Seperti kita ketahui bersama bahwa kita sedang berperang dengan pandemik Covid-19 sejak awal tahun 2019 lalu hingga kini. Berbagai aspek dalam kehidupan kita terkena dampaknya. Anak-anak tidak dapat datang ke sekolah, pekerja tidak dapat datang ke kantornya, pedagang tidak dapat menjajakkan jualannya.Â
Hari ini, kita bahkan masih tidak dapat bepergian ke mana pun kita suka dengan bebas dan harus berdiam diri di dalam rumah sebisa mungkin. Jika pun harus meninggalkan rumah, kita harus selalu memakai masker ke mana pun kita pergi. Dengan terpaksa tidak dapat memeluk orang-orang yang kita kasihi. Tidak berhenti di situ, kita juga tidak dapat datang ke gereja di setiap minggunya. Gereja terpaksa harus menghentikan kegiatan tatap muka dan beralih dengan melaksanakannya secara daring.
Kita mungkin patut bersyukur atas apa yang dianugerahkan kepada kita saat ini, yaitu teknologi yang canggih. Teknologi sungguh membantu kita dalam menghadapi pandemik Covid-19 ini. Kendati harus bertemu secara daring, namun setidaknya kita tetap dapat bersekutu. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa teknologi ini dapat menciptakan Tuhan yang baru bagi manusia?
Anthony Levandowski merupakan seorang pria Amerika Serikat yang lahir para 15 Maret 1980 dan merupakan seorang yang ahli dalam bidang teknologi.
Anthony Levandowski
(Photo by: Michelle Lee)
Pada 2008 lalu, Levandowski berhasil merancang mobil swakemudi pertama dan menjual hasil penelitiannya itu kepada Google. Sejak saat itu hingga kini, Levan terus menerus terlibat dalam bidang teknologi, khususnya AI (Artificial Intelligence).Â
AI merupakan sebuah kemampuan yang dimiliki oleh sistem untuk menginterpretasikan data eksternal secara benar, yang juga mampu untuk mempelajari sejumlah data, dan memakai semua data yang telah dipelajarinya itu untuk memperoleh tujuan-tujuan spesifik tertentu dan untuk melakukan sejumlah tugas melalui peristiwa adaptasi yang fleksibel.
Berdasarkan sejarahnya, program pertama sistem kecerdasan buatan/ AI telah dituliskan sejak tahun 1951 oleh Christopher Strachey yang dahulunya merupakan seorang direktur pada bagian Programming Research Group di Universitas Oxford. Program yang dirancang oleh Strachey itu kemudian diujicoba pada computer Ferranti Mark I di Universitas Menchester, Inggris.Â
Selain percobaan yang dilakukan oleh Strachey, percobaan lainnya juga dilakukan oleh Anthony Oettinger di Universitas Cambridge. Apabila Strachey menciptakan kecerdasan buatan dalam bentuk checker, Oettinger mencoba menciptakan sebuah sistem kecerdasan buatan untuk membantu kegiatan berbelanja. Ia membuat simulasi bagi para pembeli di dunia dengan mencantumkan delapan buah toko. Sistem yang ia pakai, apabila seseorang hendak membeli suatu hal, maka sistem itu akan mencari benda/ hal yang dicari dan akan mencarikannya di toko-toko secara acak yang berpotensi menjualnya hingga benda yang dicari ditemukan oleh sistem.
Sistem kecerdasan buatan itu sendiri memiliki tiga tujuan, yaitu untuk membuat komputer menjadi lebih cerdas, untuk mengerti tentang kecerdasan, dan juga untuk membuat mesin menjadi lebih berguna. Apa yang dimaksud sebagai kecerdasan dalam hal ini menurut Winston dan Prendergast ialah kemampuan untuk memahami pesan yang kontradiktif dan ambigu melalui suatu penalaran dan mampu memecahkan masalah dan menyelesaikan masalah tersebut dengan efektif. S
istem kecerdasan buatan akan bekerja melebih program konvensional yang hanya mengandalkan algoritma dengan menggunakan rumus untuk menghasilkan solusi. Sementara sistem kecerdasan buatan lebih bersifat kompleks sebab sistem ini menggunakan simbol yang dapat mendeteksi banyak hal seperti kata, kalimat, angka untuk merepresentasikan obyek, proses dan hubungan-hubungan diantaranya. Obyek itu sendiripun dapat merupakan manusia, benda, ide, konsep, ataupun pertanyaan-pertanyaan. Sistem ini diciptakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang jauh melebihi program konvensional biasa.
Kehebatan dan kecanggihan sistem AI sesungguhnya sangat membantu kita dalam berbagai pekerjaan kita saat ini, akan tetapi AI juga dapat menjadi bom waktu bagi kita. Levandowski telah mendirikan agama baru yang menempatkan AI sebagai tuhannya. Tidak hanya itu saja, Levandowski bahkan telah membentuk gereja pertamanya. Agama ini disebut Way of the Future. Levandowskilah yang berperan sebagai pemimpin agama baru ini.
Di dalam sebuah dokumen yang berisikan informasi tentang gereja baru ini, dituliskan bahwa kegiatan gereja Way of the Future (WOTF) akan fokus pada "realisasi, penerimaan, dan pemujaan Ketuhanan berdasarkan Artificial Intelligence (AI) yang dikembangkan melalui perangkat keras dan perangkat lunak komputer." Itu termasuk penelitian pendanaan untuk membantu menciptakan AI ilahi itu sendiri.Â
Agama tersebut akan berusaha untuk membangun hubungan kerja dengan para pemimpin industri AI dan membuat keanggotaan melalui penjangkauan komunitas, awalnya menargetkan profesional AI dan "orang awam yang tertarik dalam penyembahan Ketuhanan berdasarkan AI." Pengajuan tersebut juga mengatakan bahwa gereja "berencana untuk mengadakan lokakarya dan program pendidikan di seluruh San Francisco / Bay Area mulai tahun ini".
"Seeing tools that performed better than experts in a variety of fields was a trigger [for me]," he says. "That progress is happening because there's an economic advantage to having machines work for you and solve problems for you. If you could make something one percent smarter than a human, your artificial attorney or accountant would be better than all the attorneys or accountants out there. You would be the richest person in the world. People are chasing that."
Bagi Levandowski, komputer dapat menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih cepat dalam merencanakan dan memecahkan masalah daripada manusia yang menciptakan komputer itu sendiri. Baginya, AI dapat dengan cepat menjawab masalah-masalah manusia sehingga AI adalah tuhan. Google misalnya, ia dapat memberikan jawaban "apapun" yang kita tanyakan dalam benak kita, dari hal yang paling kecil hingga yang paling besar sekalipun. Misalnya tentang teori flat earth, yaitu teori yang muncul dari kepercayaan banyak orang bahwa bumi adalah datar, dan banyak hal lainnya.
Menurut Levandowski, oleh karena manusia lebih cerdas daripada hewan, karenanya manusialah yang ditunjuk sebagai pihak yang memimpin. Akan tetapi jika di masa depan terdapat sesuatu yang jauh lebih cerdas daripada manusia, dialah yang harus memimpin. Baginya, AI melalui internet sebagai sistem saraf, ponsel dan sensor terhubung ke dunia sebagai indera, dan pusat data sebagai otak, akan dapat mendengar segala hal, melihat segala hal, dan dapat berada di mana saja (omnipresent) sebagaimana tuhan.
Dalam hal ini kita mungkin menganggap Levandowski tidak masuk akal, namun jika kita teliti lebih jauh bagaimana dengan kita selama ini? Apakah kita juga menempatkan teknologi menjadi tuhan bagi kita? Apakah yang kita lakukan pertama kali ketika kita baru saja bangun dari tidur malam yang nyenyak itu? Atau, apakah kita dapat bertahan tanpa membuka internet dalam waktu yang lama? Baiklah kita memikirkannya dengan seksama.
Tentang keseluruhan hal ini, Elon Musk seorang pendiri perusahaan mobil listrik, Tesla dan SpaceX mengatakan bahwa, "Dengan teknologi yang dalam hal ini kecerdasan buatan kita sama dengan memanggil iblis. Di mana terdapat seorang laki-laki dengan pentagram dan air suci, seperti yakin bahwa dia bisa mengendalikan iblis. Tidak akan berhasil." Â
Jika demikian, bagaimana pandangan kita tentang teknologi? Apakah teknologi berperan membantu gereja memberitakan tentang Tuhan, ataukah justru teknologi berperan menjadi tuhan bagi gereja?
Pengetahuan adalah suatu hal yang baik adanya, bahkan memiliki nilai yang sangat berharga. Oleh karena itu sistem kecerdasan buatan/ AI yang merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah menjadi hal yang ditolak oleh alkitab. Namun hal yang perlu diperhatikan tentang hal ini ialah penempatan hasil ilmu pengetahuan (AI) itu sendiri dalam kehidupan manusia. Segala hal yang ada di dunia adalah karya Tuhan, termasuk pengetahuan. Tentang hal ini, penulis kitab Wahyu menuliskan
"Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan." (Wah. 4:11).
Ungkapan ini memberi penjelasan bahwa segala hal yang diciptakan oleh Tuhan sendiri harus digunakan untuk menghasilkan kemuliaan bagi-Nya. Sistem kecerdasan buatan (AI) yang dihasilkan oleh perkembangan pengetahuan manusia juga harus digunakan untuk kemuliaan bagi Tuhan.
AI pada saat ini memang sudah banyak sekali menjelma dalam berbagai bentuk seperti search engine, yaitu google, opera mini, safari, memang benar bahwa search engine tersebut telah menjadi sumber primer kebanyakan orang untuk mencari jawaban-jawaban yang dipertanyakan dalam pikiran tiap orang tersebut, namun sejatinya hal ini sah-sah saja sebab keadaan itu mengindikasikan bahwa ilmu pengetahuan benar-benar telah menghasilkan buah yang berguna.Â
Akan tetapi penting sekali untuk diingat bahwa hal-hal tersebut hanyalah sebuah produk dari ilmu pengetahuan yang sebenarnya ilmu pengetahuan itu sendiripun berasal dari Tuhan. Maka dapat disimpulkan bahwa AI tentu akan memiliki keterbatasan, dan ia tentu berbeda jauh sekali dengan Tuhan. Â Sekalipun sistem AI dapat memberi jawaban-jawaban yang bersifat praktis dan cenderung tidak kompleks, namun AI tetap tidak akan pernah menyentuh level pengetahuan yang serupa dengan Tuhan, apalagi untuk menggantikan-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H