Mohon tunggu...
Gerakan Cinta Jakarta
Gerakan Cinta Jakarta Mohon Tunggu... -

Gerakan Cinta Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tahun 2014 : Macet Total Sejak Pintu Pagar Anda

30 Mei 2011   09:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:03 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GRIDLOCK DI DEPAN PINTU PAGAR

Data resmi melansir, kendaraan di Jakarta bertambah lebih dari 1000 unit setiap hari, terdiri dari 240 mobil dan 890 motor. Di akhir tahun 2011 ini, diperkirakan kendaraan yang melintas di Jakarta sudah mencapai 12 juta unit.Jika dalam keadaan diam satu unit kendaraan roda dua butuh ruang sebesar 2 m2 dan mobil butuh 8 m2, maka akan dibutuhkan ruang sebanyak 41,4 juta m2. Itu dalam keadaan diam. Jumlah ini sama dengan luas jalan yang tersedia saat ini. Jika seluruh kendaraan itu serentak turun ke jalan, seluruh ruang jalan akan penuh, tanpa ruang gerak sama sekali. Situasi ini dinamakan gridlock, kemacetan total, di mana kita tidak bisa memastikan awal dan akhir kemacetan. Tanpa bisa diurai. Dan ini akan terjadi di seluruh jalan di Jakarta.

[caption id="attachment_111168" align="alignnone" width="640" caption="Antrian Kendaraan di flyover Pancoran Jakarta. Kemacetan sudah sedemikian parah sehingga diprediksi akan terjadi Gridlock (macet total) pada 2014 (Foto: T.H. Prabowo)"][/caption]

Jakarta tidak hanya macet hari ini. Masalah ini sudah menjadi masalah klasik yang menghantui Jakarta selama hampir lima dekade. Banyak pakar yakin, jika tidak ditangani secara benar, masalah kemacetan akan memuncak pada tahun 2014. Saat itu, luas lahan yang dibutuhkan kendaraan akan melebihi luas jalan yang tersedia. Warga Jakarta akan berhadapan dengan macet dari pintu pagar rumahnya.

Kegelisahan akan terjadinya macet total (gridlock) di Jakarta sebenarnya bukan barang baru. Mantan Gubernur Jakarta, Sutiyoso, sudah mengingatkan kemungkinan ini pada tahun 2004. Mengutip penelitian yang dilakukan Japan International Corporation Agency (JICA), ketika itu Bang Yos mengungkapkan fakta yang menghentak, yakni jika tidak ada pembenahan pada sistem transportasi massal, Jakarta akan mengalami kemacetan total di tahun 2014.

Tujuh tahun berselang, kekhawatiran itu justru semakin memuncak. Menurut Darmaningtyas, pakar transportasi, ketakutan itu semakin mendekati kenyataan. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya rentang waktu yang dihabiskan di perjalanan. Jika pada akhir tahun 1990-an kecepatan kendaraan pada jam-jam padat bisa mencapai 20-30 km/jam, hari ini tinggal 15-20 km/jam. “Artinya, untuk melakukan perjalanan 15-20 km, kita harus berkendaraan selama satu jam. Ini sangat parah” jelasnya.

Tak heran kemudian, masalah kemacetan kemudian menjadi aspirasi utama masyarakat Jakarta. Media Survei Nasional (Median) bulan lalu melansir hasil penelitian yang menunjukkan kemacetan sebagai masalah nomor wahid yang harus diselesaikan. Satu dari tiga warga Jakarta mencantumkan kemacetan sebagai prioritas yang harus dituntaskan.

Menanggapi hasil penelitian tersebut, Ketua Umum Gerakan Cinta Jakarta, Tantowi Yahya, menilai keinginan warga ini adalah sebuah kewajaran. Sebab kemacetan bukan hanya soal tersendatnya perjalanan warga, melainkan terbuangnya waktu produktif warga.

Tantowi menjelaskan, kemacetan adalah polemik awal yang menciptakan masalah-masalah lain yang lebih besar seperti masalah ekonomi, ekologi, bahkan psikologi. “Contohnya saja: macet adalah pemborosan nilai ekonomi. Macet menyebabkan kerugian yang tak tanggung-tanggung, mencapai Rp. 40 Trilyun setahun. Jumlah ini hampir setara dengan anggaran untuk membiayai pembangunan Jakarta selama dua tahun” terangnya.

Salah Solusi

Tak kunjung membaiknya penanganan transportasi Jakarta, menurutDarmaningtyas, juga disebabkan kesalahan solusi oleh Pemerintah DKI Jakarta. Selama ini, Pemda hanya sebatas memfasilitasi ruang bagi kendaraan bermotor, seperti pembangunan jalan layang, underpass, dan lain-lain. “Belum ada upaya untuk membangun sistem angkutan umum secara serius. Baru ada buswayuntuk TransJakarta. Itu pun belum maksimal” tukas mantan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia ini.

Pembangunan jalan layang non tol di beberapa ruas jalan di ibukota seperti di Jalan Antasari dan Jalan Prof. Satrio malah menjadi sumber kemacetan baru nantinya, “Karena semua orang berpikir lewat jalan itu lancar, akhirnya numpuk disitu. Sama saja seperti orang selalu memilih jalan tikus, semua orang memilih jalan tikus dan akhirnya macet.” jelasnya.

Djoko Setijodarmono, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia lebih tegas menunjuk Pemda DKI Jakarta salah langkah dalam menangani kemacetan. Menurutnya, kebijakan selama ini baru sekedar ‘tambal poles.’ “Belum ada kebijakan menyeluruh, masih setengah-setengah. Ini hanya akan menambah biaya dan masalah baru” terangnya.

Padahal, masih menurut Djoko, pola transportasi makro sudah ada dan cukup lengkap. Namun hingga kini tak dilaksanakan dengan konsisten, sehingga integrasi antarmoda sulit dilakukan. Ia mencontohkan, rencana 15 koridor busway tuntas tahun 2012, namun percepatan transportasi massal berbasis kereta terkesan lamban. “Malah sepertinya lebih memprioritaskan MRT (Mass Rapid Transportation,-red) dan jalan layang (non-tol) yang sebenarnya tak menyelesaikan masalah.” tegasnya.

Butuh Partisipasi Aktif

Namun semata menyalahkan pemerintah tentu tidak arif. Tantowi Yahya, yang juga Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta, menyatakan sepakat dengan Darmaningtyas, bahwa untuk menghindari kemacetan total yang bisa melumpuhkan Jakarta, perlu ada kerja yang sinergis antara Pemprov DKI Jakarta, pemerintah pusat, dan partisipasi warga Jakarta. “Tanpa partisipasi warga, ini tidak mungkin. Segala program yang akan dilakukan pemerintah tidak akan berjalan jika tidak didukung warga. Tapi warga memang harus rela berkorban dan disiplin.” tegas Tantowi.

Tantowi mencontohkan, jika saja warga Jakarta mau kembali ke halte, maka itu akan mengurangi jumlah perjalanan dalam jumlah yang signifikan. Diperkirakan di Jakarta bisa berkurang dua juta perjalanan setiap harinya. “Jumlah ini sangat besar. Tingat kelajuan kendaraan di jalan raya non-tol akan bertambah karena angkutan umum tidak berhenti sembarangan. Sebab, penumpang hanya naik dan turun di halte” jelasnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut memang butuh disiplin dan kemauan dari warga. Menurut Darmaningtyas masyarakat bisa diajak memulai kebiasaan baru dengan mengusahakan berjalan kaki untuk perjalanan pendek, dibawah 500 meter. Perjalanandibawah 3 kilometer memakai sepeda, perjalanan dibawah 10 kilometer menggunakan sepeda motor, dan lebih dari sepuluh kilometer gunakan angkutan umum. Kalau semua orang berpikiran seperti itu kemacetan akan berkurang. Tapi kalau semua orang tidak punya sikap seperti itu, maka akan macet.” pungkasnya.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun