Mohon tunggu...
Cipta Mahendra
Cipta Mahendra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi segalanya itu tiada tanpa kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Meluruskan Stereotipe (Miring) Agama Buddha

28 Mei 2021   01:38 Diperbarui: 28 Mei 2021   17:07 9182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Buddha Gautama. Sumber: dharma.wikia.com

Hari Waisak Agama Buddha memang sudah lewat, tetapi pembahasannya tentu tidak pernah terbatas waktu. Pada kesempatan ini, saya ingin sekali membahas (dan mencoba meluruskan) tentang anggapan-anggapan seputar agama Buddha yang sering saya dengar di kehidupan sehari-hari. Hari Waisak kemarin mengingatkan saya mengenai fenomena ini sehingga akhirnya terlintas di benak saya untuk menjadikannya bahan tulisan kali ini. Mayoritas anggapan ini berasal dari mereka yang Nonbuddhis, meskipun ternyata masih ada juga mereka yang mengaku Buddhis namun belum sepenuhnya paham bagaimana memahami dan menanggapi stereotipe-stereotipe agamanya yang dilontarkan oleh Nonbuddhis tersebut.

Kebetulan juga saya memang beragama Buddha sehingga saya merasa memiliki 'kepercayaan diri' untuk membuat tulisan ini. Sejatinya, saya bukanlah orang yang suka menulis hal-hal yang berbau agama, apalagi jika membagikannya untuk mereka yang berbeda keyakinan. Saya selalu berpikir bahwa menyinggung agama merupakan garis merah yang terlarang untuk dilangkahi karena seringnya masalah ini menjadi awal mula munculnya konflik-konflik; apalagi tayangan-tayangan di banyak media semakin membuktikan pikiran saya itu. Tetapi kali ini, kebetulan sedang dalam masa Waisak sehingga saya merasa ada 'momen' tepat untuk menyampaikan apa yang menjadi buah pikir saya tentang hal itu. Saya yakin pembaca kompasiana adalah pembaca terdidik dan yang terbuka pikirannya sehingga (seharusnya) memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Saya tidak berharap tulisan saya ini mendapat label "pilihan" apalagi "artikel utama" hanya demi popularitas semata, tetapi jika pelabelan itu bisa membuat tulisan ini dibaca banyak orang dan berhasil memberi pengertian yang benar, maka saya akan sangat berterima kasih.

Berikut ini sejumlah stereotipe/anggapan yang sering disematkan untuk agama Buddha berdasarkan apa yang sering saya dengar:

1. Agama Buddha tidak mengenal Tuhan.

Ini adalah stereotipe yang utama dan yang paling sering saya dengar. Saya tidak tahu persisnya bagaimana asal mula anggapan ini bisa sampai tersematkan untuk agama Buddha. Saya sendiri bukan seorang sejarawan sehingga saya bisa saja salah, tetapi dalam pemahaman saya anggapan ini tampaknya muncul karena melihat atau mendengar bahwa seorang Buddhis lebih menekankan untuk mengandalkan kekuatan sendiri dalam berusaha untuk segala sesuatu dan tidak mengandalkan kekuatan luar/lain (yang dalam agama lain umumnya disebut "Tuhan"). Hal ini memang benar (bahwa seorang Buddhis tidak berdoa untuk memohon pada "Tuhan"), tetapi mengapa Buddhisme memiliki konsep seperti itu?

Agar dapat lebih memahaminya, saya harus membahas sekilas bagaimana sistem kepercayaan dalam agama Buddha itu. Agama Buddha percaya bahwa alam kehidupan terdiri atas 31 alam atau tingkatan kehidupan (dalam Buddhisme ke-31 alam ini disebut sebagai samsara). Hal ini berbeda dari agama-agama lain, yang umumnya 'hanya' mengenal tiga alam (surga, neraka, dan bumi/manusia ini sendiri). 31 alam tersebut tersusun secara hierarkis, mulai dari tingkat terendah (neraka, level 1) sampai yang tertinggi ('surga'). Alam manusia sendiri dalam sistem tingkatan ini berada di tingkat/level 4; level 3 yaitu alam para binatang, sedangkan level 2 yaitu alam hantu dan 'iblis'. Tingkat 5 sampai 31 merupakan semua alam lain yang tingkatnya lebih tinggi dari alam manusia. Semua tingkatan ini memiliki sebutan/nama masing-masing dalam bahasa Sanskritnya, tetapi mudahnya bisa kita sederhanakan saja semua tingkatan ini sebagai alam 'surga'. Semakin tinggi tingkatnya, makhluk-makhluk yang menghuninya semakin 'mulia' dan memiliki kekuatan supranatural yang lebih kuat serta beragam. Di dalam tripitaka sendiri, ada penjelasan karakteristik-karakteristik supranatural makhluk-makhluk yang menghuni untuk setiap alam tersebut. Alam-alam inilah yang dalam keyakinan Buddhis bisa disebut sebagai alamnya "Tuhan", alam yang makhluk-makhluknya memiliki kekuatan tertentu (sesuai tingkatnya) untuk melakukan berbagai hal adibiasa; salah satunya yaitu 'mengabulkan' permohonan manusia yang berdoa. (Nanti akan saya bahas kembali maksud 'mengabulkan' disini)

Yang juga berbeda dalam Buddhisme, semua makhluk, apapun tingkatannya, tidaklah sempurna. Mengapa? Tujuan terakhir dalam agama Buddha yaitu untuk mengakhiri segala bentuk penderitaan dengan cara menembusi keadaan yang disebut sebagai Nirwana/Nirvana (Sanskrit: Nibbana). Ini bukanlah alam, tetapi adalah keadaan yang tidak dapat dijelaskan dengan bahasa manusia karena di luar nalar dan pemahaman kita sebagai makhluk tingkat 4 biasa dengan kemampuan pikiran terbatas, namun pada intinya Nirwana ini bisa dikatakan yaitu sebuah keadaan padamnya segala nafsu dan ketidaktahuan, yang menjadi akar sebab manusia (dan semua makhluk di semua tingkatan alam lain) terus terlahir ulang di alam yang bersesuaian dengan kondisi batinnya saat telah meninggal. Semakin sedikit sisa nafsu dan ketidaktahuan yang belum diatasi, semakin tinggi tingkat/level alam tempat dia akan ditumimbal-lahirkan kembali. Secara umum, semua makhluk dalam lingkaran samsara bisa berputar kemana saja, sesuai amal perbuatan dan tingkah lakunya semasa menjalani kehidupannya di alam sebelumnya. Manusia yang berbuat baik bisa terlahir kembali di alam 'surga' saat sudah meninggal nanti. "Tuhan" yang lengah dan terlena di alam 'surga' saat telah meninggal nanti bisa saja jatuh kembali di alam manusia atau bahkan alam yang lebih rendah.

(Ada sejumlah pengecualian: beberapa kondisi dan alam tertentu yang jika sudah dicapai akan menjadi checkpoint dan tidak akan kembali lagi ke alam yang di bawahnya. Saya tidak akan membahas detil untuk konsep-konsep teologi Buddhisme semacam ini karena akan menjadi terlalu panjang dan keluar dari tujuan penulisan tulisan ini. Saya menyarankan pembaca untuk mencari dan membaca sumber-sumber atau tulisan lain untuk mendapat pemahaman atau pengetahuan lebih lanjut)

Hal ini yang berbeda dari konsep "Tuhan" dalam agama lain, yang biasanya dianggap sebagai makhluk tertinggi yang mahaesa dan mahakuasa. "Tuhan-tuhan" dalam Buddhisme dilihat sebagai sosok yang lebih tinggi dalam hal kemuliaan dan kekuatannya, namun tetap bukanlah yang 100% sempurna. Mereka juga masih bisa diliputi sejumlah noda batin lain yang juga bisa dialami manusia di alam kita ini, meskipun dengan intensitas atau kekentalan yang lebih ringan atau juga berbeda jenis nodanya.

Ada satu konsep lain yang juga menjadi dasar/fundamental Buddhisme: karma. Anda mungkin sudah pernah (atau bahkan sering) mendengar sebutan itu. Karma menurut pengertian paling sederhana yaitu sama dengan niat. Adanya niat, apapun itu, menjadikan kita membuat adanya karma. Niat buruk berarti menciptakan karma buruk sedangkan niat baik berarti menciptakan karma baik. Karma-karma ini akan kelak menghasilkan buahnya yang bersesuaian; karma buruk akan menghasilkan buah/akibat yang buruk, sementara karma baik akan menghasilkan buah/akibat yang baik pula. Sabda Buddha dalam tripitaka jelas menyatakan bahwa setiap makhluk mewarisi karma mereka sendiri, bukan karma orang atau makhluk lain. Diri sendiri yang berbuat, maka diri sendiri pulalah yang harus menanggungnya. Ini sebenarnya menjadi konsekuensi sangat logis bagi saya sebagai umatnya. Orang lain yang berbuat, masak saya yang menanggung? Orang lain yang mencuri buah mangga dari pohon orang lain, kok saya yang digebukin? Orang lain yang maling ayam, masak saya yang dipenjara?

Konsep karma ini menandakan bahwa apapun yang kita alami sekarang ini merupakan hasil dari apa yang sudah kita lakukan pada masa lalu. Buah dari karma kita ini tidak selalu harus muncul dengan segera, tergantung waktu dan tempat yang tepat untuk memunculkan kesempatan karma kita itu berbuah. Buahnya bisa muncul beberapa hari lagi, beberapa minggu lagi, beberapa tahun lagi, bahkan bisa juga di kehidupan mendatang atau beberapa kehidupan mendatang. Keadaan yang kita alami sekarang ini bisa menjadi buah dari karma yang kita lakukan beberapa waktu lalu atau juga kehidupan sebelumnya atau bahkan juga beberapa kehidupan yang lalu. Intinya, jika kita ingin mengharapkan kehidupan yang baik dan membahagiakan, kita harus menanam karma/niat serupa untuk sekarang ini agar kedepannya buah karma yang juga baik dan membahagiakan kembali pada diri kita sendiri.

Inilah sebabnya umat Buddha lebih mengandalkan kekuatan diri sendiri untuk menciptakan kehidupan masa depan yang baik dan bahagia, yaitu dengan mengusahakan karma-karma yang baik dan terpuji. Apakah umat Buddha bisa berdoa pada "Tuhan"? Tentu bisa, tetapi dengan tujuan berbeda dari agama lain umumnya. Dalam tripitaka, disebutkan bahwa makhluk-makhluk di alam yang lebih tinggi ("Tuhan") bisa berperan 'mengabulkan' permohonan atau permintaan umatnya dengan cara mempercepat matangnya karma sang pendoa. Apa maksudnya? "Tuhan" juga bisa menjadikan permohonan orang yang berdoa menjadi kenyataan, namun harus sesuai atau layak menurut karma sang pendoa sendiri. Jika sang pendoa hanya berdoa namun tidak pernah berusaha dan beramal baik, tidak ada karma baik yang diciptakan dan si "Tuhan"pun juga tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada 'modal' (baca: karma) yang bisa menjadi sumber pematangan buah karmanya. Ibarat mengarbit buah mangga di pohon mangga, buahnya sendiri adalah karma sedangkan bungkus plastik (karbit) adalah bantuan dari "Tuhan" tersebut. Bagaimana karbit ("Tuhan") bisa membungkus dan membantu mempercepat matangnya mangga kalau buah mangganya sendiri dari awal tidak ada? Apanya yang mau dikarbitin? Jadi, bagi umat Buddha, berdoa tujuannya yaitu untuk memohon mempercepat pematangan karma yang sudah ditanamnya agar bisa berbuah lebih cepat dan bisa dinikmati lebih awal.

Itulah sebabnya seorang umat Buddha diajarkan untuk lebih berorientasi pada perbuatan-perbuatan baik yang harus dilakukan dan menghindari perbuatan-perbuatan jahat karena semua itu akan kembali ke diri mereka sendiri sebagai buah akibatnya, alih-alih 'hanya' berserah pada "Tuhan" dan berdoa meminta ini dan itu. Umat Buddha tahu bahwa semua hasil yang baik harus berasal dari diri sendiri, bukan dengan duduk santai dan menunggu 'turun hujan duit' dari langit.

Pada intinya, umat Buddha bukannya tidak mengenal Tuhan, tetapi memiliki konsep pengertian tentang Tuhan yang berbeda dari agama lain pada umumnya. Umat Buddha juga bisa saja berdoa, bukan untuk meminta macam-macam, ini dan itu dengan bebas, tetapi untuk membantu mempercepat matangnya hasil dari karma yang sedari awal sudah harus ditanam dan tersedia lebih dulu.

2. Ajaran bervegetarian berasal dari agama Buddha.

Stereotipe ini sejujurnya sudah mulai tidak dikaitkan lagi dengan 'kebuddha-buddhaan' untuk zaman sekarang ini, namun memang masih ada kecenderungan orang-orang tertentu yang menilai bahwa orang yang bervegetarian biasanya beragama Buddha.

Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, semua binatang termasuk sebagai salah satu dari 31 alam kehidupan dalam kosmologi Buddhis. Dengan demikian, binatang juga sama seperti manusia yaitu merupakan makhluk hidup yang juga berada dalam samsara, namun berbeda dalam hal kebahagiaannya. Alam binatang/hewan sebagai alam yang lebih rendah dari manusia termasuk sebagai salah satu dari empat alam derita (hewan, hantu, jin/iblis, neraka). Bisa kita lihat sendiri lagipula, bagaimana hidup hewan-hewan diliputi ketakutan setiap harinya. Takut dimangsa predator, takut ditangkap dan dimasak manusia menjadi makanan. Kita sebagai manusia (untuk saat ini) juga bisa saja terlahir menjadi hewan nantinya jika amal ibadah kita cukup buruk untuk bisa membuahkan hasil karma demikian. Umat Buddha diajarkan untuk merenungkan hal ini dan mengembangkan welas asih kepada semua makhluk, tidak hanya sesama manusia tetapi juga para binatang dan juga bahkan makhluk-makhluk lain yang tidak kasat mata. Itulah sebabnya mungkin Anda juga pernah (atau sering) mendengar salam umat Buddha: semoga semua makhluk berbahagia. Inilah yang dimaksud dengan 'semua makhluk' itu. Salah satu cara untuk menunjukkan welas asih kepada hewan yaitu dengan tidak memakan daging dan memilih sayur-sayuran untuk makanannya. Dengan menghindari konsumsi daging, artinya hewan-hewan dapat merasa aman dan tidak lagi takut diburu untuk dibunuh dan dimasak demi menjadi makanan manusia.

Selain dari sisi keagamaan, bervegetarian juga sejatinya juga menguntungkan dari sisi kesehatan. Anda tentunya sudah banyak membaca dan seharusnya tahu segudang manfaat konsumsi sayur dan buah: melancarkan buang air, menurunkan kolesterol, mencegah kanker, dan sebagainya. Bagi kaum Buddhis, vegetarian bisa dilihat memiliki manfaat ganda: sarana pengembangan cinta kasih (welas asih) dan menjaga kesehatan tubuh. Sementara bagi para Nonbuddhis sendiri, bervegetarian bisa dilihat sebagai gaya hidup untuk memelihara kesehatan sebagai investasi tubuh untuk menjalani hidup bebas penyakit pada masa tua nanti.

3. Umat Buddha sering menyembah gambar/patung/berhala dan 'bakar-bakar' atau menaruh sesajen.

Celetukan ini juga sering saya dengar diucapkan sebagian orang. Kegiatan ini sebetulnya lebih merupakan tradisi dan memiliki latar belakang yang sudah saya tuliskan pada penjelasan stereotipe nomor 2 diatas. Selain kepada hewan (yang kasat mata), umat Buddha juga selayaknya menunjukkan welas asihnya kepada makhluk-makhluk lain yang tidak kasat mata yaitu para hantu dan jin/iblis, termasuk yang berada di alam lebih tinggi (alam "Tuhan") sekalipun. Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, makhluk-makhluk dapat terlahirkan di alam mana saja, bergantung pada amal perbuatannya semasa kehidupan sebelumnya. Ini berarti orang tua dan sanak saudara kita yang sudah meninggal juga bisa terlahir kembali menjadi manusia lain ataupun juga di alam lain, entah alam 'surga' atau alam derita. Dalam ajaran tripitaka, pemberian-pemberian (barang/materi maupun nonmateri) untuk mereka yang terlahir menjadi makhluk tak kasat mata merupakan tindakan yang memberikan manfaat untuk kedua belah pihak. Kita mendapat manfaat berupa pengembangan cinta kasih kepada makhluk lain (termasuk yang dulunya menjadi bagian dari sanak keluarga kita, jika terlahir kembali menjadi salah satu dari makhluk-makhluk tak kasat mata) dan menambah amal/karma baik kita, sedangkan mereka juga bisa mendapat kebahagiaan karena melihat tindakan pemberian kita sebagai bentuk perhatian kita terhadap mereka. Pemberian-pemberian ini bisa dalam bentuk bermacam-macam; umumnya dalam bentuk barang, makanan, dan uang. Pemberian tenaga pun juga bisa dilakukan, misalnya membantu mengatur dan menyiapkan ritual/tradisi pemberian-pemberian itu. Kepada siapa pemberian itu diberikan? Kepada mereka yang masih hidup tentu saja, mereka yang masih bisa menerima pemberian kita secara fisik/badaniah. Agar juga memberi manfaat untuk makhluk tak kasat mata yang menjadi sasaran amal perbuatan kita itu, pemberian ini biasanya dilakukan dengan mengingat nama mereka (sanak keluarga kita) yang sudah meninggal itu; misalnya saat memberikannya, bisa dilakukan sambil mengucap (dalam hati): semoga pemberian ini bisa memberi kebahagiaan baik untuk yang menerimanya dan juga untuk _____ (nama sanak keluarga kita tersebut). Secara tidak langsung, ini menciptakan kondisi kesenangan untuk mereka (yang sudah meninggal tersebut) berupa pikiran bahagia karena melihat pemberian itu dan menjadi tabungan karma baik sehingga kelak bisa berbuah untuk menghasilkan kelahiran kembali di alam berikutnya yang lebih baik/tinggi.

Namun sebagian umat (yang mengaku) Buddhis ada yang menerapkan konsep pemberian ini dengan cara lain. Umat-umat ini memberikan sesuatu yang serupa dengan yang sudah disebutkan tadi, tetapi langsung untuk sanak keluarganya yang sudah meninggal itu. Mereka tentu sudah tiada dan tidak lagi eksis secara fisik sehingga pemberiannya dilakukan dengan sedikit adaptasi: memberi sesajen makanan, benda-benda tiruan/replika (mobil kertas, uang kertas/mainan, dsb), dan hingga kertas-kertas seperti jimat yang bertuliskan kalimat-kalimat doa. Biasanya pada awalnya sesajen makanan diberikan, kemudian menunggu selama beberapa saat untuk membiarkan mereka 'menghabiskan' makanannya (tentu makanannya tidak akan habis lenyap begitu saja, seram sekali kalau sampai makhluk tak kasat mata bisa makan beneran...). Setelah itu, semua sesajen itu akhirnya diletakkan dalam sebuah tong untuk kemudian dibakar, bersama dengan benda-benda replika dan kertas-kertas jimat itu tadi. Ini memiliki makna yaitu agar makanan dan semua benda serta doa/harapan pada kertas itu bisa tersampaikan untuk mereka yang tak kasat mata tersebut. Tradisi ini yang disebut sebagai tradisi Ceng Beng (dalam kebudayaan Tionghoa). Sekali lagi, cara/metode ini hanyalah tradisi hasil adaptasi budaya masyarakat atau umat setempat dan bukan ajaran/cara asli Sang Buddha. Walakin, inti maksud yang ditujukan sama, yaitu untuk menunjukkan welas asih dan perhatian kepada mereka yang sudah meninggal (dan mungkin terlahir menjadi makhluk tak kasat mata).

Ilustrasi altar penyembahan untuk tradisi Ceng Beng. Sumber: buddhazine.com
Ilustrasi altar penyembahan untuk tradisi Ceng Beng. Sumber: buddhazine.com
Berkaitan dengan penyembahan patung atau berhala, ini juga secara konsep mirip dengan yang baru saja sudah dijelaskan. Patung itu sendiri sebenarnya hanyalah benda mati yang tidak bisa apa-apa selain cuman berdiri kokoh di tempatnya. Patung itu sendiri dimaksudkan sebagai simbol dari kemuliaan dan kesempurnaan atau kebaikan sosok yang 'dipatungkan' tersebut. Patung Buddha dimaksudkan sebagai benda/media pengingat bagi umat Buddha saat beribadah untuk dapat terus mengingat sosok Buddha dan merenungkan serta meniru kemuliaan dan kesempurnaan-Nya dalam bertingkah laku dan berbuat, bukan untuk mendewa-dewakan patung itu sendiri, yang hanya barang mati. Namun meskipun begitu, bukan berarti patung Buddha bisa ditaruh seenaknya di sembarang tempat (toilet, bar/diskotik, lantai/tanah, dsb). Hal itu semata untuk menghargai sosok Buddha yang bisa menjadi imaji yang kuat di benak umat dan orang lain yang melihat patung itu. Apakah foto ayah atau ibu Anda bisa Anda taruh sembarangan begitu saja, meskipun itu secara fisik hanya selembar kertas foto? Tentu tidak kan? Sama halnya seperti patung Buddha itu. Bukan menyembah patungnya, tetapi sosok (Buddha) yang diwakilkan oleh patung itu sendiri.

Sebagian umat Buddha lain juga ada yang menaruh patung-patung lain di altar penyembahannya selain patung Buddha; biasanya berupa patung dewa-dewi yang berkaitan dengan kebudayaan Tionghoa karena adanya faktor historis kesamaan tempat berkembangnya ajaran-ajaran lokal setempat (Taoisme, Konfusianisme) di negeri Cina/Tiongkok. Sebut saja patung dewa Kuan Kong, dewi Kuan Im, dewa Tai Shang Lao Jun, dsb. Mereka ini sendiri bukan tokoh apapun dalam Buddhisme, tetapi sering disembah karena alasan yang sama dengan terhadap patung Buddha. Dengan ritual penyembahan patung itu, diharapkan para umatnya bisa merenungkan dan meneladani semua sifat baik yang dilakukan sosok yang diwakili patung tersebut. Umat Buddha yang baik tidak fanatik dengan agamanya sendiri dan bisa berdampingan dengan patung-patung dan juga ajaran-ajaran dari kepercayaan lain, selama intisari yang terkandung di dalamnya punya niat baik dan tidak ada maksud jahat atau menjelek-jelekkan umat atau ajaran lain.

Penutup

Inilah beberapa stereotipe dari berbagai orang yang masih sering saya dengar di telinga tentang agama Buddha. Semoga tulisan saya ini bisa memberi pengertian untuk pembaca sekalian yang masih belum tahu latar belakang di balik anggapan-anggapan itu dan makna sebenarnya yang dimaksudkan dari anggapan yang berasal dari apa yang dilihat orang kebanyakan dari luarnya saja. Semoga tulisan - yang cukup panjang - ini bisa bermanfaat bagi para pembaca kompasiana di sini. Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun