PENDAHULUAN
Negara bagian di timur laut India, Manipur, telah lama menjadi saksi konflik etnis, pemberontakan bersenjata, dan kekerasan etnis. Dikenal sebagai "land of gems," Manipur baru-baru ini terperangkap dalam konflik etnis yang mengguncang selama tiga bulan terakhir (Chowdhury, 2023). Pada 3 Mei 2023, ketegangan antara suku Meitei sebagai kelompok mayoritas dan suku Kuki yang menjadi minoritas mencapai titik puncak, dipicu oleh protes mahasiswa Kuki terhadap petisi suku Meitei untuk mendapatkan status suku, yang akan memperkuat pengaruh mereka di pemerintahan dan masyarakat serta memberi hak untuk membeli tanah dan tinggal di wilayah mayoritas yang dihuni oleh suku Kuki (Schwarz, 2023). Dampak akibat konflik menyebabkan lebih dari 150 orang tewas dan 60.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, berusaha menghindari kekerasan yang disebabkan oleh pasukan militer, paramiliter, dan polisi yang berusaha meredakan situasi (Krishnan, 2023).
Namun, kemarahan masyarakat semakin meluas setelah video mengerikan dari Manipur menjadi viral pada Juli 2023. Video ini menampilkan klip singkat selama 26 detik yang memperlihatkan dua wanita Kuki yang diseret, diperkosa, dan diserang oleh sekelompok pria di tempat umum. Insiden ini terjadi pada 4 Mei, ketika dua wanita tersebut, dalam upaya melarikan diri dari kerusuhan, ditangkap oleh kelompok Meitei, kemudian mengalami penyiksaan brutal, dipaksa untuk menanggalkan pakaian, dan diarak telanjang di desa. Kecaman nasional dan internasional terhadap kejadian ini membawa perhatian terhadap ketidakpuasan yang dirasakan di Manipur, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, konflik etnis, perselisihan tanah, kekerasan, dan kegagalan tata kelola (Murthy et al., 2023). Kasus konflik etnis di Manipur ini menunjukkan bahwa perempuan, tanpa memandang identitas etnis mereka, menjadi sasaran korban penyiksaan dan pelecehan (Pal, 2023).
Dengan demikian, kejadian kekerasan seksual dalam konflik etnis di Manipur menyoroti penggunaan kejam dan mengerikan dari kekerasan serta teror terhadap perempuan selama masa konflik. Dalam hal ini, pemerkosaan dijadikan sebagai senjata. Tindakan ini juga menggambarkan kerentanan perempuan yang meningkat selama periode konflik dimana tubuh mereka dijadikan sasaran untuk menyampaikan pesan politik atau merendahkan kelompok tertentu. Berangkat dari permasalahan tersebut, artikel ini bertujuan untuk menyelidiki fenomena tragis ini dan merumuskan pertanyaan masalah sebagai berikut: "Mengapa pemerkosaan terhadap perempuan dijadikan strategi perang dalam konteks konflik etnis di Manipur?".
ANALISIS
Perempuan seringkali menderita secara tidak proporsional selama masa kerusuhan komunal, konflik, dan perang. Isu weaponization of rape atau penggunaan pemerkosaan sebagai senjata terhadap komunitas minoritas terus menjadi perhatian di India. Lebih dari itu, penggunaan pemerkosaan sebagai alat kekerasan selama konflik seringkali memicu serangan balasan yang menyasar lebih banyak perempuan dari kelompok yang berseberangan (Schwarz, 2023). Manipur, sebuah negara bagian di Timur Laut India, telah tercoreng oleh lonjakan kekerasan yang mengkhawatirkan terhadap perempuan. Situasi semakin tegang akibat sebuah video yang dirilis di media sosial, menampilkan sekelompok pria dari suku Meitei yang memukuli, meresahkan, dan melakukan pelecehan seksual terhadap dua perempuan Kuki. Contoh mengerikan dari serangan, pemerkosaan, dan pembunuhan telah menciptakan atmosfer ketakutan, merendahkan kebebasan dan martabat yang layak diterima oleh setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin. Tindakan keji ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia dasar tetapi juga menimbulkan tantangan serius terhadap kemajuan dan perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Dalam menganalisis penyebab di balik lonjakan kekerasan ini, menjadi jelas bahwa norma patriarki yang tertanam kuat terus menindas perempuan di Manipur. Norma-norma ini memperpetuasi ketidaksetaraan gender, membatasi kebebasan perempuan, dan melibatkan mereka dari peluang yang setara, yang mengakibatkan normalisasi kekerasan sebagai alat untuk mengekang dan mendominasi. (Hussain, 2023).Â
Keberadaan lembaga-lembaga yang didominasi oleh laki-laki menciptakan dasar bagi sistem kekuasaan patriarki dan lingkungan yang kental dengan unsur maskulinitas untuk berkembang. Situasi ini memfasilitasi budaya pemerkosaan dan pemanfaatan kekerasan seksual sebagai alat perang. Teori konflik Marx dan Engel menyatakan bahwa masyarakat terbentuk melalui "perjuangan dominasi di antara kelompok-kelompok sosial yang bersaing untuk sumber daya yang langka." Teori feminis kemudian mengadopsi pendekatan teori konflik tersebut untuk mengkaji stratifikasi dan hierarki organisasi sebagai kunci untuk menjelaskan semua fenomena sosiologis, menerapkannya pada pengamatan tentang bagaimana gender mempengaruhi kekuasaan dalam peran dan ketidaksetaraan gender. Sistem pemberdayaan gender memungkinkan akumulasi modal secara historis, namun modal tidak hanya memiliki daya pengaruh pada tingkat personal; itu juga merupakan kekuatan sosial, yang menciptakan posisi sosial perempuan yang tidak setara dengan laki-laki. Persebaran kekuasaan dan perjuangan dominasi ini membentuk dasar yang membuat kekerasan seksual menjadi alat yang sangat berdampak (Vidal, 2021).
Mary Beth, seorang aktivis perempuan dari Churachandpur, mengatakan bahwa pemerkosaan digunakan sebagai senjata perang untuk menyakiti komunitas minoritas, dan praktik ini memiliki sejarah yang panjang dengan motivasi etnis atau agama yang jelas (Krishnan, 2023). Para ahli kekerasan seksual selama perang setuju bahwa pemerkosaan seringkali didasarkan pada efek merugikan yang ditimbulkannya pada populasi musuh, termasuk penanaman rasa teror, meredakan perlawanan sipil, merendahkan, mempermalukan, melumpuhkan kekuatan prajurit musuh, serta sebagai bagian dari kampanye pembersihan etnis dan genosida. Oleh karena itu, sejalan dengan literatur yang sudah ada, pemerkosaan selama perang dipandang sebagai sarana yang koheren, terkoordinasi, dan logis untuk melancarkan perang guna mencapai tujuan politik. Sejalan dengan pendapat Carl von Clausewitz (1976), PTWR (Preference-based Theory of Wartime Rape) mengakui bahwa, "Objek politik adalah tujuan, perang adalah sarana untuk mencapainya, dan sarana tidak pernah dapat dipertimbangkan secara terpisah dari tujuannya." Dengan kata lain, segala tindakan atau strategi yang dilakukan dalam konteks perang harus selaras dengan mencapai tujuan politik yang diinginkan. (Clemens, 2017).
Pemerkosaan menjadi hasil dari hasrat dan ketakutan yang dihadapi oleh para pelaku dalam situasi brutal yang dipenuhi dengan pengaruh dan trauma. Selain itu, pemerkosaan dijadikan sebagai senjata perang karena menjadi dalam kepentingan langsung para pelaku untuk menggunakannya demi tujuan-tujuan tertentu. Inilah yang menjadikan kekerasan seksual selama perang sebagai perpanjangan dari politik, di mana pemerkosaan menjadi salah satu alat di antara banyak yang diadopsi oleh para pelaku yang berorientasi pada kepentingan pribadi (Pablo K., 2012). Ini diperkuat dengan adanya maskulinitas toksik dan patriarki hegemonik yang memudahkan atau melegitimasi kekerasan terhadap perempuan. Selama kedua hal ini tetap menjadi pokok dalam struktur politik, ekonomi, budaya, dan sosial, kekejaman terhadap perempuan akan terus terjadi. Di India, dimana patriarki memiliki sifat Brahmanikal dan karenanya bersinggungan dengan prasangka sistematis dalam masyarakat, kekerasan seksual menjadi cara untuk menindas perempuan secara gender dan juga sebagai sarana untuk menindas identitas kasta, suku, atau agama (Shaju, 2023).
KESIMPULAN
Konflik etnis di Manipur, India, bukan hanya menimbulkan penderitaan massal, tetapi juga melibatkan kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai strategi perang untuk menyakiti, merendahkan, dan mengendalikan komunitas minoritas. Pemerkosaan selama konflik dianggap sebagai sarana yang koheren dan terkoordinasi untuk mencapai tujuan politik, termasuk menanam rasa teror, meredakan perlawanan sipil, dan melancarkan kampanye pembersihan etnis. Pentingnya menyadari kompleksitas permasalahan gender dalam konflik ini, di mana perempuan tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik tetapi juga mengalami pelecehan dan penyiksaan seksual, menuntut tekanan terus-menerus dari masyarakat dan media internasional untuk mengatasi akar masalah, menghapus norma patriarki, dan melindungi perempuan dari kekerasan seksual dalam konteks konflik bersenjata.