Perjalanan panjang sejarah kolonial di Indonesia, juga menorehkan banyak sisi kehidupan bangsa yang memprihatinkan. Sebab eksistensi pemerintah kolonial menjadi kelompok minoritas, namun berada di kerucut piramida sosial teratas. Golongan kedua ditempati orang-orang timur asing (Cina, India, Arab). Pribumi yang berstatus "inlanders" berada di kelas sosial terakhir.
Dalam setiap kondisi, kaum pribumi (khususnya rakyat kecil) selalu berada dalam kondisi melayani apa yang menjadi keinginan "sang tuan dan nyonya" termasuk kaum elit sosial lokal. Dengan kata lain selalu berada dalam kondisi yang "tertindas".
Ketika sarana tranportasi masih terbatas, maka muncullah alat angkut yang bernama "tandu". Alat ini berbahan bambu atau kayu yang dipilih dan dirakit sedemikian rupa agar memenuhi standar keselamatan. Keberadaan alat-alat angkut ini sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Namun pada masa kolonial Belanda, sebelum ditemukan sarana mobilitas yang beraneka ragam, tandu akhirnya digunakan sebagai sarana transportasi. Seperti hal nya pada masa kerajaan, orang-orang kolonialpun juga menjadikan manusia sebagai "mesin penggeraknya". Siapa yang menjadi mesin penggeraknya? Tidak lain adalah rakyat kecil, rakyat jelata, kawula alit. Maka sejak itu muncullah tandu-tandu yang dipikul oleh beberapa laki-laki sebagai mesin penggerak yang  mengantarkan ke tempat tujuan.
Berdasar gambar-gambar di atas dapat diketahui bahwa pribumi (khususnya rakyat jelata) pada masa kolonial mempunyai beban ganda. Mereka harus melayani kaum kolonial dan kaum feodal. Penjajahan yang dilakukan Belanda tidak hanya mengeksploitasi hak-hak politik, ekonomi serta budaya bangsa Indonesia. Namun juga merampas harkat dan martabat rakyat jelata pada titik yang sangat memprihatinkan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H