Di samping itu, keterbatasan informasi yang bisa diakses melalui berbagai bentuk media seperti misalnya alat komunikasi khusus bagi wisatawan tuna rungu dan juga fasilitas huruf braille bagi penyandang tuna netra juga sangat jarang ditemui di destinasi wisata Indonesia.
Berbagai faktor menjadi latar belakang sistem kebijakan Indonesia belum mampu menghilangkan kendala yang dihadapi masyarakat untuk mengakses pelayanan publik yang inklusif. Â Faktor-faktor tersebut antara lain adalah kesenjangan kemampuan ekonomi antara satu kawasan destinasi dengan destinasi lain, kondisi fisik dan demografis penduduk sekitar, tingkat intelektual akan pemahaman kebutuhan para difabel oleh masyarakat setempat, juga rendahnya permintaan.
Pemenuhan Hak Difabel atas Aksesibilitas Pariwisata Indonesia
Di Indonesia sendiri, hak setiap warga negara termasuk penyandang disabilitas untuk mendapatkan fasilitas di sektor kebudayaan dan pariwisata telah tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.Â
Pada pasal 16, hak tersebut dijabarkan dalam tiga hal, yaitu memperoleh kesamaan dan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan seni dan budaya; memperoleh kesamaan kesempatan untuk melakukan kegiatan wisata, melakukan usaha pariwisata, menjadi pekerja pariwisata, dan/ atau berperan dalam proses pembangunan pariwisata; dan mendapatkan kemudahan untuk mengakses, perlakuan, dan akomodasi yang layak sesuai dengan kebutuhannya sebagai wisatawan.
Paradigma negara kepada masyarakat penyandang disabilitas harus bergeser dari paradigma karitatif (charity based) menjadi paradigma perlindungan dan pemenuhan hak (human rights based). Sen (2007) menyatakan bahwa ada tiga kebutuhan utama penyandang disabilitas dalam berwisata yaitu: tersedianya aksesibilitas, transportasi, dan akomodasi.Â
Dalam mewujudkan pemenuhan aksesibilitas, transportasi, dan akomodasi bagi penyandang disabilitas, dibutuhkan pembangunan yang universal dengan memperhatikan kebutuhan yang menyentuh semua kalangan karena setiap individu dalam berwisata memiliki kebutuhan yang berbeda tergantung dengan kelemahan yang dimiliki.Â
Konsep pariwisata yang ramah terhadap penyandang disabilitas dapat diwujudkan melalui beragam cara, diantaranya seperti menyediakan akses transportasi umum yang aman, terjangkau, mudah diakses dan berkelanjutan bagi semua; alternatif informasi dengan format yang accessible melalui jasa pemandu wisata yang memiliki keterampilan bahasa isyarat untuk teman tuli dan narator untuk penyandang netra; fasilitas umum seperti toilet dan lift yang dapat digunakan oleh penyandang disabilitas; peralatan disabilitas (kursi roda) yang tersedia untuk umum dilengkapi dengan akses jalan yang memfasilitasi kebutuhan penyandang disabilitas (guiding block); dan lain sebagainya.
Di samping penyediaan fasilitas bagi kelompok difabel, diperlukan juga sosialisasi untuk menyiapkan masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam kesuksesan pembangunan pariwisata inklusif. Masyarakat juga harus ikut berkontribusi melalui tindakan-tindakan yang mencerminkan nilai anti diskriminasi terhadap kelompok penyandang disabilitas hingga pemahaman mengenai penggunaan fasilitas yang diperuntukkan khusus bagi difabel sehingga masyarakat nondifabel dapat memprioritaskan penggunaan fasilitas untuk mewujudkan manfaat yang tepat sasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H