi yang paling bawah yang langsung berhubungan dengan rakyat. Beberapa rama bertanggungjawab kepada para penguasa watak (rakai/samgat). Rama dipilih berdasar pada kriteria usia, pengalaman, keteladan dan kearifan (Heri Priyatmoko,2022:56). Ini yang membedakan dengan proses pemilihannya dengan Rakai/Samgat maupun raja.  Sebab keterpilihan mereka didasarkan pada keturunan.

Bahkan rama dan beberapa rama mempunyai kewajiban selain membayar pajak kepada para rakai/samgat dan raja, juga harus mau menyediakan lahan untuk bangunan suci dan bersedia memikul tanggungjawab untuk merawat. Bagi seorang rama atau beberapa rama yang tanahnya dijadikan tempat bangunan suci biasanya dijadikan sebagai "sima". Tanah yang berstatus sebagai sima tersebut dibebaskan dari pajak, namun hasilnya harus digunakan untuk merawat bangunan suci (Darmosoetopo,2003:91 dalam Yogi Pradana, 2022:48). Maka ada beberapa rama yang juga mempunyai tanggungjawab yang bertalian dengan sarana peribadatan. Oleh sebab itu, para rama tersebut bersinggungan langsung dengan pusat kekuasaan (kerajaan).

Seperti diuraikan di atas, bahwa nama-nama jabatan tersebut terjadi pada Masa Kayuwangi yang menjadi raja Mataram abad IX M. Setidaknya adanya unsur birokrasi pada Mataram Kuno tersebut, mengindikasikan masa Sanjaya juga sudah ada sistem birokrasi yang sudah dijalankan. Bisa saja nama pejabat, nama wilayah berbeda. Namun Mataram Kuno sama-sama menerapkan sistem kerajaan dengan menempatkan raja adalah penguasa tertinggi yang berjalan secara turun temurun.

b. Sistem Pemerintahan Magelang

Lalu sistem pemerintahan di Magelang seperti apa? Apakah menjadi ibukota Mataram Hindu masa Sanjaya? Atau hanya berada pada wilayah berstatus watak? Atau hanya berada dalam sistem pemerintahan yang berstatus wanua (desa)? Mungkinkah Magelang adalah ibukota Mataram Kuno? Dalam hal ini, prasasti Canggal tidak menjelaskan. Cerita Parahyangan juga tidak menjelaskan. Nama ibukota baru disebut awal abad X M yaitu berdasar prasasti Mantyasih (907 M), yang menyebut ibukota Mataram Kuno pertama adalah Poh Pitu. Apakah masa Sanjaya sudah ada nama Poh Pitu? Selanjutnya, apakah Poh Pitu ada di wilayah Magelang? Jawabnya bisa mungkin dan bisa tidak.

Mengapa bisa mungkin? pertama, sampai sekarang belum ada pendapat ahli yang berani menetapkan tentang letak ibukota Mataram Hindu. Kedua, tersebarnya peninggalan Hindu di wilayah Magelang hendaknya menjadi celah argumen untuk melacak ibukota Mataram masa Sanjaya berada di Magelang. Setidaknya pada abad VIII M di Magelang sudah berdiri candi Gunung Wukir (Salam), candi Losari (Salam), candi Selogriyo (Windusari), candi Umbul (Grabag). Penerus Sanjaya pada abad IX M membangun candi Gunung Sari (Salam), candi Asu, candi Pendem, dan candi Lumbung yang berada di wilayah kecamatan Dukun. Selanjutnya ada situs Candiretno yang berada di wilayah kecamatan Secang.

Tabel disusun berdasar temuan situs di berbagai kecamatan se Kab. Magelang.Sumber:Dokpri
Tabel disusun berdasar temuan situs di berbagai kecamatan se Kab. Magelang.Sumber:Dokpri

Berdasar tabel tersebut dapat diketahui bahwa di wilayah kabupaten Magelang sejak abad VIII M sudah berdiri beberapa candi dan tersebar banyak Yoni maupun lingga di berbagai wilayah kecamatan yang ada dalam wilayah Kabupaten Magelang. Padahal fungsi candi adalah untuk pemujaan maupun pendarmaan raja dan anggota keluarganya. Bahkan pada abad IX juga dilanjutkan pembangunan candi yang bercorak Hindu antara lain Gunung Sari (Salam), candi Asu (Dukun), candi Pendem (Dukun), candi Lumbung (Dukun). Selanjutnya disusul pembangunan candi-candi yang bercorak Budha (Candi Ngawen, candi Pawon, candi Mendut dan candi Borobudur). Semua candi-candi tersebut keberadaannya ada di Magelang.

Pertanyaannya, ketika Sanjaya pada 732 M mengeluarkan prasasti Canggal dan membangun candi Gunung Wukir, dilanjutkan candi Losari dan Selogriyo, haruskah ibukota pemerintahan Sanjaya berada jauh dari bangunan Suci tersebut? Sekali lagi, adanya bangunan-bangunan candi dan simbol pemujaan yang lain seperti lingga dan Yoni yang tersebar di berbagai wilayah kecamatan di kabupaten Magelang, memungkinkan adanya celah argumen untuk melacak pusat pemerintahan Sanjaya.

Naufal Raffi, 2020:212 menjelaskan bahwa berdasar distribusi prasasti dan tinggalan arkeologi, wilayah kerajaan Mataram Kuno terdiri atas wilayah inti (core) yaitu pusat pemerintahan dan wilayah pinggiran (periphery). Lebih lanjut dijelaskan bahwa wilayah yang mempunyai distribusi prasasti lebih padat dan kualitas bangunan suci lebih baik, lebih kompleks dapat ditafsirkan sebagai wilayah inti (core).  

Berdasar pandangan tersebut, pada abad VIII M di wilayah Magelang sudah terdapat bangunan arkeologis yang relatif banyak. Seperti diuraikan di atas, pada abad VIII M sudah ada candi Gunung Wukir, candi Losari di wilayah kecamatan Salam, candi Selogriyo di kecamatan Windusari, candi Umbul di wilayah kecamatan Grabag. Sementara pada abad VIII M di wilayah Prambanan sekitar (yang juga merupakan pusat candi hindu), baru ditemukan candi Gebang (730 M-800 m) yang bercorak Hindu.

Selanjutnya terdapat setidaknya 6 (enam) prasasti yang tersebar di wilayah kabupaten Magelang antara lain Tukmas (VI M-VII M) di Grabag, Canggal (VIII M) di Salam, Kamalagi (IX M) di Candimulyo, Kurambitan I dan II (IX M) di Rambeanak Kotamungkid, Tihang (X M) di Polengan Srumbung, (BPCB Jawa Tengah1 sd.43.tt). Berdasar beberapa prasasti tersebut yang dipastikan masa Sanjaya adalah Canggal. Sementara prasasti Tukmas, ditengarai sebelum masa Sanjaya. Sedangkan prasasti yang lain adalah prasasti yang dikeluarkan setelah masa Sanjaya.

Dengan demikian dapat diketahui sejak abad VII M di wilayah Kabupaten Magelang sampai abad X M sudah tersebar prasasti dan bangunan suci berciri Hindu. Walaupun sejak abad IX M terjadi perkembangan pengaruh Budha yang makin kompetitif. Hal tersebut dapat dilihat pada peninggalan candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur yang monumental. 

Berdasar beberapa data arkeologis tersebut kiranya tidak berlebihan apabila diduga bahwa wilayah Magelang setidaknya pada masa Sanjaya ada celah argumentasi untuk menduga menjadi pusat pemerintahan, walaupun nama Poh Pitu yang disebut dalam prasasti Mantyasih 907 M belum diketahui identifikasinya.  

Selanjutnya dapat dijelaskan juga, secara khusus bahwa pembangunan candi tidak saja menjelaskan adanya budaya adiluhung suatu masyarakat, namun juga menjadi simbolisasi berbagai aspek kehidupan yang dapat memberikan penjelasan tentang makna proses pembangunan tersebut. Beberapa makna tersebut antara lain:

  • Makna politis yang menandakan wilayah Magelang relatif lebih aman. Sehingga sangat kondusip untuk menjalankan roda pemerintahan. Sebab candi merupakan salah satu simbol kebesaran raja, secara khusus Sanjaya. Oleh sebab itu ketika masa pemerintahan Sanjaya berhasil membangun beberapa candi, secara politis Sanjaya telah menunjukkan kebesaranya.
  • Makna ekonomi yang menandakan bahwa masyarakat Magelang memiliki kesejahteraan yang relatif baik. Sebab pembangunan candi sangat membutuhkan penopang ekonomi yang tidak sedikit, baik proses pembangunan maupun perawatanya. Oleh sebab itu ketika di Magelang pada masa Sanjaya dibangun banyak candi, hal tersebut menunjukkan kondisi perekonomian masyarakat Magelang yang relatif mapan dan sejahtera, sehingga masyarakatnya mampu dalam menopang pendirian candi, perawatan maupun pelestarianya.
  • Makna mitologis dan keagamaan yang ditandai dengan banyaknya gunung maupun perbukitan yang sangat relevan dengan konsep mitologis agama hindu. Selanjutnya secara faktual juga terdapat candi yang dibangun di atas bukit yaitu candi Gunung Wukir, candi Gunung Sari dan candi Selogriyo. Baik candi Gunung Wukir maupun Gunung Sari merupakan candi yang bersifat kompleks. Sedangkan candi Selogriyo merupakan candi tunggal.
  • Makna budaya yang menandakan bahwa di Magelang telah muncul suatu budaya adiluhung yang menandakan besarnya peradaban masyarakat.
  • Makna geografis yang menandakan kemudahan dalam mencari bahan pembangunan candi. Selain Magelang berada dalam cekungan gunung Merapi, Merbabu, Sindoro dan pegunungan Telomoyo dan Menoreh juga berada dalam aliran dua sungai yaitu Kaliprogo dan Kali Elo.

Beberapa hal tersebut menjadi penguat dugaan tentang wilayah Magelang pernah menjadi pusat pemerintahan Mataram Kuno (khususnya masa Sanjaya). 

4. Agama

Berdasar isi prasasti Canggal dapat diketahui bahwa agama yang dianut masyarakat Magelang adalah Hindu (aliran Siwa). Hal tersebut dipertegas dengan keberadaan Candi Gunung Wukir. Keberadaan candi menunjukkan adanya agama dan pemujaan terhadap dewa yang disembahnya. Maka dibangunnya candi menunjukan adanya agama yang dianut oleh pemerintah dan rakyatnya. Hal ini berarti masyarakat Magelang pada Abad VIII M mengenal agama baru yang bernama Hindu. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Magelang juga sudah melakukan interaksi dengan dunia luar, khususnya dengan India.

Lahir, tumbuh dan berkembangnya agama Hindu di Magelang menambah khasanah baru tentang kehidupan beragama masyarakat. Sebelum kedatangan Hindu tentu masyarakat Magelang sudah mempunyai agama, baik dalam bentuk animisme maupun dinamisme. Di sisi lain, kita dapat mengambil penafsiran bahwa sebelum abad VIII M di Magelang sudah terjadi proses Hindunisasi. Hal ini relevan dengan warta yang dituliskan dalam prasasti Tukmas di Dusun Lebak, Dakawu,Kec. Grabag. 

Proses penyebaran Hindu di Magelang kiranya memperoleh pijakan dengan baik sejak adanya prasasti Tukmas. Sebab dengan adanya prasasti tersebut, tentu membutuhkan orang-orang yang mengawasi, memelihara (baik fisik maupun ritualnya) prasasti maupun sumber mata air yang disucikan. Aktivitas tersebut tentu tidak bisa semua orang bisa dipilih untuk menjalankan.  Sehingga membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan yang terkait dengan kepentingan penguasa yang memerintahkan penulisan prasasti Tukmas.  Menurut Mawardi Joened dan Nugrohonotosusanto dalam Heri Priyatmoko,2022:57) menjelaskan bahwa di dekat prasasti Tukmas terdapat asrama yang disinggahi para pendeta yang mengelola sumber air di lokasi prasasti Tukmas.

Penjelasan tersebut membuktikan bahwa proses hindunisasi sudah berjalan setidaknya pertengahan abad VII M, jika merujuk pada pendapat Krom (Hery Priyatmoko,dkk,2022:57). Dengan kata lain, ketika abad VIII M, di wilayah kecamatan Salam kabupaten Magelang menjadi tempat yang dipilih untuk membangun candi dalam hal ini candi Gunung Wukir, adalah suatu proses panjang yang telah dirancang. Sehingga dari isi prasasti Tukmas sampai munculnya prasasti Canggal, adalah proses panjang masyarakat Magelang mengenal bahkan memeluk agama Hindu.

5. Budaya

Peninggalan budaya terbesar bagi masyarakat kabupaten Magelang pada abad VIII M adalah berupa bangunan candi yang tersebar. Setidaknya dapat diidentifikasi tentang beberapa candi yang dibuat abad VIII M antara lain candi Gunung Wukir, candi Gunung Sari, candi Selogriyo. Candi-candi Hindu abad VIII M tersebut selain menunjukkan adanya peradaban bagi masyarakat Kabupaten Magelang pada saat itu, juga menunjukkan adanya kekuatan agama Hindu di wilayah Magelang. Seperti diketahui bahwa candi adalah replika dewa yang disembah. Maka keberadaan candi mencerminkan agama yang diyakini oleh masyarakat.

Sebagai bangunan, keberadaan candi Gunung Wukir juga menunjukkan adanya perkembangan aspek-aspek lain yang menyertainya. Keberadaan candi Gunung Wukir juga menunjukkan adanya perkembangan arsitektur bangunan (candi), munculnya para ahli relif, ukir bahkan para citraleka. Dengan demikian pada candi Gunung Wukir telah menunjukkan perkembangan budaya yang adiluhung di wilayah kabupaten Magelang pada abad VIII M. Selain menunjukkan adanya budaya dalam bentuk bangunan, juga menunjukkan adanya perkembangan budaya seni (ukir,pahat, arca, relif,dll). Sangat mungkin para pembuat arca yang sekarang ada di wilayah Muntilan juga merupakan warta lanjutan tentang perkembangan seni pada abad VIII (khususnya masa pemerintahan Sanjaya).

Para perajin batu di Muntilan masih eksis di era sekarang. https://pariwisata.magelangkab.go.id
Para perajin batu di Muntilan masih eksis di era sekarang. https://pariwisata.magelangkab.go.id

Berdasar uraian di atas dapat disimpulkanbahwa prasasti Canggal 732 M memberikan warta tentang masyarakat Magelang pada saat itu. Mengingat prasasti Canggal berbahasa Sasekerta dan huruf Pallawa maka dapat diketahui bahwa pengaruh Hindu (India) sudah kuat di Magelang. Apalagi bersamaan prasasti tersebut juga ditemukan adanya candi Gunung Wukir. Keberadaan candi tersebut memperkuat bukti pengaruh Hindu (India) di Magelang secara khusus, sudah kuat. Secara umum bagi masyarakat nusantara saat itu.

                Oleh sebat itu aspek-aspek kehidupan baik social, budaya, agama, politik menunjukkan pengaruh India yang sangat kuat. Secara social masyarakat Magelang mengenal system kasta, secara budaya mengenal bangunan candi, secara agama mengenal agama Hindu, secara politik mengenal system kerajaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun