Setiap menjelang bulan Agustus seluruh bangsa Indonesia tiba-tiba sibuk mempersiapkan segala hal terkait acara perayaan HUT RI yang kini telah memasuki usia 65 tahun itu. Dari anak-anak hingga orang tua berbondong-bondong hanyut dalam hiruk-pikuk kemeriahan perayaan HUT RI. Masih bulan Juli ini pun aku sudah bisa merasakan betapa kemeriahan HUT RI tahun ini. Aku melihat di sepanjang jalan yang sering kali ku lewati kini sudah mulai terpasang sang saka merah putih dan segala pernak-pernik yang turut membuat suasana semakin tampak hidup.
Pada setiap bulan Agustus kita bangsa Indonesia begitu semangat merayakan kemerdekaan yang telah diraih 65 tahun silam. Tentu bangsa ini patut bangga dan berterimakasih kepada para pahlawan-pahlawan pendahulu kita, yang melalui darah-darah mereka dan doa-doa para ulama-lah bangsa ini bisa menikmati kemerdekaan hingga sampai sekarang. Yang juga harus diingat bangsa ini adalah gema-gema takbir “ALLAHU AKBAR” yang menjadi senjata terampuh para pejuang kemerdekaan kala itu. Tidak salah jika kemerdekaan yang bangsa Indonesia raih ini adalah berkah rahmat dari Allah SWT (Tuhan YME). Maka sebelum kita hanyut dalam hiruk-pikuk kemeriahan perayaan HUT Kemerdekaan RI yang ke-65 tahun ini, semestinya bangsa ini harus merenungi kembali makna dari kemerdekaan itu sendiri. Benarkah bangsa ini sudah merdeka?
Secara de fakto dan de jure memang seluruh negara di dunia mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun menurut aku pribadi sebagai warga negara biasa, sejatinya kita ini belum merdeka dalam arti yang sebenarnya. Mungkin pendapat pribadi ku ini akan ditentang oleh para elite dan pejabat negara yang secara politik dan ekonomi mereka sudah dapatkan kemerdekaan itu. Namun ku kira secara psikologis mereka pun belum dapatkan kemerdekaan itu. Dan aku optimis pendapat ku ini juga akan diamini oleh seluruh bangsa Indonesia yang memang benar-benar mampu menghayati dan mendalami makna sejati dari kemerdekaan itu sendiri.
Jujur, sebagai warga negara biasa terkadang aku bingung dengan realita yang terjadi di negara kita tercinta ini. Katanya kita sudah merdeka, namun masih saja ada kata “akan tetapi” di belakangnya. Dan terkadang diakhiri dengan tanda tanya besar “mengapa”. Kita sudah merdeka, akan tetapi masih saja banyak warga miskin yang untuk bertahan hidup saja terpaksa harus makan nasi aking. Kita sudah merdeka, akan tetapi masih banyak anak-anak yang belum bisa menikmati bangku sekolah hanya gara-gara mahalnya biaya pendidikan. Masih banyak wajah-wajah polos anak-anak negeri ini yang setiap hari tampak menghiasi lampu-lampu merah di sepanjang jalan protocol, belum lagi mereka yang terpaksa menjajakan dan menghinakan diri demi membantu orang tuanya. Malang nian nasip mu anak Indonesia!
Katanya kita sudah merdeka, akan tetapi bahan kebutuhan pokok semacam kedelai saja harus import. Belum lagi beberapa tahun silam yang mana “negara lumbung padi dunia” ini pernah meng-import beras. Ironis sekali, padahal negeri ini sangat kaya akan sumber daya alamnya. Apakah kelak kita juga akan meng-import oksigen dan air bersih, karena nampaknya kini banyak hutan-hutan yang digunduli oleh tangan-tangan jahil manusia hingga tidak bisa lagi menampung air bersih dan menghasilkan Oksigen bagi kelangsungan hidup kita. Tiga kata saja, Tragis dan Ironis!
Kita memang sudah merdeka, akan tetapi tidak secara psikologis. Anda para pembaca berhak tidak setuju, namun menurut aku sebagai warga Negara biasa – bangsa ini belumlah merdeka psikologis-nya – , mengapa? Setiap hari bangsa ini selalu dihantui peraaan cemas, takut, was-was, dan negative thinking lainnya, karena berbagai ancaman mulai dari terorisme, anarkisme, dan berbagai tindakan amoral lainnya. Inikah kemerdekaan sejati itu? Pada akhirnya semua ini menjadi pembelajaran yang amat berharga bagi kita semua sebagai bangsa Indonesia. Mari renungkan kembali makna sejati dari merdeka itu sendiri.
Merdeka bukanlah sekedar satuan waktu yang selalu kita peringati setiap tanggal 17 Agustus. Dan seperti biasa setelah itu kita anggap angin lalu, yang tersisa hanyalah debu-debu yang kebetulan tidak terhempas bersama angin lalu itu. Lalu, apakah artinya 65 tahun merdeka jika itu hanya satuan waktu, yang di dalamnya ada banyak peluang yang sering kita sia-siakan begitu saja. Apalah artinya 65 tahun bangsa ini merdeka, jika masyarakatnya masih suka tawuran hanya gara-gara hal yang sepele? Jika aku teruskan akan muncul banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak akan cukup ku tulis di sini.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu akan dijawab dengan berbeda-beda, kembali lagi kepada masing-masing pribadi kita. Merdeka memang merupakan hak asasi manusia, sehingga dalam memaknainya pun harus kita lihat dulu dari “personal” sebelum “nasional”. Makna merdeka mungkin akan berbeda antara elit politik dengan kita sebagai warga negara biasa. Bahkan jika suudzon bisa saja mereka mempolitisasi makna kemerdekaan itu sendiri. Makna dari merdeka sejatinya merupakan persoalan pribadi/personal sebelum menjadi persoalan bangsa. Sebuah ungkapan sebagai penutup tulisan ku ini semoga mampu sedikit membuka kesadaran kita bersama, bahwa sesungguhnya “merdeka adalah pertarungan jati diri personal sebelum menjadi perjuangan entitas sebuah bangsa”.
Tulisan dari ku ini boleh usai sampai di sini, namun perjuangan kita tiap-tiap pribadi bangsa Indonesia jangan pernah berakhir demi kemerdekaan Indonesia yang sejati. Karena kemerdekaan sejati hanya dapat tercapai manakala setiap pribadi bangsa ini telah benar-benar merasakan dan menyatakan kemerdekaan itu secara sadar dan ikhlas. Namun kita juga harus berusaha untuk mencapai semua itu, untuk mengisi kemerdekaan yang masih semu ini. Mari kita semua mengisi kemerdekaan yang maasih semu ini dengan karya, kerja, pengabdian, prestasi, kebajikan, dan tindakan produktiv lainnya demi kemajuan bangsa dan negara ini, demi bumi pertiwi, dan demi mencapai kemerdekaan Indonesia yang sejati. Bersama Kita Pasti Bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H