Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Menyingkap Korelasi Turunnya Lailatul Qadar dengan Kesalehan Personal

24 April 2022   06:15 Diperbarui: 24 April 2022   09:54 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membahas lailatul qadar tentu tidak hanya mengulas tentang kuantitas pahala. Kiranya juga perlu dikaji pada sisi kualifikasi perilaku pelaksanaan puasa selama satu bulan penuh.

Sepertinya tidak berlebihan jika dikatakan terdapat korelasi dan relevansi lailatul qadar dengan kasalehan personal bagi orang yang menjalankan puasa di bulan Ramadhan.

Kesalehan personal yang dimaksud adalah suatu kualitas hubungan dengan Allah SWT secara individu melalui aktivitas ibadah secara ritual.

Pelaksanaan ibadah yang bersifat ritual tersebut dapat mendorong seseorang memancarkan kebaikan demi kebaikan dalam kehidupan sesama.

Perintah puasa ditujukan agar menjadi orang bertakwa. Sedangkan lailatul qadar merupakan puncak peroleh perjuangan seseorang yang yang diberikan oleh Allah bagi orang yang menjalankan puasa atas dasar iman di sepuluh hari terakhir. Sehingga bisa dikatakan bahwa lailatul qadar merupakan "iming-iming", motivasi spiritual yang disampaikan oleh Allah tentang malam 1000 kemuliaan kepada orang yang berpuasa.

Iming-iming tersebut tentu bukan untuk orang yang hanya berhasil menahan lapar dan dahaga, namun orang yang juga berhasil "memuasakan" lisan, perilaku dan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. 

Orang yang berpuasa hanya bisa menahan lapar dan dahaga akan mendapatkan hikmah pada jasadnya (fisiknya) yang lebih sehat, sedang orang yang berhasil menahan lapar dan dahaga sebagai sarana "memuasakan" lisannya, perilakunya selama berpuasa akan memperoleh kesehatan fisik dan jiwanya.

Maka ribuan hikmah malam lailatul qadar akan masuk pada jiwa seseorang yang berhasil membersihkan jiwanya selama berpuasa. Sehingga orang tersebut adalah orang yang berhasil menjadikan lapar dan dahaga selama berpuasa untuk mengasah jiwanya.

Keberhasilan dalam mengasah jiwanya, selanjutnya, diterapkan dalam kehidupan setelah Ramadhan dan akan diasah ulang menunju Ramadhan 11 bulan berikutnya sampai akhir hayatnya.

Pasca pelaksanaan puasa, orang tersebut terdapat banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Kualitas hubungan vertikalnya meningkat. Hal ini ditandai dengan intensitas dan jenis varian ibadah ritualnya. 

Kualitas tersebut juga diimbangi dengan peningkatan kualitas hubungannya sesama manusia. Sehingga orang tersebut setelah puasa mempunyai perubahan perilaku yang lebih berkualitas baik secara vertikal maupun horizontal, baik secara personal maupun sosial. Dengan kata lain orang tersebut dapat merubah dirinya menjadi pribadi yang shaleh (baik personal maupun sosial).  

Orang yang mempunyai kesalehan personal dan sosial akan ditandai dengan keterbukaan jiwanya menerima kebaikan dan kebenaran. Terus berjuang menjadi orang yang tidak takabur, berperilaku senang meminta maaf dan mudah memaafkan, menjauhkan diri dari sifat iri, dengki, hasut dan hal-hal  lain yang mengotori jiwa.

Ketika seseorang berpuasa, pasca puasa menampilkan diri demikian, bukankah orang tersebut telah memperoleh hadiah malam kemuliaan? Bukankah hal tersebut adalah pahala yang melimpah? Bukankah hal tersebut yang menjadi jembatan seseorang bebas dari api neraka?

Maka pelaksanaan puasa dengan ritual menahan lapar dan dahaga sehingga berhasil membawa perubahan jiwanya ke arah yang lebih baik, terdapat korelasi dan relevansi dengan profil seseorang dengan kesalehan personal maupun sosial.

Sehingga orang memperoleh malam lailatul qadar dapat merasakan pahala di dunia. Demikian juga orang lain juga akan bisa mendapatkan kemanfaatanya. Jika kondisi demikian dipertahankan terus menerus dengan landasan keikhlasan, maka pahalanya akan dibawa sampai di akhirat kelak.

Dengan kata lain, esensi pahala malam lailatul qadar yang diterima seseorang bukanlah sesuatu yang abstraks. Bukan pula berbentuk simbol-simbol kebendaan tertentu.

Namun bisa dirasakan efeknya pada perubahan jiwanya yang lebih terbuka dengan kebaikan, kemajuan, kemaslahatan, kebenaran,dll. 

Pendek kata orang tersebut akan berjuang terus menerus menghilangkan aneka kotoran jiwa yang bisa membebaskan dirinya dari api neraka.

Kondisi demikian menjadi relevan dengan hadits nabi yang menjelaskan bahwa 10 hari pertama adalah rahmat, 10 hari kedua adalah ampunan, 10 hari ke tiga adalah terbebas dari api neraka. Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun