R.A. Kartini pernah berkata, "Bukanlah laki-laki yang kami lawan, melainkan pendapat kolot dan usang."
Wanita seringkali dituntut untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan alasan karena "wanita harus jago urusan dapur", namun di sisi lain wanita juga dituntut untuk bisa mandiri dengan alasan "tidak bisa bergantung pada orang lain", tetapi di sisi lain lagi wanita juga dituntut untuk "menurut pada laki-laki karena wanita lebih lemah daripada laki-laki".
Tuntutan demi tuntutan yang disampaikan oleh orang-orang di sekitar, di lingkungan sosial, bahkan di sosial media membentuk stereotip bahwa wanita adalah manusia yang memiliki kedudukan di bawah laki-laki, stereotip bahwa pemimpin adalah seorang laki-laki, dan wanita harus mengurus rumah tangga sendirian; memasak, mencuci pakaian, menyapu, dan kegiatan bersih-bersih lainnya.
Terlalu banyak yang mengkotak-kotakan wanita ke dalam ruang yang dibentuk untuk mengatur dan membatasi aktivitas wanita. Padahal, wanita juga punya hak untuk memimpin, wanita punya hak untuk menjadi dominan, dan pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan semua orang; laki-laki maupun perempuan.
Pekerjaan rumah tangga adalah kerja sama bagi setiap orang yang ada di rumah. Mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, dan bersih-bersih rumah adalah tanggung jawab setiap individu pribadi untuk kebersihan, kesehatan, dan kenyamanan.
Apabila pekerjaan tersebut dianggap sebagai pekerjaan wanita, lalu bagaimana jika mereka--orang orang di luar sana--tidak memiliki sosok wanita di dalam rumahnya? Apakah rumah itu akan dibiarkan kotor dengan piring menumpuk dan makanan yang membusuk, lantai yang berdebu, hingga tumpukan baju kotor yang mulai bau? Tidak, kan? Siapapun yang menggunakannya memang harus punya kesadaran untuk membersihkannya.
Apabila stereotip itu muncul karena terbiasa melihat ibu membersihkan segalanya di rumah, melihat nenek yang rajin sekali beres-beres rumah, atau melihat kakak perempuan yang selalu menjaga kebersihan rumah, lalu membentuk pemikiran bahwa itu semua adalah pekerjaan wanita ...
Hal tersebut adalah pemikiran yang harus diluruskan bahwa pekerjaan di rumah adalah pekerjaan bersama.
Kemudian, di lingkungan pekerjaan. Ketidakadilan tidak hanya berasal dari tuntutan berdasarkan stereotip tanggung jawab dan pekerjaan wanita adalah beres-beres rumah, namun ketidakadilan juga muncul di lingkungan kerja, yaitu wanita kesulitan untuk mendapatkan kesempatan untuk bekerja karena mencari pegawai wanita yang belum menikah dan diikat kontrak untuk tidak menikah dalam masa tertentu sehingga wanita yang sudah menikah/punya anak semakin sulit mendapatkan pekerjaan.
Bukan hanya itu saja, kesempatan wanita untuk bekerja sebagai pemimpin pun sulit didapatkan dengan berbagai bentuk alasan, salah satunya adalah stereotip "pemimpin harus laki-laki" dan "Laki-laki tidak boleh dipimpin oleh perempuan"
Padahal, siapapun berhak menjadi seorang pemimpin selama ia bisa bertanggung jawab, memiliki kemampuan dan potensi, dan memiliki keterampilan di bidangnya, tanpa dibatasi oleh gender laki-laki atau perempuan.
Dari hasil survey Populix dalam Women's Equality in the Workplace (2024) kepada 424 perempuan berusia 17 s.d. 55 tahun menunjukkan data: 48% wanita mengalami bias gender dan tidak mendapatkan gaji yang setara dengan laki-laki, 40% wanita mendapatkan pelecehan verbal di tempat kerja, 54% wanita mendapatkan komentar negatif di tempat kerja, 62% wanita mendapatkan perlakuan diremehkan lewat ekspresi wajah.
( Sumber: Populix website report, Women's Equality in The Workplace 2024, CNN)
Berikan Kami Ruang Untuk Berekspresi
Jangan hilangkan hak kami sebagai perempuan untuk bisa;
- Menjadi pemimpin,
- Menjadi wanita karir
- Menempuh pendidikan yang tinggi,
- Mendapatkan pekerjaan dan upah yang setara tanpa diskriminasi gender yang mempertimbangkan adanya cuti haid, cuti hamil, dan cuti melahirkan
- Mengatur keputusan pribadi dalam menjaga diri sendiri
- Menggunakan pakaian yang membuat kami nyaman tanpa dilecehkan
- Menyuarakan segala pendapat kami tentang keadilan tanpa dipandang rendah dan tidak berdaya,
- Menentukan hidup, tujuan, dan masa depan.
Meskipun tidak semua orang memandang wanita sebelah mata, melihat wanita sebagai orang yang tidak berdaya, dan tidak semua orang menolak untuk dipimpin oleh wanita.
Namun, masih banyak wanita di negeri ini yang berjuang untuk tetap hidup di tengah ketidakadilan, kepemimpinan yang patriarki, dan aturan-aturan yang membatasi ruang gerak wanita.
Pada dasarnya, semua orang baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berjuang untuk suatu tujuan, untuk setiap kesempatan, dan menggapai mimpi-mimpi yang ada di depan. Tetapi mengapa langkah seorang wanita seringkali dikalahkan dengan aturan-aturan yang tidak berpihak pada perempuan?
Dianggap lemah, dianggap tidak berdaya, dianggap payah, bahkan hingga wanita mendapat berbagai bentuk kekerasan; kekerasan seksual, pemerkosaan, pembunuhan, KDRT.
Lawan.
Sudah saatnya wanita menunjukkan kemampuannya ke seluruh penjuru dunia bahwa wanita itu bisa jadi pemimpin, berdaya, kuat, dan mampu menjadi seseorang yang berprestasi, berdampak, berkontribusi positif untuk perubahan, dan berjuang melawan penindasan.
Seperti Cut Nyak Dien yang menjadi penggerak untuk kebebasan dari penindasan Belanda di Aceh dengan memberdayakan para perempuan, menginspirasi dan memotivasi, dan menentang ketidakadilan.
Seperti R.A. Kartini yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk mendapatkan pendidikan, membuktikan bahwa wanita bisa mendapatkan pendidikan yang layak, berjuang melawan stereotip yang menempatkan wanita di posisi yang rendah.
Seperti Dewi Sartika yang mendirikan sekolah pertama khusus perempuan untuk memberikan ruang bagi wanita bisa berperan besar di lingkungan sosial, dan melawan sistem patriarki dengan membuktikan melalui pendidikan.
Perempuan mempunyai hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi gender dan stereotip yang menempatkan wanita pada posisi yang tidak adil. Diam atau lawan, satu persatu kita bisa buktikan bahwa wanita mampu menjadi berdaya, berdampak, dan berkontribusi untuk perubahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI