Lahir, tumbuh dan berkembangnya agama Hindu di Magelang menambah khasanah baru tentang kehidupan beragama masyarakat. Sebelum kedatangan Hindu tentu masyarakat Magelang sudah mempunyai agama, baik dalam bentuk animisme maupun dinamisme. Di sisi lain, kita dapat mengambil penafsiran bahwa sebelum abad VIII M di Magelang sudah terjadi proses Hindunisasi. Hal ini relevan dengan warta yang dituliskan dalam prasasti Tukmas di Dusun Lebak, Dakawu,Kec. Grabag.Â
Proses penyebaran Hindu di Magelang kiranya memperoleh pijakan dengan baik sejak adanya prasasti Tukmas. Sebab dengan adanya prasasti tersebut, tentu membutuhkan orang-orang yang mengawasi, memelihara (baik fisik maupun ritualnya) prasasti maupun sumber mata air yang disucikan. Aktivitas tersebut tentu tidak bisa semua orang bisa dipilih untuk menjalankan. Â Sehingga membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan yang terkait dengan kepentingan penguasa yang memerintahkan penulisan prasasti Tukmas. Â Menurut Mawardi Joened dan Nugrohonotosusanto dalam Heri Priyatmoko,2022:57) menjelaskan bahwa di dekat prasasti Tukmas terdapat asrama yang disinggahi para pendeta yang mengelola sumber air di lokasi prasasti Tukmas.
Penjelasan tersebut membuktikan bahwa proses hindunisasi sudah berjalan setidaknya pertengahan abad VII M, jika merujuk pada pendapat Krom (Hery Priyatmoko,dkk,2022:57). Dengan kata lain, ketika abad VIII M, di wilayah kecamatan Salam kabupaten Magelang menjadi tempat yang dipilih untuk membangun candi dalam hal ini candi Gunung Wukir, adalah suatu proses panjang yang telah dirancang. Sehingga dari isi prasasti Tukmas sampai munculnya prasasti Canggal, adalah proses panjang masyarakat Magelang mengenal bahkan memeluk agama Hindu.
5. Budaya
Peninggalan budaya terbesar bagi masyarakat kabupaten Magelang pada abad VIII M adalah berupa bangunan candi yang tersebar. Setidaknya dapat diidentifikasi tentang beberapa candi yang dibuat abad VIII M antara lain candi Gunung Wukir, candi Gunung Sari, candi Selogriyo. Candi-candi Hindu abad VIII M tersebut selain menunjukkan adanya peradaban bagi masyarakat Kabupaten Magelang pada saat itu, juga menunjukkan adanya kekuatan agama Hindu di wilayah Magelang. Seperti diketahui bahwa candi adalah replika dewa yang disembah. Maka keberadaan candi mencerminkan agama yang diyakini oleh masyarakat.
Sebagai bangunan, keberadaan candi Gunung Wukir juga menunjukkan adanya perkembangan aspek-aspek lain yang menyertainya. Keberadaan candi Gunung Wukir juga menunjukkan adanya perkembangan arsitektur bangunan (candi), munculnya para ahli relif, ukir bahkan para citraleka. Dengan demikian pada candi Gunung Wukir telah menunjukkan perkembangan budaya yang adiluhung di wilayah kabupaten Magelang pada abad VIII M. Selain menunjukkan adanya budaya dalam bentuk bangunan, juga menunjukkan adanya perkembangan budaya seni (ukir,pahat, arca, relif,dll). Sangat mungkin para pembuat arca yang sekarang ada di wilayah Muntilan juga merupakan warta lanjutan tentang perkembangan seni pada abad VIII (khususnya masa pemerintahan Sanjaya).
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkanbahwa prasasti Canggal 732 M memberikan warta tentang masyarakat Magelang pada saat itu. Mengingat prasasti Canggal berbahasa Sasekerta dan huruf Pallawa maka dapat diketahui bahwa pengaruh Hindu (India) sudah kuat di Magelang. Apalagi bersamaan prasasti tersebut juga ditemukan adanya candi Gunung Wukir. Keberadaan candi tersebut memperkuat bukti pengaruh Hindu (India) di Magelang secara khusus, sudah kuat. Secara umum bagi masyarakat nusantara saat itu.
        Oleh sebat itu aspek-aspek kehidupan baik social, budaya, agama, politik menunjukkan pengaruh India yang sangat kuat. Secara social masyarakat Magelang mengenal system kasta, secara budaya mengenal bangunan candi, secara agama mengenal agama Hindu, secara politik mengenal system kerajaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H