Setelah masa itu, pada dinasti Abbasiyah juga tidak sedikit “khalifah” yang mengangkat pejabat tinggi dan gubernur non-Muslim di pemerintahan mereka.
Umat Islam yang berakhlak dan mengikuti pendapat A, tidak boleh mencaci maki mereka yang mengikuti pendapat B, dan sebaliknya.
DI kalangan NU, ada kiyai yang setuju dengan pandangan tentang keharaman memilih gubernur non-Muslim, tidak sedikit pula yang memperbolehkan memilih gubernur Muslim. Para tokoh Islam di luar NU juga ada yang berpendapat boleh, dan ada pula yang berpendapat tidak boleh.
Kiyai dan murid-muridnya yang memilih pendapat A juga tidak boleh mencaci dan menghujat kiyai lain dan satri-santrinya yang memilih pendapat B, dan sebaliknya.
Di Mesir, ada Syaikh Ali Jum’ah Al-Azhari Al-Syafi’i ; mufti mesir al-saabiq, dan Syaikh Jamal Farouq; dekan fakultas Dakwah Islamiyah Al-Azhar yang berpendapat bahwa memilih gubernur, menteri atau presiden non-Muslim di sebuah negara republik demokratis yang berpunduduk mayoritas Muslim adalah boleh.
Darul Ifta Al-Misriyah, atau lembaga fatwa Mesir juga menyatakan bahwa memilih gubernur non-Muslim, di sebuah negara republik demokratis (bukan berbentuk kerajaan Islam atau khialafah Islamiyah), adalah boleh.
Para ulama dan kiyai yang berbeda pendapat ini semuanya berilmu. Yang berpendapat A, mempunyai dalil dan tafsir, begitu juga yang berpendapat B, memiliki dalil dan tafsir. Masing-masing fihak juga mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang masalah ini sejak masa sahabat sampai para ulama di zaman kita.
Para pimpinan umat di negeri ini harus memberitahu masyarakat bahwa ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hal ini. Mereka juga harus memberi nasihat kepada masyarakat agar ketika memilih mengikuti satu pendapat/ijtihad dari para ulama dan lembaga fatwa tertentu, mereka harus menghormati orang lain yang berbeda pilihan fatwa.
Jangan ada fihak yang memaksa Umat untuk memilih salah satu pendapat, sambil mengajari mereka untuk mencaci dan menghujat fihak lain yang berbeda pilihan fatwa. Sesungguhnya para pencaci termasuk golongan yang sangat buruk dalam pandangan Islam. Dan dosa dari caci maki itu sangat berat di akhirat karena berkaitan dengan Haq Adamiy.Caci maki juga bisa menimbulkan kerusuhan bahkan pembunuhan, yang sangat berat urusannya di akhirat.
Jika akhlak dan adab ini tidak ditinggalkan oleh para pemimpin Umat, In Sya Allah masyarakat menjadi lebih tercerahkan dan tenteram. Namun jika akhlak itu ditinggalkan, lalu ada fatwa dan pendapat/ijtihad ulama lain yang juga otoritatif disembunyikan, maka bisa muncul pernyataan yang mirip dengan mukaddimah di atas:
“Orang-orang awam ada yang “dibohongi” dalam pilkada menggunaka ayat-ayat AL-Qur’an. Potensi kerusuhan dan kerusakannya sangat besar. Semoga Allah menjaga negeri ini dari segala bentuk kezaliman, kejahatan, dan kesalah-fahaman. “