Masih saja saya mendengar di kehidupan saya sehari-hari, ada yang tidak ingin disuntik dengan vaksin AstraZeneca (AZ); maunya hanya Sinovac saja. Katanya sih karena takut dengan risiko bekuan darahnya (blood clotting).
Yah itu memang iya sih.. ada beberapa kali disiarkan kabar begitu. Tapi kan kalau dipikir baik-baik, sudah pernah juga dikabarkan di banyak media - domestik dan mancanegara - kalau vaksin AZ ini sebenarnya kecil sekali angka kejadian bekuan darahnya; belasan kasus dalam satu juta dosis penyuntikan. Berapa persen doang itu? 1% saja tidak.Â
Itupun juga sampai sekarang masih belum bisa dijelaskan sepenuhnya dan masih bisa dikatakan dalam hubungan asosiasi, belum kausasi (sebab). BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan bahkan WHO (World Health Organization) saja masih teguh menyatakan vaksin AZ aman dipakai. Kalau dalam hemat saya sih, harusnya memang aman ya.
Kalau memang vaksin ini tidak baik/aman (menjadi kausasi), angka kejadian kasusnya harusnya banyak banget, tidak hanya puluhan dari jutaan seperti itu; paling tidak, anggaplah setengahnya (50%). Bahkan kalau mau dibandingkan, risiko 'mati'nya kena kopit dibanding risiko 'mati'nya gara-gara efek samping vaksinnya masih lebih gedean kena kopit (kisaran 5-9%). Saya bilang, itu kurang lebih sama pengertiannya seperti faktor kebetulan atau 'apes'; yang menjadi masalah bukan vaksinnya tetapi orang itu sendiri logikanya, yang mungkin karena ada komorbid-komorbid atau faktor tertentu entah apa.Â
Ditambah pula, saya juga semakin yakin keamanan vaksin ini setelah ibu dan adik saya sendiri disuntik vaksin AZ ini dan tidak kenapa-napa. Tidak ada efek-efek heboh, bahkan tidak minum parasetamol atau aspirin atau semacamnya; hanya merasa meriang ringan dan sumeng-sumeng dikit.
Tapi media-media lokal kita tampaknya telanjur membuat orang takut dengan kabarnya yang memberitahu kisah-kisah 'belasan' orang yang mendapat efek samping berat itu, mengabaikan ratusan ribu atau jutaan orang lain yang baik-baik saja. Ini agak kontras dengan pemberitaan yang juga sudah disiarkan di media-media yang sama itu: vaksin AZ sudah mendapat izin penggunaan oleh BPOM dan WHO dan aman digunakan.Â
Kalau beritanya mengabarkan yang ratusan ribu atau jutaan orang itu tadi dan juga logika berpikir saya diatas, mungkin persepsi masyarakat akan lain. Kenyataan bahwa masyarakat kita pada umumnya masih buruk literasinya juga memperberat apatisme vaksin ini; mereka mungkin lebih percaya begitu saja dengan apa yang disiarkan dan tidak mencoba untuk dipikir ulang beritanya.Â
Kabar 'ada yang mati', meskipun hanya segelintir, tampaknya secara psikis dan emosional lebih mengambil hati daripada sekadar pemberitahuan terus-terusan bahwa vaksin aman dipakai. Jangankan mereka yang literasinya rendah, saya saja juga ada teman sesama dokter yang masih ragu untuk memvaksin orangtuanya dengan vaksin AZ meskipun katanya tidak ada komorbid, yang notabene seharusnya lebih pintar dan arif untuk menimbang.
Belum lagi masalah disparitas politik, yang juga tampaknya semakin 'mengompori' polemik vaksin Covid-19 ini. Saya sudah sering membaca banyak berita tentang vaksin-vaksin Covid-19 yang dibuat pabrikan-pabrikan yang berbeda di dunia ini, yang bau-baunya beraroma cenderung politis.Â
Dunia ini, dalam pandangan saya, sepertinya terbelah dalam dua kelompok besar berbeda haluan politik, yang sampai kiamat sepertinya tidak akan pernah bersepakat apalagi bersatu: demokrasi liberal-kapitalis (anutan AS dan Eropa) dan komunis-sosialis (anutan China dan Rusia).Â
Dua kelompok ini tampaknya yang menjadi akar sebab munculnya teori-teori konspirasi yang ada; isinya kurang lebih punya inti sama: mencemarkan image dan membangun persepsi ancaman (threat) terhadap lawan, yang terkadang disertai dengan upaya menempatkan diri lebih unggul atau juga sebagai victim dari lawannya itu. Persepsi-persepsi yang dibentuk dalam pikiran seseorang sangat bisa dipengaruhi oleh anutan mana yang dia pilih atau yakini, apalagi jika diperkuat dengan berita-berita seperti itu secara konsisten.
Jadilah bermunculan asumsi-asumsi 'aneh' dan konspiratif tentang virus dan vaksinnya ini: Covid-19 disebarkan lewat pemancar/penguat sinyal; Covid-19 sengaja disebarkan 'elit global'; vaksin Covid-19 alat untuk menguasai negara orang; vaksin Covid-19 ada chip-nya untuk kontrol populasi; Covid-19 hanya karangan fiksi dan vaksinnya cuman untuk bikin kaya perusahaan obat; (sampai yang paling baru saya dengar:) vaksin Covid-19 membuat orangnya mengeluarkan (shed) protein spike dari tubuhnya (entah bagaimana caranya) dan membahayakan orang yang belum divaksin (unvaccinated).Â
Mirisnya lagi, asumsi-asumsi semacam ini tidak hanya merasuki masyarakat negara kita ini saja, tetapi juga di negara-negara lain. Ini merepotkan dan akhirnya menuntut pemerintahannya memutar otak lagi untuk membujuk warganya supaya mau divaksin. Saya sudah membaca di koran dan menonton di televisi bagaimana sebagian negara bagian di Amerika Serikat dan negara Rusia mencoba 'merayu' penduduknya untuk divaksin dengan iming-iming hadiah: truk, tiket lotere, uang tunai, sampai beasiswa. Di Thailand, warga yang mau divaksin bahkan bisa dapat sapi gratis lewat undian. (Andaikan Indonesia juga ada program seperti itu, saya mau banget divaksin berkali-kali deh... siapa tahu bisa menang banyak hadiah kan?)
Yaah kalau sudah begitu, menurut hemat saya, yang paling mungkin kita lakukan sebagai warga negara yang baik untuk mencoba meyakinkan mereka yang masih antipati terhadap vaksin (AZ) yaitu dengan terus memberi informasi yang benar tentang Covid-19 dan vaksinnya. Teruskan saja seperti itu. Saran untuk mengurangi paparan media tampaknya juga mungkin bisa membantu meluruskan stigma negatif vaksin.Â
Terlalu banyak untuk hal apapun tentu tidak pernah baik, termasuk kebanyakan baca atau dengar berita, apalagi dari sumber yang tidak jelas atau terlalu 'liar' seperti media sosial (medsos). Fokus saja pada satu atau dua kanal berita tepercaya yang ada; abaikan sumber-sumber tidak jelas yang isinya juga tidak jelas dan hanya membuat bingung.
Namun sebagaimana prinsip hak kebebasan individu menentukan hidup sendiri, keputusan terakhir tetap ada di tangan mereka sendiri. Kalau sudah diedukasi tapi masih tidak mau divaksin, ya sudah selesailah perkara, apalagi kalau masih tidak percaya ada Covid-19 (nah loh! Mamp*s deh alamaaak...). Kita tidak bisa memaksa.Â
Barangkali feeling atau kebebalan dia tetap lebih kuat daripada kemampuannya untuk berpikir dan menganalisis apa yang dia dengar dan simak (beritanya). Lagipula mengubah persepsi orang lain itu sulit dilakukan. Layaknya sebatang pohon, semakin besar semakin sulit diluruskan. Hal yang mustahil dan hanya membuang energi. Dilarang keras (ada paksaan hukum) mudik saja bahkan mungkin tidak digubrisnya (masih mudik awal bulan Mei lalu), apalagi hanya imbauan (tidak ada paksaan hukum) kan?
Ya sudahlah kalau begitu... Jaga diri masing-masing saja. Entah sampai kapan pandemi ini meraturajalela...
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H