Jadilah bermunculan asumsi-asumsi 'aneh' dan konspiratif tentang virus dan vaksinnya ini: Covid-19 disebarkan lewat pemancar/penguat sinyal; Covid-19 sengaja disebarkan 'elit global'; vaksin Covid-19 alat untuk menguasai negara orang; vaksin Covid-19 ada chip-nya untuk kontrol populasi; Covid-19 hanya karangan fiksi dan vaksinnya cuman untuk bikin kaya perusahaan obat; (sampai yang paling baru saya dengar:) vaksin Covid-19 membuat orangnya mengeluarkan (shed) protein spike dari tubuhnya (entah bagaimana caranya) dan membahayakan orang yang belum divaksin (unvaccinated).Â
Mirisnya lagi, asumsi-asumsi semacam ini tidak hanya merasuki masyarakat negara kita ini saja, tetapi juga di negara-negara lain. Ini merepotkan dan akhirnya menuntut pemerintahannya memutar otak lagi untuk membujuk warganya supaya mau divaksin. Saya sudah membaca di koran dan menonton di televisi bagaimana sebagian negara bagian di Amerika Serikat dan negara Rusia mencoba 'merayu' penduduknya untuk divaksin dengan iming-iming hadiah: truk, tiket lotere, uang tunai, sampai beasiswa. Di Thailand, warga yang mau divaksin bahkan bisa dapat sapi gratis lewat undian. (Andaikan Indonesia juga ada program seperti itu, saya mau banget divaksin berkali-kali deh... siapa tahu bisa menang banyak hadiah kan?)
Yaah kalau sudah begitu, menurut hemat saya, yang paling mungkin kita lakukan sebagai warga negara yang baik untuk mencoba meyakinkan mereka yang masih antipati terhadap vaksin (AZ) yaitu dengan terus memberi informasi yang benar tentang Covid-19 dan vaksinnya. Teruskan saja seperti itu. Saran untuk mengurangi paparan media tampaknya juga mungkin bisa membantu meluruskan stigma negatif vaksin.Â
Terlalu banyak untuk hal apapun tentu tidak pernah baik, termasuk kebanyakan baca atau dengar berita, apalagi dari sumber yang tidak jelas atau terlalu 'liar' seperti media sosial (medsos). Fokus saja pada satu atau dua kanal berita tepercaya yang ada; abaikan sumber-sumber tidak jelas yang isinya juga tidak jelas dan hanya membuat bingung.
Namun sebagaimana prinsip hak kebebasan individu menentukan hidup sendiri, keputusan terakhir tetap ada di tangan mereka sendiri. Kalau sudah diedukasi tapi masih tidak mau divaksin, ya sudah selesailah perkara, apalagi kalau masih tidak percaya ada Covid-19 (nah loh! Mamp*s deh alamaaak...). Kita tidak bisa memaksa.Â
Barangkali feeling atau kebebalan dia tetap lebih kuat daripada kemampuannya untuk berpikir dan menganalisis apa yang dia dengar dan simak (beritanya). Lagipula mengubah persepsi orang lain itu sulit dilakukan. Layaknya sebatang pohon, semakin besar semakin sulit diluruskan. Hal yang mustahil dan hanya membuang energi. Dilarang keras (ada paksaan hukum) mudik saja bahkan mungkin tidak digubrisnya (masih mudik awal bulan Mei lalu), apalagi hanya imbauan (tidak ada paksaan hukum) kan?
Ya sudahlah kalau begitu... Jaga diri masing-masing saja. Entah sampai kapan pandemi ini meraturajalela...
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H