Indonesia masih menduduki peringkat teratas produsen minyak kelapa sawit di dunia dengan produksi tahun 2019 mencapai 43 juta ton, serta luas lahan kelapa sawit 16,4 juta hektare dengan status kepemilikan 41% perkebunan rakyat, 53% perusaharaan swasta, dan 6% perusahaan pemerintah.Â
Diprediksi ke depan luasan kelapa sawit akan terus meningkat sebagai dampak dari membaiknya harga TBS beberapa bulan terakhir ini.
Disamping menghasilkan TBS, kebun kelapa sawit dapat dioptimalkan pemanfaatannya dalam usaha pembiakan sapi potong, sehingga keuntungan yang dihasilkan berlipat ganda.Â
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu agroekosistem sangat potensial mendukung usaha sapi potong.Â
Kebun kelapa sawit memiliki potensi biomassa yang melimpah sebagai sumber pakan ternak antara lain pelepah sawit, bungkil inti sawit, lumpur sawit, tandan kosong, serta hijauan dibawah tanaman kelapa sawit.
Peternakan sapi potong memiliki peran penting dalam penyediaan protein hewani masyarakat dan sumber pupuk organik. Disamping itu juga diharapkan menjadi lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan petani, serta mendorong pembangunan perekonomian suatu daerah.Â
Kebutuhan daging sapi nasional selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kebutuhan daging sapi di dalam negeri hanya sekitar 60,9% yang dapat dipenuhi oleh produksi sapi lokal, sisanya dipenuhi oleh sapi bakalan impor, dan daging sapi impor.
Tantangan utama dalam usaha sapi potong adalah pakan. Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha peternakan sapi potong karena produktivitas ternak sebagian besar ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi.Â
Penyediaan hijauan pakan ternak sering terkendala dengan produktivitasnya yang rendah, tidak kontinyu, memakan banyak waktu dan biaya dalam pemeliharaan hijauan, nilai ekonomisnya rendah, serta tidak tersedianya lahan untuk menanam karena kompetisi penggunaan lahan dengan komoditas lain yang lebih strategis.Â
Sementara penyediaan pakan konsentrat terkendala dengan harga yang tinggi sehingga tidak terjangkau oleh peternak yang sebagian besar adalah peternak rakyat.
Oleh sebab itu, pengembangan teknologi produksi diarahkan pada peningkatan efisiensi sistem usaha tani.Â