Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik Tandu-tandu Kolonial dan Feodal

26 April 2021   09:40 Diperbarui: 26 April 2021   09:53 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:http://ia-d.blogspot.com/

Perjalanan panjang sejarah kolonial di Indonesia, juga menorehkan banyak sisi kehidupan bangsa yang memprihatinkan. Sebab eksistensi pemerintah kolonial menjadi kelompok minoritas, namun berada di kerucut piramida sosial teratas. Golongan kedua ditempati orang-orang timur asing (Cina, India, Arab). Pribumi yang berstatus "inlanders" berada di kelas sosial terakhir.

Dalam setiap kondisi, kaum pribumi (khususnya rakyat kecil) selalu berada dalam kondisi melayani apa yang menjadi keinginan "sang tuan dan nyonya" termasuk kaum elit sosial lokal. Dengan kata lain selalu berada dalam kondisi yang "tertindas".

Ketika sarana tranportasi masih terbatas, maka muncullah alat angkut yang bernama "tandu". Alat ini berbahan bambu atau kayu yang dipilih dan dirakit sedemikian rupa agar memenuhi standar keselamatan. Keberadaan alat-alat angkut ini sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Namun pada masa kolonial Belanda, sebelum ditemukan sarana mobilitas yang beraneka ragam, tandu akhirnya digunakan sebagai sarana transportasi. Seperti hal nya pada masa kerajaan, orang-orang kolonialpun juga menjadikan manusia sebagai "mesin penggeraknya". Siapa yang menjadi mesin penggeraknya? Tidak lain adalah rakyat kecil, rakyat jelata, kawula alit. Maka sejak itu muncullah tandu-tandu yang dipikul oleh beberapa laki-laki sebagai mesin penggerak yang  mengantarkan ke tempat tujuan.

Sumber:http://ia-d.blogspot.com/
Sumber:http://ia-d.blogspot.com/
Nampak pada gambar seorang "nonik" Belanda ditandu oleh beberapa laki-laki menuju tujuan yang diinginkan. Sementara itu beberapa laki-laki duduk-duduk di dekatnya. Bisa saja mereka adalah penjual jasa pengangkat tandu, ada kemungkinan juga mereka adalah pembantu sang nonik. Apabila dugaan ini benar, maka profesi pengangkat tandu juga sudah ada sejak zaman kolonial.

Sumber:http://ia-d.blogspot.com/
Sumber:http://ia-d.blogspot.com/
Gambar di atas juga menjelaskan bahwa beberapa laki-laki mengangkat tandu yang ditumpangi oleh nonik Belanda. Tentu saja mereka diminta mengantarkan ke tujuan yang dikehendaki.

Sumber:http://ia-d.blogspot.com/
Sumber:http://ia-d.blogspot.com/
Gambar tersebut menjelaskan beberapa laki-laki mengangkat tandu yang ditumpangi oleh masyarakat pribumi. Melihat pakaian yang dikenakan sangat mungkin mereka adalah elit lokal yang mempunyai status terpandang di masyarakat.

Berdasar gambar-gambar di atas dapat diketahui bahwa pribumi (khususnya rakyat jelata) pada masa kolonial mempunyai beban ganda. Mereka harus melayani kaum kolonial dan kaum feodal. Penjajahan yang dilakukan Belanda tidak hanya mengeksploitasi hak-hak politik, ekonomi serta budaya bangsa Indonesia. Namun juga merampas harkat dan martabat rakyat jelata pada titik yang sangat memprihatinkan. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun