Kesehatan. Sebuah harta terpenting yang berlaku untuk semua manusia di muka planet ini. Tidak peduli siapapun dia, darimana dia, kapanpun dia hidup, kesehatan selalu jadi syarat terpenting untuk mencari kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia. Tentu para pembaca budiman sudah pernah tahu rasanya hidup tanpa kesehatan, yang pernah sakit. Baru kena flu - sakit yang ringan - saja sudah sukses membuat mood berantakan dan kerja tidak enak, apalagi kalau kena sakit yang lebih berat... ada yang bisa membuat penderitanya terpaksa pensiun dini, juga bahkan ada yang akhirnya berujung naik ke alam surga di atas sana.
Demikian berharganya kesehatan itu, sampai banyak sekali orang yang berusaha menjaga agar tubuhnya tetap sehat dan - kalau bisa - jangan sampai pernah sakit (parah). Yang sedang sakit mencoba gigih mencari kesembuhan dengan berbagai ramuan dan obat. Yang sehat walafiat mencari suplemen-suplemen dan makanan mujarab yang (katanya) bisa membantu tubuh terus bugar dan fit. Repot kalau sampai sakit... kerja cuti, waktu habis, uang pun begitu. Perilaku inilah yang akhirnya menciptakan suatu kesempatan bagi mereka yang melihatnya untuk menjadi ladang bisnis, berjualan ramuan, obat, suplemen, makanan 'sakti', atau apapun itu namanya. Permintaan (demand) yang selalu ada mengabadikan kesempatan itu.
Saya memperhatikan, sejak Covid-19 menjadi pandemi, kian banyak yang 'menekuni' peluang jualan obat dan makanan semacam ini. Sebelum pandemi, sebetulnya sudah ada orang-orang yang berbisnis barang-barang tersebut; namun jumlahnya tampaknya bertumbuh pesat saat mulai pandemi. Hal ini secara implisit bahkan bisa terlihat dari adanya berita-berita di media massa, yang pada awal pandemi cukup getol mengabarkan khasiat-khasiat sejumlah ramuan yang disinyalir dapat mengobati atau bahkan dapat mencegah Covid-19 - biasanya berupa bahan herbal. Jahe misalnya, yang sering disebut-sebut bisa menangkal virus tersebut. Bahkan pernah juga ada berita tentang kalung dengan daun eucalyptus - bahan dasar untuk membuat minyak kayu putih - yang sempat digadang-gadang sebagai antivirus Covid-19.
Tidak ada yang salah sebetulnya dengan bisnis demikian. Yang membuatnya menjadi salah adalah jika barang yang dijualnya ternyata tidak terbukti bisa diandalkan sesuai dengan apa yang diklaimkan. Saya memperhatikan, cukup banyak yang seperti itu. Lebih miris lagi, harga yang ditawarkan biasanya sangat tinggi karena embel-embel 'untuk kesehatan'. Kesehatan itu mahal, begitu ungkapan umumnya. Bagi yang 'termakan' rayuan penjualnya, si pembeli - korban - 'berhasil' rugi ganda: obat/makanannya biasa saja, uangnya habis banyak untuk sesuatu yang bahkan sebetulnya 'murah'. Modus penjualannya cukup beragam, mulai dari berjualan person-to-person seperti biasa hingga dalam skema multilevel marketing (MLM).
Saya sebagai dokter setuju sekali bahwa kesehatan memang selalu nomor satu, tetapi ingin berkata juga bahwa menjaganya itu haruslah dengan bijak. Jangan membabi buta dan langsung percaya begitu saja info kesehatan yang diterima. Kita harus kritis dan waspada dengan berita atau isu atau kabar palsu. Disini saya tuliskan beberapa tips untuk Anda, para pembaca budiman supaya tidak mudah dikibulin untuk kesehatan:
1. Selalu crosscheck dan periksa keaslian/keabsahan kabar/info yang didapat melalui situs/sumber yang resmi atau tepercaya.
Sering sekali - bahkan tidak terhitung rasanya - kita dibanjiri broadcast/forward berita dari media-media sosial; apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini, isu-isu Covid-19 deras beredar liar. Saya sendiri juga sering mendapat kabar-kabar seperti itu, terutama dari media Whatsapp. Contoh untuk Covid-19, ada saja isu-isu 'ngawur' yang beredar. Pernah saya membaca, Covid-19 bisa disembuhkan dengan minum/makan ramuan tertentu (saya lupa apa). Ada juga yang belakangan ini muncul di Whatsapp saya: Covid-19 itu bukan virus tapi bakteri yang berubah jadi ganas karena terpajan sinar ultraviolet, yang tampaknya lebih berbau politik konspirasi saat saya membacanya.
Media sosial seperti Whatsapp, Facebook, Line, Blogspot/Wordpress, dan semacamnya itu, sesuai namanya, bersifat sosial. Siapapun bisa menulis dan meneruskan ke orang-orang atau temannya yang lain, termasuk yang bisa saja mempunyai niat tidak baik untuk menghasut/menggiring opini orang yang membacanya demi kepentingan tertentu. Isi infonya bisa dikemas sedemikian agar meyakinkan. Tidak ada pula yang memeriksa isinya (peer-reviewed) sebelum disebarluaskan. Untuk kabar penting dan serius seperti kesehatan, selalu pastikan kebenarannya melalui situs/sumber yang lebih sahih, jangan di media sosial. Kalaupun dalam broadcast-nya memuat tautan ke situs tertentu - mungkin supaya terlihat kredibel (?) - perhatikan dulu juga tautannya. Kalau link-nya tampak janggal, sebaiknya jangan diklik. Itu mungkin bisa saja jebakan untuk membuka situs-situs yang bersifat penipuan. Jika tautannya terlihat aneh (tidak lazim, belum pernah tahu sebelumnya, dll), sebaiknya juga jangan diandalkan isi beritanya. Lebih baik buka saja situs/sumber yang sudah dikenal lama masyarakat luas dan tersaring secara redaksional, semisal koran (elektronik), televisi, dan radio. Lebih bagus lagi bila di-crosscheck dengan sumber yang bahkan lebih ilmiah lagi semisal jurnal dan laporan kasus kesehatan/ilmiah.
2. Bacalah/Carilah informasi mendasar seputar kesehatan yang penting untuk diketahui awam.
Meskipun Anda yang membaca tulisan ini bukan dokter atau tenaga kesehatan lain, ilmu kesehatan yang bersifat dasar haruslah tetap diketahui agar kita tidak mudah diperdaya orang-orang yang berniat mencari untung dengan memanfaatkan ketidaktahuan. Menurut saya, salah satu ilmu kesehatan yang sangat dasar untuk diketahui semua orang adalah ilmu tubuh yang sudah pernah kita dapatkan ketika mengenyam pendidikan di sekolah dasar dan menengah, terutama anatomi tubuh utama dan fungsi-fungsi pentingnya.
Untuk lebih jelasnya, saya berikan sebuah ilustrasi untuk contoh kasusnya. Sebagian Anda disini mungkin sudah pernah - atau bahkan sering - mendengar 'jualan' produk-produk sel punca (stem cell) yang dikemas dalam bentuk kapsul atau pil atau tablet, dalam bentuk yang dimakan. Banyak 'manfaat' yang digadang-gadang oleh penjualnya. Sebutlah, misalnya, menaikkan imun (immune booster), meremajakan kulit untuk awet muda, menurunkan lemak, sampai juga bisa menyembuhkan penyakit ini dan itu segala macam, apa saja yang bisa membuat calon pembeli yang mendengarnya terbujuk dan tertarik untuk membelinya. Sekarang coba kita pikirkan sejenak logikanya. Apa yang terjadi saat sesuatu kita masukkan ke mulut dan ditelan? Pasti menuju ke lambung dulu. Apa isi lambung itu? Asam klorida (HCl). Asam ini adalah asam kuat, yang keasamannya jika dicobakan dalam percobaan kimia sekolahan, bisa melarutkan sebatang besi. Anda bayangkan saja. Besi saja bisa hancur. Apalagi makanan, lebih lagi sel punca, yang merupakan sel, sangat kecil dan rapuh sekali. Sel punca tentu tidak akan memberi efek apapun jika rusak/hancur. Yang tidak hancurpun belum tentu memberi efek positif; bahkan sampai sekarang pemanfaatan sel punca toh masih terus dalam penelitian, belum menjadi terapi standar.
Contoh lain, belakangan ini juga saya mendengar ada sebuah berita mengenai 'terapi' menggunakan DNA (kode genetik penyusun tubuh yang ada dalam inti sebuah sel) dari hewan, yang digadang-gadang untuk meremajakan penampilan agar tetap terlihat muda. Kalau kita ingat kembali pelajaran biologi semasa sekolah dulu, DNA itu sendiri adalah sebuah untaian sangat panjang kode genetik yang menjadi cetak biru untuk membangun tubuh makhluk hidup. Untaian ini terbentuk dari molekul fosfat gula dan 4 jenis basa/asam nukleat yang menyusunnya: adenin (A), timin (T), sitosin (cytosine/C), dan guanin (G). Semua makhluk hidup - baik itu hewan, tumbuhan, dan manusia sekalipun - DNAnya tersusun dari molekul dan keempat jenis basa itu. Hewan 'biasa' seperti anjing, kucing, dan kuda punya komponen DNA yang sama dengan hewan 'eksotik' seperti - taruhlah - salmon, platipus, ikan sapu-sapu, dan sebagainya. DNA tidaklah sama dengan sel; DNA hanyalah untaian kode genetik yang menyusun dan berada di inti sel, sementara sebuah sel tersusun atas bagian perifer (tepi/luar/pinggir) dan inti (pusat/dalam). Jadi, sel tidak hanya berisi DNA tetapi juga organel-organel (bagian) lain yang berguna untuk mempertahankan kehidupan sel itu. Kalau hanya menggunakan DNA untuk terapi, rasanya tidak akan memberi dampak apapun karena semua makhluk pada dasarnya sudah punya DNA. Lebih masuk akal jika yang memberi efek adalah zat/substansi kimia lain yang disertakan juga dalam ramuan 'terapi' DNA itu. Zat-zat itupun juga bisa jadi sejatinya zat 'biasa' yang mirip dengan yang sudah ada secara normal dalam tubuh manusia; mungkin hanya untuk menambahkan, mengembalikan, atau memperkuat struktur tubuh yang sudah ada. Justru yang saya khawatirkan, hal sebaliknya bisa terjadi yaitu efek negatif yang ditimbulkan. Terapi biologis itu bukan perkara mudah karena selain kompleks, tiap tubuh manusia itu unik dan tidak ada yang sama satu dengan lainnya. Potensi efek samping selalu ada untuk terapi apapun; bahkan untuk terapi/modalitas yang sudah dipakai rutin (minum obat, radio- dan kemoterapi, 'tanam benang') pun selalu ada kemungkinan itu. Oleh karena itulah, sampai sekarang terapi semacam ini yang disetujui badan keamanan Amerika (FDA) untuk menjadi terapi standar medis baru terapi sel (bukan DNA) saja; itupun juga terbatas hanya untuk kasus-kasus terkait keganasan sistem darah (hematologi). Jadi untuk saya, 'terapi' semacam DNA ini lebih bersifat gorengan ('eksotisme') ketimbang alasan ilmiah.
3. Telaah informasi terkait produk/barang yang ditawarkan melalui sumber-sumber ilmiah.
Teliti sebelum membeli. Semboyan ini tampaknya memang selalu relevan untuk setiap orang sebelum membeli apapun, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan. Selain yang sudah saya sebutkan sebelumnya, masih ada lagi sejumlah produk lain yang sempat saya dengar beredar di kalangan masyarakat dan diisukan baik untuk kesehatan. Mungkin Anda juga pernah dengar minuman klorofil, yang dulu juga sempat trending sebagai minuman kesehatan dengan segudang manfaat. Ada juga minuman kolagen, yang disebut-sebut bisa mengencangkan kulit dan terlihat muda kembali. Ada lagi beberapa produk lain, yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu disini. Setelah saya membaca berbagai jurnal ilmiah, manfaat mereka tidak seheboh seperti yang digadang-gadangkan. Kalaupun ada manfaat, sifatnya lebih ke pemeliharaan kesehatan secara umum (general wellness/wellbeing) saja, bukan spesifik untuk tujuan-tujuan yang menggantikan terapi/pengobatan standar seperti menyembuhkan penyakit, menurunkan/menaikkan kadar zat tertentu dalam darah, terapi kanker, dan sejenisnya. Sifatnya mirip dengan suplemen multivitamin biasa yang sudah dikenal sejak lama dan memang sudah teruji ilmiah sejak lama.
Apapun produk/barang 'kesehatan' yang Anda temui nantinya, selalu kritis dan teliti lebih dulu sebelum memutuskan membeli. Pelajari dulu isinya dan carilah informasi tentangnya di sumber-sumber ilmiah yang sudah dikenal. Sumber ilmiah populer pun juga tidak apa-apa, selama bisa dipercaya dan bukan berjenis media sosial seperti weblog (blog), yang tidak ada proses penyaringan redaksionalnya. Jangan sampai Anda dibohongi orang-orang yang berniat meraup untung besar dengan berjualan barang-barang biasa yang sebetulnya hanya bernilai ekonomi biasa pula.
4. Jangan mudah percaya pada setiap info atau penawaran 'bombastis' yang berkaitan dengan kesehatan.
Di masa pandemi seperti sekarang ini, semua orang diingatkan kembali akan kesehatan yang selalu menjadi harta terpenting. Maka konsekuensi logisnya yaitu bahwa kesehatan juga menjadi sebuah komoditas bernilai ekonomi menjanjikan karena kesehatan tidak pernah lekang oleh waktu; kapanpun dan dimanapun itu, kesehatan akan selalu menjadi 'barang' paling berharga manusia. Banyak orang yang ingin mencoba peruntungan dengan berbisnis kesehatan, termasuk produk/barang yang aslinya bukan sesuatu yang istimewa. Asal menguntungkan, tinggal labelkan saja dengan embel-embel 'kesehatan'. Masa bodoh deh dengan ilmiahnya...
Inilah tujuan artikel ini ditulis. Masyarakat harus punya daya nalar dan berpikir kritis dalam hal apapun, terutama kesehatan. Jangan mudah terbujuk dengan 'jualan' orang, apalagi dengan 'herbal-herbal' yang aneh dan belum pernah Anda dengar selama ini. Biasanya yang seperti itu hanya gorengan dan bernilai tidak lebih dari suplemen kesehatan biasa. Kalau bagi saya sendiri, cara pikirnya seperti ini: kalau memang herbal/produk itu sedemikian berkhasiat, sudah pasti jadi terapi standar medis sejak lama, tidak perlu sampai diobral besar-besaran oleh orang-orang awam yang tidak memahami dalam soal kesehatan...
Bahkan hati-hati juga sekalipun dengan penawaran produk seperti itu yang dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga kesehatan (tenakes). Memang tidak bisa dimungkiri, ada saja dokter atau tenakes yang mencoba peruntungan juga dengan berjualan demikian; biasanya ini demi komisi besar yang didapat atas penjualan produknya itu. Tips dari saya: carilah second opinion dari dokter-dokter atau ahli lain dan bandingkan pendapatnya dengan dokter pertama tadi. Jika memang menjadi terapi standar yang direkomendasikan umum, semua dokter selayaknya akan satu suara karena memang sudah menjadi standar praktiknya. Jika tidak, pastilah ada perbedaan pendapat bermakna. Saya infokan disini, minyak ikan saja yang sudah dikenal sejak lama, hingga kini masih diliputi pro dan kontra. Ada penelitian yang berkata bermanfaat, ada juga yang tidak menemukannya; apalagi herbal lain yang 'aneh-aneh'...
Pesan Penutup
Jadilah masyarakat yang cerdas dan berlogika baik. Jangan mudah percaya dengan apa yang ditawarkan atau dikatakan orang lain. Lakukan riset dulu sebelum memutuskan membeli tidaknya. Andalkan sumber kabar yang bisa dipercaya agar tidak termakan berita bohong (hoaks).
Tetap jalankan protokol kesehatan untuk Covid-19. Promosikan vaksin untuk semua orang. Jangan terhasut berita-berita tidak jelas yang membujuk orang untuk tidak divaksin karena alasan apapun. Semua sumber ilmiah menyatakan vaksin baik dan sangat disarankan untuk mencegah penyebaran virus ini lebih lanjut.
Salam sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H