Sementara itu jiwa yang bersih akan muncul ketika ada kecerdasan akal yang mampu mengelaborasi ayat-ayat Allah dalam kehidupan nyata. Sebab akal yang akan mampu memahami, menjabarkan dan memanfaatkannya sebagai proses kemaslahatan umat.
Proses saling mempengaruhi kecerdasan akal dan jiwa yang ada pada diri seorang hamba akan mendorong pada ketakwaan yang bermakna.
Kecerdasan akal akan menunjukkan aneka varian kebesaran Allah SWT, jiwa yang bersih akan mengantarkannya pada sikap yang tawadhu, jauh dari sifat riya', iri, dengki, sombong dan serakah.
Proses tersebut bisa diwujudkan apabila terjadi proses belajar sepanjang hayat. Sinergitas akal dan jiwa dalam proses ini akan mengantarkan pada peningkatan kualitas takwa secara bertahap yang pada gilirannya akan menghadirkan ketakwaan yang bermakna yang pancarannya tidak saja untuk dirinya, namun orang lain juga bisa menikmati kebermaknaan takwanya. Â
Puasa menjadi sarana ideal bagi terwujudnya sinergitas tersebut guna meraih takwa yang bermakna. Sebab kewajiban puasa yang digariskan memang untuk mewujudkan orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang dimulaikan disisi Allah SWT.
Meraih Takwa yang Bermakna
Puasa dapat menjadi sarana strategis mengasah jiwa. Kalau jiwanya bersih, lurus, lembut akan mendorong  akalnya semakin berkualitas dalam memahami realitas kehidupan. Sehingga memperoleh kedalaman makna.
Sebab akalnya dibimbing oleh jiwa yang sudah behasil dibersihkan melalui puasa. Jiwa yang bersih harus dilalui dengan mengurangi makan dan minum, mengendalikan ucapan dan tindakan yang tidak ada manfaatnya.
Menahan amarah, tidak serakah serta tidak mengkonstruksi iri dan dengki demi mempertahankan gengsi diri. Puasa yang demikian adalah puasa yang fungsional, bukan puasa yang ritual.
Puasa yang fungsional berarti puasa yang berhasil melahirkan orang-orang bertakwa yang bermakna.
Orang yang berhasil melakukan puasa demikian adalah orang yang mendapat keberuntungan. Siapakah  yang akan berhasil meraih kondisi takwa yang bermakna?