Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Spirit Ramadan Masa Penjajahan Belanda

18 April 2021   09:52 Diperbarui: 18 April 2021   10:25 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah mencatat bahwa spirit Ramadan dapat ditemukan sejak zaman kolonial.  Pada zaman VOC hampir semua aktivitas umat Islam tidak mendapatkan pengetatan, termasuk pada kegiatan Ramadan dan haji. Sebab orientasi mereka adalah dagang, sehingga selama tidak merugikan perdagangan VOC tidak akan dilarang.

Setelah VOC bubar, penguasa di Nusantara adalah Pemerintah Hindia Belanda. Pada saat ini kegiatan ke-Islaman (khususnya Ramadan) sudah mulai diatur. Namun spirit Ramadan tetap berjalan seiring dengan situasi dan kondisi yang ada. Ada beberapa spirit Ramadan yang kiranya perlu diketahui oleh masyarakat sekarang.

Pertama, Kegiatan Menyambut Bulan Suci Ramadan

Menyambut bulan suci Ramadan dilakukan dengan berbagai cara. Membunyikan bedug masjid, membunyikan petasan bahkan membunyikan meriam. Awal Ramadan disambut masyarakat dengan bunyi-bunyian yang sangat keras. (Martina Safitry (https://nationalgeographic.grid.id/read/131727103/bagaimana-situasi-ramadhan-di-indonesia-saat-penjajahan-belanda?page=all). 

Langkah asyik dan unik tersebut adalah bukti adanya spirit dalam menyambut bulan suci Ramadan. Kegiatan ini oleh pemerintah Belanda tidak dilarang. Sebab dianggap sebagai sebuah seni menyambut bulan suci umat Islam.

Kedua, Kegiatan Puasa

Kegiatan puasa yang dilakukan oleh umat Islam tidak dilarang oleh pemerintah Belanda. Sebab kegiatan ini dilakukan oleh masing-masing individu muslim (bukan perkumpulan masa). Kesempatan ini digunakan oleh umat Islam untuk menjalankan puasa sebulan penuh. Tentu tidak semua umat Islam menjalankan puasa.  Biasanya orang yang menjalankan puasa adalah orang Islam yang taat menjalankan ibadah salat sehari-harinya. Kondisi demikian akhirnya memunculkan istilah Islam "Santri dan Islam Abangan".

Ketiga, Buka Puasa

Kegiatan buka puasa dilakukan di rumah masing-masing. Di pedesaan penanda buka puasa biasanya dengan menabuh bedug di masjid kampung. Namun yang di kota biasanya dengan  bunyi suara sirine. Pemerintah Belanda juga tidak melarang suara sirine dibunyikan, walaupun suaranya bisa dalam radius 15 km. Bunyi sirine sangat dibutuhkan oleh umat Islam kala itu, sebab penentuan waktu masih menggunakan cara-cara tradisional. Tentu jam tangan dan jenis-jenis lainnya belum ada.

Sumber:kumparan.com
Sumber:kumparan.com
Keempat, Kegiatan Tarawih

Pemerintah Belanda pada kegiatan ini mulai intervensi. Tarawih oleh pemerintah ditetapkan tentang tempat dan jumlah jamaahnya. Penentuan tempat mempertimbangkan pada kegiatan pengawasan. Sedangkan pembatasan jumlah jamaah untuk kepentingan stabilitas pemerintahan. Oleh sebab itu umat Islam yang menjalankan salat tarawih sangatlah terbatas. Sehingga salat tarawih ada yang dijalankan di langar kampung masing-masing yang jauh dari pengawasan pemerintah Belanda. Yang jelas Pemerintah Belanda sangat membatasi jumlah kerumunan masa, karena dikawatirkan menganggu keamanan Pemerintah Belanda. 

Kelima, Kegiatan Salat Idul Fitri

Salat ied yang merupakan puncak kegiatan Ramadan juga diatur oleh Pemerintah Belanda. Tempat maupun jamaah sangat dibatasi. Pelaksanaan salat Idul Fitri juga diatur, dibatasi dan diawasi Menurut Martina Safitry (https://nationalgeographic.grid.id/read/131727103/bagaimana-situasi-ramadhan-di-indonesia-saat-penjajahan-belanda?page=all) salat Iedul Fitri pertama kali dilaksanakan tahun 1929. Sejak tahun itu pemerintah kolonial mengizinkan kegiatan salat Iedul Fitri di tempat terbuka.

Sumber:kumparan.com
Sumber:kumparan.com
Untuk mempermudah pengawasan, tempat salat dipilihkan lapangan. Pertimbangannya agar pemerintah bisa memantau pergerakan masa sebelum, saat salat maupun setelah salat Idul Fitri. Belanda memang sangat sensitif dengan kerumunan masa yang dilakukan oleh umat Islam. Bagi umat Islam di pedesaan, kegiatan salat Iedul Fitri dilaksanakan di masjid kampung masing-masing. Jumlah jamaah salat Idul Fitri cenderung banyak. Sebab orang-orang yang tidak puasa juga ikut-ikutan salat Ied. Mereka juga merasa beragama Islam, sehingga merasa mempunyai hak merayakan juga. Dengan demikian dalam kondisi apapun yang terjadi pada zaman colonial, spirit Ramadan tetap berjalan sesuai dengan dinamika yang terjadi.

Atas saran Snouk Hurgronye kepada Pemerintah Belanda, umat Islam tidak dilarang menjalankan aktivitas ibadahnya (termasuk Haji). Dengan kata lain Islam yang bersifat ibadah boleh dijalankan, namun Islam yang berbau politik akan diberikan tindakan tegas. Semoga bermanfaat. Mohon maaf apabila ada kesalahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun