Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jejak Peradaban Hindu di Magelang: Membaca Warta Magelang dari Prasasti Tukmas

6 Mei 2024   17:29 Diperbarui: 7 Mei 2024   12:59 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengolahan dan pemenfaatan sumber air Tukmas oleh PDAM Kota Magelang. Dokpri

Masing-masing daerah mempunyai jejak masa lalu. Jejak masa lalunya menjadi sejarah panjang dalam pembangunan peradaban yang dilakukan oleh para pendahulunya (nenek moyangnya). Tulisan ini akan mencermati perjalanan sejarah Magelang dari prasasti Tukmas, salah satu prasasti yang keberadaannya berada di wilayah Kabupaten Magelang.  Prasasti ini termasuk salah satu prasasti tertua yang ditemukan  pulau Jawa. (?)

Prasasti Tukmas juga disebut prasasti Dakawu. Penyebutan kata Dakawu disebabkan bahwa lokasi prasasti berada di Dusun Dakawu Desa Lebak Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. Menurut Sartono Kartodirjo (1975:76) prasasti tersebut tidak berangka tahun, ditulis dengan bahasa Sansekerta huruf Palawa. Lebih lanjut dijelaskan huruf Palawa yang ada di prasasti Tukmas berasal sekitar tahun 500 M (namun lebih muda dibanding huruf Palawa yang digunakan di kerajaan Tarumanegara (prasasti Ciarateum).  

Dalam penjelasannya tentang prasasti Tukmas, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah menjelaskan bahwa aksara yang digunakan semasa dengan aksara yang digunakan pada prasasti masa Purnawarman (Jawa Barat).

Sedangkan telaah paleografis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah bahwa penulisan prasasti Tukmas diperkirakan abad VI-VII M. Prasasti Tukmas ditulis di atas batu besar yang keberadaanya masih berada di tempat penemuannya (in situ).

Berdasar paparan Sartono Kartodirjo, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah dan telaah paleografis Balai Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, setidaknya dapat diketahui bahwa angka tahun prasasti Tukmas diperkirakan antara abad V M s.d abad VII M.

Bangunan rumah kecil (gazebo), tempat untuk melindungi prasasti Tukmas. Dokpri.
Bangunan rumah kecil (gazebo), tempat untuk melindungi prasasti Tukmas. Dokpri.
Keberadaan prasasti Tukmas merupakan sumber mata air yang besar. Sumber mata air tersebut sekarang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Magelang (walaupun secara administratif lokasi Tukmas masuk wilayah Kabupaten Magelang). Lokasi tersebut dijaga oleh Juru Pelihara (Jupel) prasasti dan beberapa petugas dari PDAM Kota Magelang yang bertugas menjaga, memelihara serta mengatur distribusi sumber mata air tersebut.

Pengolahan dan pemenfaatan sumber air Tukmas oleh PDAM Kota Magelang. Dokpri
Pengolahan dan pemenfaatan sumber air Tukmas oleh PDAM Kota Magelang. Dokpri

Simpul mata air yang menyalurkan pada pipa-pipa untuk kepentingan masyarakat baik rumah tangga maupun pertanian. Dokpri
Simpul mata air yang menyalurkan pada pipa-pipa untuk kepentingan masyarakat baik rumah tangga maupun pertanian. Dokpri
Sumber mata air digunakan untuk kepentingan rumah tangga maupun pemenuhan kebutuhan pertanian masyarakat. Untuk keperluan rumah tangga disalurkan melalui pipa-pipa besar. Sedangkan untuk kebutuhan pertanian disalurkan melalui sungai Kalimas I dan II.

Lahan pertanian warga yang berada didekat sumber mata air Tukmas. Dokpri
Lahan pertanian warga yang berada didekat sumber mata air Tukmas. Dokpri

Kegiatan ekonomi masyarakat adalah lahan pertanian yang salah satunya adalah menanam padi. Dalam kondisi demikian maka masyarakat sangat tergantung dengan sumber mata air yang ada. Sehingga sumber mata air Tukmas menjadi satu-satunya sumber yang diharapkan masyarakat untuk menopang kehidupan pertanian mereka.

Dengan demikian sumber mata air Tukmas mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat baik di sekitar maupun masyarakat luas. Bahkan dalam perkembangannya tidak mustahil juga dimanfaatkan untuk kebutuhan industri.

Isi Prasasti Tukmas

Teks asli prasasti Tukmas yang tertulis di batu besar yang sampai sekarang masih berada di tempat penemuannya. Dokpri
Teks asli prasasti Tukmas yang tertulis di batu besar yang sampai sekarang masih berada di tempat penemuannya. Dokpri

Isi dan terjemah prasasti Tukmas

(itant) Uucy amburuhnujt

Kwacic chilwlukanirgateyam

Kwacit prakrnn ubhatatoy

Samprasrat ..........(e) va gag

Terjemahan isi prasasti Tukmas adalah:

"(Mata air) yang airnya jernih dan dingin ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunganya tunjung putih, serta mengalir kesana-sini. Setelah menjadi satu lalu mengalir .... seperti sungai Gangga". (Papan Informasi Prasasti Tukmas: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah).

Menurut strukturnya prasasti dibagi menjadi tiga yaitu prasasti panjang, prasasti sedang dan prasasti pendek (Maziyah:2018). Prasasti pendek biasanya terdiri dari empat kata sampai sepuluh kata. Maka dapat diketahui bahwa prasasti Tukmas berstruktur prasasti pendek. Sebab isinya hanya beberapa baris dengan isi pokok penegasan tentang keberadaan  sumber air Tukmas sebagai mata air yang bersih dan disucikan. 

Berdasar terjemahnya dapat diketahui bahwa di Dusun Dakawu (dahulu Tukmas)  terdapat sumber mata air yang besar dan bermanfaat secara ekonomi maupun ritual.    Di tempat itu terdapat sumber mata air jernih dan dingin yang disucikan.  Dijelaskan bahwa aliran mata airnya dianggap seperti aliran sungai Gangga yang ada di India. Sumber air tersebut sampai sekarang tidak pernah kering (walaupun pada musim kemarau sekalipun).

Penulis saat melakukan observasi di lokasi sumber mata air Tukmas saat kemarau tahun 2023. Dokpri
Penulis saat melakukan observasi di lokasi sumber mata air Tukmas saat kemarau tahun 2023. Dokpri

Bahkan menurut penuturan salah satu petugas PDAM yang berjaga, pada musim kemarau sumber mata air malah besar. Pada musim hujan debit air hanya biasa saja.  Sumber mata air tersebut tidak pernah kering sepanjang waktu.

Prasasti Tukmas setidaknya memberikan warta kepada kita tentang berbagai bidang kehidupan yang tumbuh dan berkembang di Magelang pada abad tersebut, baik warta sosial, ekonomi, agama maupun politik.  Prasasti tersebut sekaligus membuktikan bahwa Magelang sudah ada sejak abad V M (Sartono Kartodirjo) atau abad VI-VII M (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah). Ulasan yang bersifat ilustratif diuraikan sebagai berikut:

a) Kehidupan sosial

Kondisi kehidupan sosial masyarakat tidak bisa dilepaskan dengan tempat tinggal yang dibangun. Secara ilustratif, masyarakat menata dan memilih tempat tinggal selalu berorientasi pada pusat sumber mata air. Hal ini juga terjadi di peradaban kuno seperti Mesopotamia sebagai berkah sungai Eugrat dan Tigris, India sungai Gangga maupun Mesir yang oleh Herodotus (sejarawan Yunani) sebagai hadiah sungai Nil.

Demikian juga keberadaan sumber mata air di Tukmas. Sebab airlah yang menjadi kebutuhan mendasar baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan mata pencaharian. Melalui tempat tinggal tersebut masyarakat membangun organisisi sosial yang diperlukan. Selanjutnya mereka menyepakati tata nilai dan norma yang dijadikan pedoman dalam kehidupan sosial sehari-hari. Nilai dan norma tersebut akhirnya menjadi identitas masyarakatnya. Belum lagi ketika masyarakat menngunakan bahasa sebagai sarana interaksi sosial.  

Dalam perkembangannya mereka juga bersepakat menentukan siapa yang menjadi pemimpin atau tokoh bagi masyarakat. Berpangkal dari hal tersebut, pada akhirnya muncul pemerintahan desa atau wilayah tertentu yang setingkat atau di bawahnya.

Oleh sebab itu tidak berlebihan bila dijelaskan bahwa sudah terdapat suatu "kampung" atau wilayah sosial yang ditempati masyarakat di sekitar sumber mata air Tukmas. Pemilihan tempat tinggal di sekitar sumber mata air sebagai bentuk kecerdasan dan kepekaan masyarakat yang dikembangkan dan dimiliki masyarakat. Melalui pengembangan intuisi maupun pengetahuan dan pengalaman, mereka akhirnya menemukan sumber mata air Tukmas. Mungkinkan dusun Dakawu Desa Lebak Kecamatan Grabak sekarang sudah ada sejak abad V M/6 M/7 M?

Melalui intepretasi yang spekulatif-ilustratif, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Dusun Dakawu (Tukmas) dan sekitarnya sudah ada sejak periode tersebut. Alasan mendasarnya adalah apakah dengan adanya sumber mata air yang sebesar itu hanya dijangkau oleh masyarakat yang berasal dari daerah yang jauh? Kiranya tidak mungkin. Jawaban yang paling mungkin adalah ada masayarakat yang bertempat tinggal didekat sumber mata air (relative dekat) sebagai sumber kehidupan mereka. Bahkan sangat logis bahwa yang menemukan sumber mata air tersebut adalah masyarakat yang bertempat tinggal tidak jauh dari sumber mata air.

Secara berkesinambungan melalui lisan antar warga akhirnya keberadaan sumber mata air Tukmas dikenal luas oleh masyarakat. Sehingga pada saat tertentu (kemarau khususnya) masyarakat yang berasal dari jauh berusaha memeproleh air dari sumber mata air tersebut. Akhirnya berita sumber mata air tersebut terdengar oleh pihak peguasa politik. Sehingga tidak mustahil akhirnya pemimpin mereka (raja?) memerintahkan agar ditulis prasasti di sumber mata air Tukmas.

Dari isi prasasti Tukmas tersebut, secara sosial masyarakat Magelang tidak mustahil sudah melakukan interaksi sosial dengan masyarakat luar (India). Sebab Bahasa Sansekereta dan huruf Palawa adalah budaya yang melekat dengan masyarakat India (khususnya Hindu). Melalui jalinan interaksi baik langsung maupun tidak tersebut, akhirnya sumber mata air di Dusun Dakawu mendapat perhatian penguasa (raja?) untuk dikeluarkan prasasti sebagai bentuk perhatian terhadap tempat yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.

Sebagai bagian dalam kehidupan sosial, mereka juga mengenal adanya organisasi sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Organisasi sosial yang dikembangkan akhirnya memunculkan bentuk atau sistem sosial yang disepakati sebagai bagian dalam kehidupan bersama yang secara turun temurun mewarisi nilai-nilai sosial generasi terdahulu. Mereka hidup dalam satu kesatuan sosial yang sama serta menempati suatu wilayah yang sama. Dalam perkembangannya wilayah yang ditempati (tempat tinggal) berada dalam wilayah administrasi yang terbentuk secara structural dari bawah sampai ke atas.

b)Kehidupan Ekonomi

Bersamaan dengan aktivitas sosial yang dilakukan, manusia pasti melakukan aktivitas ekonomi. Sebab melalui aktivitas tersebut manusia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan primernya. Demikian juga masyarakat Magelang pada abad 5 M/6 M/7 M, mereka selain melakukan aktivitas sosial, tentu berusaha juga melakukan aktivitas ekonomi.

Pada awalnya kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian (bercocok tanam). Oleh sebab itu mereka membutuhkan lahan yang dekat dengan sumber mata air. Maka tidak berlebihan apabila dijelaskan bahwa sumber mata air Tukmas adalah bukti kecermatan masyarakat Magelang pada saat itu dalam menemukan solusi kehidupan ekonominya berupa sumber mata air. Langkah cermat warga tersebut (sekali lagi) akhirnya terdengar oleh penguasa saat itu, sehingga akhirnya memerintahkan membuat prasasti Tukmas. Dalam perkembangannya mereka juga mengembangkan ekonomi industri sesuai dengan kebutuhan mereka. Bahkan pada akhirnya mereka mengenal kegiatan ekonomi perdagangan.

Mencermati sistem ekonomi Magelang berdasar prasasti Tukmas, lebih mengarahkan kepada kita pada sistem ekonomi pertanian. Sebab isi prasasti Tukmas yang paling pokok adalah penghormatan atau penyucian sumber mata air yang alirannya besar yang dianalogkan dengan sungai Gangga di India. Oleh sebab itu selain air tersebut digunakan sebagai ritual pada saat tertentu, juga digunakan masyarakat untuk mengaliri lahan pertaniannya. 

Dalam perkembangannya, memunculkan upaya untuk menggunakan hewan guna membantu masyarakat mengolah lahan pertanian. Maka mereka mulai melakukan identifikasi jenis-jenis hewan yang dapat difungsikan untuk membajak (mengolah tanah pertanian) seperti lembu maupun kerbau.

Sumber: repro dari kaskus.co.id
Sumber: repro dari kaskus.co.id
Hewan seperti sapi maupun kerbau dipilih sebagai jenis hewan yang dapat membantu masyarakat mengolah lahan pertanian. Berangkat dari kegiatan tersebut, akhirnya masyarakat mengenal sistem ekonomi peternakan yaitu cara untuk memelihara hewan-hewan ternak agar dapat meningkatkan sumber perekonomian maupun kebutuhan gizi. 

Selanjutnya dari langkah tersebut masyarakat mengenal cara memelihara hewan ternak seperti membuat kandang maupun cara memanfaatkan di lahan pertanian yang dimiliki. Temuan alat atau teknologi untuk membajak tanah dilatarbelakangi oleh aktivitas tersebut.

Hamparan sumber mata air di lokasi prasasti Tukmas. Dokpri
Hamparan sumber mata air di lokasi prasasti Tukmas. Dokpri

Oleh sebab itu berdasar prasasti Tukmas kita dapat mengintepretasi tentang kehidupan ekonomi masyarakat Magelang pada saat itu. Setidaknya dapat diilustrasikan bahwa masyarakat pada saat itu sudah hidup dari bercocok tanam. Sebab pada umumnya masyarakat membangun kehidupan, selalu berorientasi pada sumber mata air. Sehingga tidak berlebihan apabila dijelaskan bahwa masyarakat Magelang telah mengenal sistem ekonomi agraris dalam bentuk bercocok tanam pada abad V M atau abad VI -VII M dengan menjadikan sumber mata air Tukmas sebagai sentra sistem pengariran.

Bermula dari sistem tersebut mereka akhirnya mengenal jenis-jenis hewan yang dapat digunakan untuk membantu petani mengolah tanah (membajak). Selanjutnya mereka juga mengenal cara memelihara hewan-hewan peliharaanya (sapi maupun kerbau, dll) dengan cara membuat kendang maupun jenis lainnya. Barangkali sistem inilah yang menjadi cikal bakal sistem peternakan yang dikembangkan masyarakat pada masa-masa berikutnya. Alat atau teknologi pertanian seperti bajak, cangkul, dll merupakan pengembangan sistem ekonomi yang dikembangkan oleh masyarakat Magelang (khususnya Dusun Dakawu sekitarnya).

c) Kehidupan Agama

Seperti diuraikan di atas bahwa prasasti Tukmas berbahasa Sansekerta dan berhuruf Pallawa. Selain itu juga terdapat gambar cakra, kendi, bunga tanjung, trisula yang semua itu merupakan ciri-ciri yang melekat pada dewa Siwa.

Maka berdasar isi prasasti Tukmas dapat diketahui bahwa pada saat itu (abad V M/6M/7 M) agama Hindu sudah ada dan berkembang di wilayah Magelang. Maka tidak berlebihan apabila dijelaskan bahwa di Magelang pada saat itu sudah ada komunitas yang beragama Hindu. Sebab sulit rasanya dipahami apabila prasasti Tukmas menandakan ciri-ciri agama Hindu, masyarakatnya belum atau bahkan beragama selain Hindu.

Maka dapat dipastikan bahwa prasasti Tukmas memperjelas bahwa masyarakat Magelang pada abad 5 M/6 M/7 M sudah beragama Hindu. Mungkinkah Dusun Dakawu juga sudah beragama Hindu pada saat itu? Kiranya tidak berlebihan apabila dijelaskan bahwa masyarakat Dakawu dan sekitarnya juga sudah beragama Hindu (setidaknya sudah ada sebagian masyarakat beragama Hindu). Dengan adanya komunitas Hindu di wilayah Dakawu sekitarnya inilah, sumber mata air Tukmas dapat dijaga dan dijadikan sebagai sumber ekonomi maupun tempat yang disakralkan (disucikan).

Oleh sebab itu agama Hindu pada saat sebelum ditulisnya prasasti Tukmas sudah ada di wilayah Magelang (khususnya di Dusun Dakawu sekitarnya). Justru dengan dikeluarkannya prasasti Tukmas makin memperkuat keberadaan masayarakat penganut Hindu di wilayah tersebut. Dengan demikian tidak berlebihan apabila dijelaskan bahwa agama Hindu sudah tumbuh serta berkembang di Magelang (khususnya Dusun Dakawu sekitarnya) sebelum dikeluarkan prasasti Tukmas. Keluarnya prasasti Tukmas sekali lagi, makin memperjelas perkembangan agama Hindu di Magelang (khususnya Dusun Dakawu sekitarnya).

Seperti diketahui bahwa masuknya agama Hindu di Indonesia secara umum telah memunculkan beberapa teori yaitu teori Waisya (kaum waisya berdagang sampai Indonesia sambil menyebarkan agama Hindu, teori Sudra yaitu kaum sudra mengikuti jejak waisya juga berdagang sampai Indonesia sambil menyebarkan agama Hindu), dan teori brahmana yaitu kaum brahmana yang menyebarkan agama Hindu ke Indonesia. Sebab mereka yang mempunyai keahlian bahasa sansekerta dan huruf Palawa, dan  teori ksatria yaitu kaum ksatria/tentara yang membantu konflik yang terjadi antar kelompok di Indonesia, kemudian menyebarkan agama Hindu, serta teori arus balik yaitu para pemuda Indonesia yang belajar Hindu di India, selanjutnya  disebarkan kembali di Indonesia. 

Lepas dari beberapa teori tersebut, Magelang sudah mengalami proses interaksi dengan orang-orang India baik langsung maupun tidak langsung pada abad V M/6 M/7 M.  Hal tersebut menunjukkan pada masa itu (bahkan bisa sebelum abad itu) sudah terjadi proses "penghinduan" baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses tersebut tidak mustahil mendorong munculnya sekelompok masyarakat yang beragama Hindu yang memilih di wilayah sekitar sumber mata air Tukmas. Sekali lagi, tidak mustahil merekalah yang awal mula menemukan sumber mata air Tukmas tersebut.

d)Kehidupan Politik (Pemerintahan)

Sistem politik berkaitan dengan kekuasaan atau sistem pemerintahan. Maka pemerintahan merupakan salah satu bentuk sistem politik yang selalu digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Berdasar pada prasasti Tukmas dapat diketahui bahwa sistem politik bagi penguasa saat itu adalah kerajaan. Hal ini diketahui dari bahasa Sansekerta dan huruf Palawa yang merupakan pengaruh India (Hindu) yang dalam pemerintahan menerapkan sistem kerajaan. Dengan demikian raja merupakan pemimpin tertinggi yang mengambil semua kebijakan.

Berdasar pada prasasti Tukmas, maka tidak berlebihan apabila dijelaskan bahwa Magelang pada abad V M/6 M/7 M sudah terpengaruh dengan sistem kerajaan atau setidaknya berada dalam kekuasaan kerajaan yang bercorak Hindu. Namun pada perkiraan angka tahun prasasti Tukmas, dapat dipastikan di Magelang (Jawa Tengah pada umumnya) belum ada kerajaan. Sebab periode abad VI M kerajaan Hindu yang ada di Nusantara adalah kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan Taruma Negara di Jawa Barat.

Berdasar pada prasasti Canggal 732 M, diperoleh penjelasan bahwa di Jawa (Yawadwipa) mula-mula diperintah oleh raja Sanna. Ia memerintah dengan arif dan bijaksana dalam waktu yang lama. Dalam memerintah seolah-olah ia seperti bapak sedang mendidik anaknya. Penggantinya adalah raja Sanjaya anak Sannaha yaitu saudara perempuan Sanna. (Sartono Kartodirdjo,dkk., 1975:82-83).

Informasi prasasti Canggal (732 M) memberikan gambaran bahwa di Magelang mulai ada pemerintahan (kerajaan) pada abad 8 M. Kerajaan dipimpin oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan) Sanna. Dengan demikian belum dapat dijelaskan bahwa pada abad V M/6 M/7 M di Magelang sudah ada sistem kerajaan. Namun berdasar prasasti tersebut dapat diketahui bahwa sebelum Sanjaya memerintah, di Magelang sudah terjadi proses "penghinduan" dalam waktu yang relatif lama. 

Siapakah yang memerintahkan penulisan prasasti Tukmas?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu mengetahui siapa yang sedang berkuasa atau memerintah Magelang pada abad V M/6 M/7 M. Setelah diketahui jawabanya, maka akan diketahui (diintepretasi) siapa yang memerintahkan penulisan prasasti Tukmas. Mengapa? Sebab penulisan prasasti dalam tradisi Hindu (khususnya), adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Siapa saja yang berhak memerintahkan penulisan prasasti? Dalam tradisi kerajaan Mataram Hindu, orang-orang yang berhak mengeluarkan prasasti adalah raja, putra raja, penguasa wilayah "watak" serta brahmana (Maziyah,2018:187-188). Seorang "rakai/samgat (pemimpin watak)" maupun brahmana ketika memerintahkan penulisan prasasti tentu juga harus seizin raja. Atau setidaknya memberitahukan kepada raja.  

Untuk mengetahui sistem politik (pemerintahan) di Magelang abad V M/6 M/7 M perlu kiranya ditelusuri tentang struktur pemerintahan yang diterapkan pada masa itu. Namun kita hanya memperoleh data tentang struktur pemerintahan masa Mataram Hindu.  Adapun Struktur pemerintahan pada pemerintahan Mataram Hindu di Indonesia diterapkan sistem atau hirarki sebagai berikut:

(Sumber: Siti Maziyah.2018 dalam ejournal.undip.ac.id)
(Sumber: Siti Maziyah.2018 dalam ejournal.undip.ac.id)

Berdasar gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa wilayah tertinggi adalah kerajaan dengan raja sebagai penguasanya. Sistem kerajaan terdiri dari beberapa wilayah yang disebut "watak" yang masing-masing wilayah dikepalai oleh seorang yang bergelar "rakai/Samgat". Masing-masing wilayah "watak" terdiri dari wilayah di bawahnya yang disebut "wanua". Masing-masing wilayah ini dipimpin pejabat wanua yang disebut dengan "rama". Wanua merupakan wilayah yang paling kecil dalam suatu wilayah kerajaan. Wanua bisa terdiri beberapa desa atau cukup satu desa saja.

Seperti diuraikan di atas, bahwa berdasar prasasti Canggal (732 M), pada abad 5 M/6 M/7 M belum memungkinkan (belum ada) kerajaan di Magelang. Oleh sebab itu berdasar data di atas, penguasa yang memerintahkan menuliskan prasasti bukanlah raja (Magelang?). Sehingga yang paling memungkinkan adalah seorang "rakai/samgat" maupun brahmana. Bisa saja Magelang (pada umumnya) saat itu sebagai wilayah "watak" yang dipimpin oleh seorang "Rakai/Samgat". Dusun Dakawu dan sekitarnya bisa saja berstatus sebagai "wanua" yang dipimpin oleh seorang "rama". Sekali lagi tidak logis apabila prasasti Tukmas ditulis di wilayah tersebut, di sekitarnya masih belum ditempati oleh masyarakat. Maka sangat mungkin saat itu di Dakawu dan sekitarnya secara sosial sudah mempunyai suatu kelompok sosial atau masyarakat.

Namun seperti diuaraikan di atas, pejabat di bawah raja maupun brahmana yang memerintahkan penulisan prasasti juga harus seizin raja (diberitahukan kepada raja). Maka pertanyaan lebih lanjut adalah siapa raja yang memberikan izin atau diberitahu bahkan yang memerintah untuk penulisan prasasti Tukmas?

Berdasar perkiraan tahun dituliskannya prasasti Tukmas, apabila raja dimaksud adalah raja Mataram Kuno; sepertinya tidak mungkin. Sebab berdasar prasasti tertua kerajaan Mataram Hindu (Canggal) pada tahun 732 M. Sedangkan perkiraan angka tahun prasasti Tukmas abad V M (Sartono Kartodirdjo,dkk), dan abad VI M sampai VII M (Balai Purbakala dan Cagar Budaya Jawa Tengah). Maka tahun penulisan prasasti Tukmas jauh lebih tua dibanding prasasti Canggal.

Adakah hubungan wilayah pemerintahan Magelang dengan Kerajaan Kalingga?

Pertanyaan ini perlu diungkapkan guna menjawab pertanyaan di atas yaitu siapa yang memerintahkan penulisan prasasti. Apakah ada hubungan Magelang (khususnya penulisan prasasti Tukmas) dengan kerajaan Kalingga?

Berdasar ulasan berbagai sumber dari beberapa pakar Sejarah, keberadaan Kalingga tidak berdasarkan pada prasasti. Nama dan eksistensi Kalingga, lebih didasarkan pada berita Cina. Maka peran politik yang dimainkan juga berdasar pada berita Cina.

Dilansir dari buku Sejarah Nasional Indonesia II tulisan Sartono dkk, (1975:76-77) diperoleh penjelasan bahwa Holing (diduga Kalingga) terletak di suatu pulau di laut selatan, rajanya bertahta di istana bertingkat, penduduknya sudah pandai menulis dan mengenal ilmu perbintangan. Selanjutnya dijelaskan orang Holing kalau makan tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.

Dijelaskan lebih lanjut pada tahun 674 M Jawa diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Si-mo (Sima/Simha). Ia memerintah dengan tegas. Barang-barang yang tercecer di jalan tidak ada yang berani mengambil. Selanjutnya seorang Ta-che menyuruh seseorang meletakkan pundi-pundi berisi dinar di suatu jalan. Masyarakat tidak berani mengambilnya. Namun tanpa sengaja kaki putra mahkota menyentuhnya. Sang anak akhirnya dipotong kakinya oleh Ratu Sima akibat kesalahan yang dilakukan. 

Dari berita Cina tersebut dapat diketahui bahwa secara politik, di Jawa Tengah pada tahun 674 M berdiri kerajaan Kalingga (Ho Ling) dengan rajanya bernama Sima (Simo/Simha). Berdasar intepretasi para ahli sejarah (Sartono Kartodirjo,dkk:76) bahwa letak kerajaan Kalingga di Jepara/Batang/Pekalongan. Namun secara umum Jepara yang dianggap sebagai ibukota.

Berdasar beberapa sumber yang ada, dapat dipastikan bahwa Magelang pada abad V M sampai VI M belum berbentuk kerajaan. Sebab berdasar prasasti Canggal kerajaan Sanjaya baru berkuasa pada abad VIII M. Dugaan yang agak rasional adalah bahwa Magelang setidaknya sudah berada dalam wilayah pemerintahan "watak" yang diperintah oleh seorang "rakai atau samgat" yang berada dalam wilayah kekuasaan Kalingga masa pemerintahan Sima. Sedangkan desa Dakawu berbentuk wilayah "wanua" yang menjadi bagian kekuasaan rakai Magelang. Maka penulisan prasasti Tukmas sangat mungkin atas perintah "rakai/samgat" kepada brahmana yang dianggap sudah memahami huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Namun tetap sepengetahuan sang ratu Sima, penguasa kerajaan Kalingga. Ratu Sima inilah yang selanjutnya mempunyai anak yang salah satunya menjadi peletak dasar berdirinya kerajaan Mataram Kuno.     

Kesimpulan

1) Prasasti Tukmas berada di Dusun Dakawu Kecamatan Lebak Kabupaten Grabag. Bisa saja daerah ini sudah ada sejak abad V/VI/VII M. Sebab masyarakat selalu hidup yang dekat dengan sumber air baik sungai atau mata air pegunungan. Bisa saja, masyarakat Dakawu saat itu yang menemukan sumber mata air itu dan memanfaatkan untuk keperluan sehari-hari baik untuk pertanian maupun kebutuhan rumah tangga.

2) Secara sosiologis, masyarakat Magelang sudah terbuka interaksidengan India (baik langsung maupun tidak). Sebab dengan adanya prasasti Tukmas, bukti nyata Magelang sudah terkena pengaruh agama Hindu. Bahkan secara historis, telah banyak peninggalan besar masa Hindu-Budha di Magelang. Hal ini menunjukkan bahwa  masyarakat Magelang telah mempunyai hubungan yang makin terbuka dengan dunia luar (khususnya India dan Tiongkok). 

3) Secara keagamaan, masyarakat Magelang beragama Hindu sekitar abad V/VI/VII M. Agama Hindu telah dijadikan sebagai agama baru yang menggantikan atau terjadi sinkritisme dengan kepercayaan yang dianut sebelumnya. Sangat mungkin masyarakat sekitar prasasti juga sudah menganut agama Hindu. Sebab biasanya tempat-tempat tertentu yang dianggap berpengaruh bagi masyarakat, disikapi dengan ritual. Tidak mustahil lokasi mata air (Tukmas) juga dikunjungi sebagai salah satu tujuan ritual pada saat itu.

Menurut penuturan salah satu petugas PDAM yang bertugas di sana, salah satu sumber mata air (khususnya sebelah kanan gardu simpul air) secara rutin diambil untuk ritual masyarakat Hindu. 

4) Secara ekonomi, masyarakat sudah hidup dengan bercocok tanam. Sebab masyarakat memanfaatkan sumber mata air untuk sawah ladangnya. Sangat mungkin di Magelang pada abad tersebut sudah ada pemerintahan. Setidaknya dalam wilayah "watak" yang diperintah oleh seorang rakai atau samgat. Wilayah ini sangat mungkin berada dalam kekuasaan kerajaan Kalingga.

Referensi:

  • Sartono Kartodirjo,dkk.Sejarah Nasional Indonesia II.Jakarta. Depdikbud. 1975
  • Siti Maziyah.2018 dalam  http://ejournal.undip.ac.id/index.php/anuva
  • Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, Papan Informasi Prasasti
  • Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.Prasasti Masa Klasik di Jawa Tengah.Tt.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun