Indonesia tidak bisa lepas dengan keberagaman budaya di dalamnya. Kleden (2006) menyatakan bahwa antara kebudayaan dan kehidupan tidak dapat dipisahkan ( Arybowo, 2010, p. 210).Â
Oleh karena itu, budaya dapat mengalami konstruksi dan reproduksi di berbagai bagian budaya yang didasari oleh usaha untuk menghadirkan budaya masa lalu ke kehidupan saat ini ( Arybowo, 2010, p. 210).Â
Seperti yang kita tahu bahwa keberagaman budaya di Indonesia mencakup banyak hal seperti, ritual agama, alat musik, tarian, makanan, hingga pakaian tradisional. Pakaian tradisional sendiri memiliki berbagai macam jenis yang sesuai dengan wilayah daerahnya.Â
Salah satu pakaian tradisional yang dijadikan sebagai pakaian nasional adalah kebaya yang berasal dari Jawa dan Bali. Walaupun tidak digunakan setiap saat seperti jaman dahulu, tetapi sampai saat ini kebaya masih kerap digunakan oleh umat hindu untuk melakukan persembahyangan ke Pura atau digunakan untuk acara lainnya. Berkembangnya zaman modern saat ini, membuat kebaya tidak lagi dibuat dengan model yang sederhana.Â
Banyak variasi dan modernisasi bentuk, warna, hiasan yang membuatnya lebih bermacam-macam. Lalu, apakah keberagaman model kebaya saat ini dapat menjaga eksistensinya di masyarakat? dan Apakah pemaknaan kebaya sejak jaman dahulu masih ada?
Tidak hanya diketahui oleh masyarakat Indonesia, keunikan kebaya nyatanya juga dilirik oleh beberapa indonesianis. Victoria Cattoni seorang sarjana seni rupa dari Universitas Charles Darwin ini menjadi salah satu orang yang tertarik untuk membahas kebaya, dengan judul penelitian " Through the Kebaya: A Cross-cultural project Indonesia- Australia" pada Juli 2004.Â
Dalam tesisnya tersebut, beliau menjelaskan bahwa ia menggunakan kebaya atau blus tradisional untuk kaum perempuan di Indonesia sebagai alat untuk mengeksplorasi bentuk identitas budaya (Cattoni, 2004). Riset tersebut juga tidak hanya membahas bagaimana kebaya menjadi identitas budaya, tetapi juga melihat kaitannya akan aspek feminisme.
Kebaya yang dijadikan sebagai kostum nasional di era Soekarno tahun 1940-an ini, dilihat sebagai lambang nilai tradisional dan peran perempuan. Cattoni menjelaskan bahwa kebaya melambangkan emansipasi wanita di Indonesia yang diawali oleh sosok Raden Ajeng Kartini.Â
Hal ini dibuktikan dengan adanya perayaan tahunan untuk memperingati Hari Kartini, sehingga banyak siswi di Indonesia yang menggunakan kebaya sebagai lambang kemajuan dan tradisi yang sudah ada (Cattoni, 2004).Â
Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebaya memiliki perbedaan dari waktu ke waktu. Dimulai pada akhir abad ke-19, kebaya berbentuk kemeja panjang, bagian depan terbuka, diikat dengan bros, dan dikenakan diatas kemben. Saat ini, kebaya akan semakin memendek, dibuat dari model kain dan gaya yang semakin modern ( Cattoni,2004).Â