Mohon tunggu...
Gerakan Cinta Jakarta
Gerakan Cinta Jakarta Mohon Tunggu... -

Gerakan Cinta Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Nature

"Ngapain Elu Cinte-cinte Jakarta, Emang Jakarta Punye Elu?"

23 Mei 2011   15:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:19 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ngapain Elu Cinte2 Jakarte, Emang Jakarte punye Elu?"

Sebuah bentakan, teguran, sekaligus pertanyaan keras di awal wawancara meluncur dari mulut Bang Idin (55), jawara Betawi sekaligus penyelamat Kali Pesanggrahan, ketika Cinta Jakarta menemui beliau di Pendoponya di Kali Pesanggrahan. Sebuah pertanyaan yang menurut Bang Idin akan menjadi pokok utama untuk menjawab semua permasalahan yang kompleks di Jakarta.

Menemui Bang Idin, pahlawan Kali Pesanggrahan ini, tidaklah mudah. Sekitar tiga jam menunggu Bang Idin mengarit rumput untuk kambing-kambingnya, Cinta Jakarta akhirnya bisa mewawancarai Jawara bernama lengkap H. Chaeruddin ini. Dengan logat betawi yang sangat kental, Bang Idin akhirnyabersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Jakarta dimata beliau, dan kecintaannya yang “24 karat” pada Jakarta, dan Jakarta untuk semua.

Bagaimana konsep Mencintai Jakarta Menurut Abang?

Elu baru hari ini ngomongin Cinta Jakarta. Gue udah dari dua puluh tahunan yang lalu. Karenanya, gue sadar, lalu punya niat, gue harus selamatkan kampung inimusti dengan cara gue. Dan ini yang gue bilang manajemen kearifan alam. Gue gak pernah protes di jalan, ngata-ngatain orang. Gue pilih cara nyata. Ibaratnya setitik embun di padang pasir. Daripada banyak ngerepotin orang. Karena gue cinta Jakarta, kota leluhur gue.

Bagaimana kalau leluhur tidak dari sini, Bang?

Bukan karena leluhurnya, kebetulan aja leluhur gue dulu dari sini. Mungkin leluhur gue (asalnya,-red) dari mana juga nggak tau. Namun bagaimana gue merasa memiliki kota ini, itulah filosofis dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung. Siapapun elu, kalau emang disini, ya Jakarta kampong lu. Tanpa memandang strata, suku atau agama.

Ini yang aneh dan harus dirubah. Sekarang masih ada kelas-kelas, gue orang Padang, gue orang Jawa, gue orang Banten. Padahal udah tujuh turunan anak-beranak disini masih aja ngaku orang Padang, Jawa, Banten, kan aneh. Ya orang Jakarta dong, ini kan kampung kita. Lu jangan cuma nyari duit terus lu umpetin.Jakarta lu jadiin closet doang.

Cara mengubahnya, gimana tuh Bang?

Jadi kita harus mengembalikan Jakarta ke kultur aslinya. Kembali ke filosofi kata Jakarta itu, yang berasal dari kata Jayakarta, artinya, kemenangan yang adem (damai,-red). Kalau mau tahu ruh Jakarta, ya perdamaian. Kalo lu gaya Belanda, ya berantem terus. Gue tampang jawara tapi hati adem…hehehe.

Nah, dari itu maka filosofi gue adalah “Alam bukan warisan, tapi titipan cikal bakal anak cucu”. Filosofiiniuntuk jauh kedepan, buat siapa aja yang tinggal di Jakarta punya tanggung jawab moral. Ini yang sampai sekarang gue sama komunitas Sangga Buana perjuangkan. Harusnya semua orang Jakarta berpikir seperti itu. Biar kite sama-sama Cinta Jakarta. Gue kenal beberapa temen Inggris. Meskipun Inggris modern, tapi Kingdom Brittania-nya tetap terasa. Nah kalau lu? Mau ke Arab-laguan lu? Maka udeng-udeng (yang ada,-red) asal ngaji, malah bikin macet orang. Emang jalanan punya bapak moyang lu?

Hehe, Bagaimana Karakter Jakarta yang Abang impikan?

Ya gitu, gue memimpikan Jakarta yang beradab, yang berkarakter sesuai dengan trah asli Jakarta. Sekarang, apa gitu karakternya (Jakarta,-red)? Dulu disini juga multi etnis, namun tetap terjaga ratusan tahun. Sekarang lu mau (berhaluan,-red) kemana? Eropa, Arab? Ini terjadi, karena Jakartanya sudah ditinggalkan.

Jadi dari situ gue berpendapat, dari budaya gue selamatkan alam ini. Gue ambil langkah nyata, karena dengan begitu gue punya jati diri. Kemana-mana gue pake pangsi (pakaian khas Betawi,-red). Amerika kan gaya cowboy yang dimajuin. Kenapa kita gak pakai gaya jawara-jawaranya.

Spesifiknya, karakter Jakarta itu seperti apa?

Dari dulu orang Jakarta itu musyawarah. Artinya, mementingkan orang banyak daripada diri sendiri. Contoh 80 persen jalanan yang ada sekarang adalah hasil sumbangan warga Jakarta. Itu sumbangsih orang Jakarta, kerelaan. Hingga menjadi kota bernama Jakarta. Kenapa? Karena siapapun yang dateng kemari diterima.

Bagaimanapun Jakarta berjuang melihat jati diri orangnya. Kalau lu membangun karena orientasi profit (keuntungan,-red), tuh Monas pindah tuh. Tapi kalau lu bangun dengan kearifan, profit pasti ngikut. Ibarat kata orang tua “Kalau nanem padi pasti tumbuh rumput juga. Kalau nanem rumput padi gak akan ikut tumbuh”. Makanya gue masuk ke AMDAL (di sekitar pesanggrahan,-red), gue beri pengertian, gue pengaruhin, biar bagaimanapun gue gak mencegah pembangunan. Tapi gimana cara membangunnya supaya gak menganggu alam.

Gimana tuh Bang caranya biar bisa ngasih pengertian?

Kawasan ini (Ruang Terbuka Hijau Pesanggrahan,-red) luasnya 40 hektar, harga tanah 5 juta per meter.Kenapa semua pihak menerima? (adanya RTH ini,-red). Ya karena ini milik kita semua, orang Jakarta. Secara badan pengelolaan, tidak jauh dari “manajemen kearifan alam”. Karena yang membangun gak harus pemerintah tapi juga masyarakatnya.

Sebenarnya, ini kan satu bentuk protes, tapi bentuknya halus gak pake ngata-ngatain orang, gak macetin Sudirman. Gue bersihin sampah, bersihin kali, kalinya bening, alamnya ijo, nyontohin orang kan? Apa pernah gue menagih uang? Gak kan. Tapi kan orang merasa, ada apa sih? Siapapun juga ini kampung lu.

Kenapa gue gak digaji tapi tetep nanem pohon, karena gue cinta ama kampung gue, ama Jakarta. SK gue dari langit bukan dari SBY. Kalau SK gue dari SBY atau Foke (gubernur,-red) capek gue nungguin honor. Macem filosofi “Gak kering karena kemarau, gak lapuk karena hujan”. Itu musti!

Dengan hasil yang sudah dicapai sekarang ini, Bang Idin sudah merasa berhasil?

Belum, yang gue impikan adalah Jakarta yang punya peradaban, ada kepedulian sesama, punya budaya. Budaya berasal dari dua kata “Budi dan Daya”. Ya sekarang, yang kaya makin kaya yang miskin tetep miskin. Tapi gue harus berusaha dong, gue berbuat aja yang punya nilai bagi orang lain. Itu yang gue ajarin di anak-anak Sangga Buana. Siapapun dia.

Tapi, Abang yakin itu semua bisa tercapai?

Bisa. Tapi itulah, jangan orientasi proyek. Kembali ke kearifan alam. Apa sih yang gak dipunya Jakarta? Selama ini gue jarang belanja di mall, gue lebih suka belanja di pasar. Karena ada interaksi disana. Jadi—kembali lagi—membangun Jakarta harus punya kearifan, siapapun dia. Jakarta punya modal, kemauan aja yang gak kita punya sekarang.

Sekarang bagaimana orang yang gak bisa sekolah, dan gak punya kerjaan? 27 trilyun APBD untuk mengangkat warga dari kemiskinan sebenernya bisa, cuma gak ada kemauan. Bangga cuma karena gebyarnya. Gue ingin Jakarta jadi green city yang adem. Bisa kok, gue udah buktiin sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun