Berdasar tabel tersebut dapat diketahui bahwa di wilayah kabupaten Magelang sejak abad VIII M sudah berdiri beberapa candi dan tersebar banyak Yoni maupun lingga di berbagai wilayah kecamatan yang ada dalam wilayah Kabupaten Magelang. Padahal fungsi candi adalah untuk pemujaan maupun pendarmaan raja dan anggota keluarganya. Bahkan pada abad IX juga dilanjutkan pembangunan candi yang bercorak Hindu antara lain Gunung Sari (Salam), candi Asu (Dukun), candi Pendem (Dukun), candi Lumbung (Dukun). Selanjutnya disusul pembangunan candi-candi yang bercorak Budha (Candi Ngawen, candi Pawon, candi Mendut dan candi Borobudur). Semua candi-candi tersebut keberadaannya ada di Magelang.
Pertanyaannya, ketika Sanjaya pada 732 M mengeluarkan prasasti Canggal dan membangun candi Gunung Wukir, dilanjutkan candi Losari dan Selogriyo, haruskah ibukota pemerintahan Sanjaya berada jauh dari bangunan Suci tersebut? Sekali lagi, adanya bangunan-bangunan candi dan simbol pemujaan yang lain seperti lingga dan Yoni yang tersebar di berbagai wilayah kecamatan di kabupaten Magelang, memungkinkan adanya celah argumen untuk melacak pusat pemerintahan Sanjaya.
Naufal Raffi, 2020:212 menjelaskan bahwa berdasar distribusi prasasti dan tinggalan arkeologi, wilayah kerajaan Mataram Kuno terdiri atas wilayah inti (core) yaitu pusat pemerintahan dan wilayah pinggiran (periphery). Lebih lanjut dijelaskan bahwa wilayah yang mempunyai distribusi prasasti lebih padat dan kualitas bangunan suci lebih baik, lebih kompleks dapat ditafsirkan sebagai wilayah inti (core). Â
Berdasar pandangan tersebut, pada abad VIII M di wilayah Magelang sudah terdapat bangunan arkeologis yang relatif banyak. Seperti diuraikan di atas, pada abad VIII M sudah ada candi Gunung Wukir, candi Losari di wilayah kecamatan Salam, candi Selogriyo di kecamatan Windusari, candi Umbul di wilayah kecamatan Grabag. Sementara pada abad VIII M di wilayah Prambanan sekitar (yang juga merupakan pusat candi hindu), baru ditemukan candi Gebang (730 M-800 m) yang bercorak Hindu.
Selanjutnya terdapat setidaknya 6 (enam) prasasti yang tersebar di wilayah kabupaten Magelang antara lain Tukmas (VI M-VII M) di Grabag, Canggal (VIII M) di Salam, Kamalagi (IX M) di Candimulyo, Kurambitan I dan II (IX M) di Rambeanak Kotamungkid, Tihang (X M) di Polengan Srumbung, (BPCB Jawa Tengah1 sd.43.tt). Berdasar beberapa prasasti tersebut yang dipastikan masa Sanjaya adalah Canggal. Sementara prasasti Tukmas, ditengarai sebelum masa Sanjaya. Sedangkan prasasti yang lain adalah prasasti yang dikeluarkan setelah masa Sanjaya.
Dengan demikian dapat diketahui sejak abad VII M di wilayah Kabupaten Magelang sampai abad X M sudah tersebar prasasti dan bangunan suci berciri Hindu. Walaupun sejak abad IX M terjadi perkembangan pengaruh Budha yang makin kompetitif. Hal tersebut dapat dilihat pada peninggalan candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur yang monumental.Â
Berdasar beberapa data arkeologis tersebut kiranya tidak berlebihan apabila diduga bahwa wilayah Magelang setidaknya pada masa Sanjaya ada celah argumentasi untuk menduga menjadi pusat pemerintahan, walaupun nama Poh Pitu yang disebut dalam prasasti Mantyasih 907 M belum diketahui identifikasinya. Â
Selanjutnya dapat dijelaskan juga, secara khusus bahwa pembangunan candi tidak saja menjelaskan adanya budaya adiluhung suatu masyarakat, namun juga menjadi simbolisasi berbagai aspek kehidupan yang dapat memberikan penjelasan tentang makna proses pembangunan tersebut. Beberapa makna tersebut antara lain:
- Makna politis yang menandakan wilayah Magelang relatif lebih aman. Sehingga sangat kondusip untuk menjalankan roda pemerintahan. Sebab candi merupakan salah satu simbol kebesaran raja, secara khusus Sanjaya. Oleh sebab itu ketika masa pemerintahan Sanjaya berhasil membangun beberapa candi, secara politis Sanjaya telah menunjukkan kebesaranya.
- Makna ekonomi yang menandakan bahwa masyarakat Magelang memiliki kesejahteraan yang relatif baik. Sebab pembangunan candi sangat membutuhkan penopang ekonomi yang tidak sedikit, baik proses pembangunan maupun perawatanya. Oleh sebab itu ketika di Magelang pada masa Sanjaya dibangun banyak candi, hal tersebut menunjukkan kondisi perekonomian masyarakat Magelang yang relatif mapan dan sejahtera, sehingga masyarakatnya mampu dalam menopang pendirian candi, perawatan maupun pelestarianya.
- Makna mitologis dan keagamaan yang ditandai dengan banyaknya gunung maupun perbukitan yang sangat relevan dengan konsep mitologis agama hindu. Selanjutnya secara faktual juga terdapat candi yang dibangun di atas bukit yaitu candi Gunung Wukir, candi Gunung Sari dan candi Selogriyo. Baik candi Gunung Wukir maupun Gunung Sari merupakan candi yang bersifat kompleks. Sedangkan candi Selogriyo merupakan candi tunggal.
- Makna budaya yang menandakan bahwa di Magelang telah muncul suatu budaya adiluhung yang menandakan besarnya peradaban masyarakat.
- Makna geografis yang menandakan kemudahan dalam mencari bahan pembangunan candi. Selain Magelang berada dalam cekungan gunung Merapi, Merbabu, Sindoro dan pegunungan Telomoyo dan Menoreh juga berada dalam aliran dua sungai yaitu Kaliprogo dan Kali Elo.
Beberapa hal tersebut menjadi penguat dugaan tentang wilayah Magelang pernah menjadi pusat pemerintahan Mataram Kuno (khususnya masa Sanjaya).Â
4. Agama
Berdasar isi prasasti Canggal dapat diketahui bahwa agama yang dianut masyarakat Magelang adalah Hindu (aliran Siwa). Hal tersebut dipertegas dengan keberadaan Candi Gunung Wukir. Keberadaan candi menunjukkan adanya agama dan pemujaan terhadap dewa yang disembahnya. Maka dibangunnya candi menunjukan adanya agama yang dianut oleh pemerintah dan rakyatnya. Hal ini berarti masyarakat Magelang pada Abad VIII M mengenal agama baru yang bernama Hindu. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Magelang juga sudah melakukan interaksi dengan dunia luar, khususnya dengan India.