Mohon tunggu...
Jingga Rangkat
Jingga Rangkat Mohon Tunggu... -

Aku tetap aku tak peduli siapa Kamu..... \r\n\r\nkeraguanku bukanlah sebuah kebingungan. keraguanku untuk membuka sebuah kemungkinan!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[ECR #5] Tuhan, Haruskah Hamba berbagi Suami?? 2

4 Agustus 2012   15:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:15 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Jingga… abang jenuh dengan pernikahan kita!! Mengertilah….”

“Apa yang abang tidak suka dari diri jingga?? Katakan Bang… jingga akan mencoba berubah, tapi jangan minta jingga berbagi abang dengan perempuan lain… Abang jenuh dengan malam kita yang akhir-akhir ini agak datar??? Bang… tahanlah sebentar… 2 bulan lagi anak kita lahir.. kalau perut ini sudah tidak sebesar ini jingga pasti sanggup seperti dulu lagi….”

“Jingga sayang… bukan hanya masalah itu! Mengertilah… abang sendiri tidak tahu mengapa abang begini… rasa ini terlalu mendesak hati abang…. Jangan menangis begitu… abang jadi sedih.. kasihan anak kita kalau jingga terus menangis…”

"Bang, Jingga menyesal janin ini ada di perut jingga!! Jingga gak mau baang... jingga ga mau....  buang saja dia Bang!! baru abang menikah lagi!!"

Plaaaak!! Tamparan bang Ibay tidak dapat aku hindari lagi...

"Sadaar jingga! itu anak kita! bagaimana mungkin kau berpikir matikan darah dagingmu sendiri!! "

"Baru kali ini abang sekasar ini ke Jingga... baru kali ini abang tega pukul jingga.. hanya karena kembang kan??? hanya karena dia kan??? Baiklah... silahkan saja abang nikmati janda centil itu! tapi jangan pernah sentuh jingga lagi!! Puas??? Puas Bang???"  aku tidak lagi sanggup berdiri terlalu lama dihadapan lelaki itu.  Tanpa berpikir dua kali, aku tinggalkan rumah suamiku, sementara dia hanya bisa mematung tanpa beranjak dari tempatnya berdiri sedikitpun. Mulutnya terkunci tak ada satu katapun yang terucap.

langkahku tak bisa berhenti.... Kak Asih! mungkin kak Asih yang masih bisa membuatku tenang.  Tak peduli dengan besarnya perutku yang sudah tujuh setengah bulan menjadi tempat  nyaman benih suamiku, aku lari semampu dan sekuatku, bukan karena aku takut gelap! hanya perih di dada ini sudah tak sanggup aku tahan sendiri.

"Kak Asih... Kak... buka pintunya kak... Papa... Pa... Papa Windu... buka pintunya... " Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku berusaha ketuk pintu depan rumah Papa Windu. Sampai saatnya kak Asih tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah..

"Jinggaaa... ada apa ini sayang?? kamu pucat sekali jingga??   tanya kak Asih kuatir..  "Ayah... Ayah... bantu Asih... Jingga sangat pucat"

mendengar teriakan Asih..  Papa Windu buru-buru menghampiri kami. "Ya Tuhan Jingga... ada apa dengan kamu nak??"

Napasku sesak... sulit sekali aku menata satu persatu napas ini,

"Ahhhh... perutku...  Kak Perutku saakiit kak...." Ada yang melilit luar biasa di perutku, rasanya setiap otot-otot perut ini jadi kaku dan tegang luar biasa, sakit... sakitnya luar biasa!...

Papa dan Kak Asih berusaha membaringkan tubuhku di kamar depan, aku sudah benar-benar tersiksa dengan sakit di perut ini, seperti ada ribuan jarum menusuk disana.

"Asih... Jaga Adikmu.. Ayah siapkan mobil , kita ke rumah sakit sekarang" Tanpa menunggu jawaban Asih.. Papa segera meninggalkan kami.

"Astafiruloh... Jingga kakimu... kakimu... jingga,... " Asih melihat darah segar keluar diantara kedua Pahaku..

"sakit Kak... sakit.... jingga ga kuat kak.."

"Sabar sayang... sabar... sebentar lagi kita ke rumah sakit... sabar yaa..."  Asih berusaha dengan cepat menghubungi Mommy  dengan ponselnya. Entah ada dialog apa antara mereka, aku sudah tak sanggup mendengarkannya. Aku hanya bisa menangis menahan sakit yang luar biasa ini.

Tak lama kemudian mereka membopongku ke dalam mobil sampai aku tergeletak di ruang bersalin..

Dengan sisa tenagaku aku berusaha mengejan...  Perih! sakit! tubuhku sakit! jiwaku sakit! Tuhan aku sudah tidak sanggup! setelahnya aku sudah tidak ingat apa-apa. Saat aku sadar aku sudah berada di kamar Pasien dengan selang-selang infus dan oksigen ditubuhku. Aku melihat Lelakiku...  duduk disisiku, aku tahu matanya begitu kuatir denganku, tapi hati ini tetap dingin dan perih.

"Bagaimana anak kita Bang? Cacatkah??" tanyaku lemah..

"Nggak sayang... anak kita lahir  sempurna.. Abang juga sudah membacakan doa di telinganya, dia Putri yang cantik..."

"Putri?? Dia Putri??  KANAYA EDUARD... "

"Iya sayang... nama itu untuk putri cantik kita..  Kanaya berarti Jalan penghidupan yang tentram, merdeka, bahagia dan sempurna, kita hanya berharap dan berusaha semampu kita supaya  Putri kita menjadi putri yang bahagia..."

Dinding-dinding hati ini sudah beku dengan tiap kata "KITA" yang keluar dari bibir suamiku... yang aku pikirkan hanya bagaimana putriku...

"Dimana dia sekarang bang?"

"Sabar sayang... dia di ruang Inkubasi,  Kanaya lahir prematur, sedang kamu tadi terpaksa dioprasi... dirimu pingsan..."

"Kasihan Kanaya... "  keluhku lirih... air mata tak dapat lagi aku bendung.  "Tinggalkan aku sendiri bang.. jingga ingin sendiri..." pintaku datar...

"Ada Mommy, Papa Windu, Asih dan Aciek didepan. Bagaimana??"

"Mommy... jingga ingin ditemani mommy...  Abang keluarlah... jingga mohon..."

Bang Ibay melangkah keluar, hati ini terasa disayat ribuan sembilu saat menatap punggungnya menjauh. Mommy... masuk dengan semua air mata kekuatiran seorang Bunda...

"jingga... yang sabar ya sayang..." ucap mommy terbata-bata...

"Mom... jingga nanti pulang ke rumah Mommy yah... jingga ga mau kembali kerumah abang... abang sudah tidak cinta jingga" pintaku perih...

"Iya sayang... yang penting jingga sehat dulu... jangan sedih yang terlalu sayang... setidaknya demi Kanaya... biar ASI mu bisa keluar banyak...  bisa sayang??"

"Jingga harus bisa demi Kanaya Mommy... dia hidup Jingga... Dia napas jingga...  kami berdua harus hidup meskipun tanpa sentuhan seorang ayah... Jingga berdosa Mom... tadi jingga sempat teriakkan ingin dia mati... jingga berdosa mommy...."

"Mommy paham perasaanmu sayang... yang terpenting bagaimana didepan nanti dirimu menjadi Bunda terbaik untuk Kanaya..." Setelahnya kami saling membisu... aku sibuk dengan dialog hatiku sendiri...

Gusti… jika bahagia itu bukan hak ku… setidaknya lepaskan aku dari rasa sakit ini, sungguh! Aku tidak lagi bermimpi menjadi perempuan yang berbahagia, itu terlalu mahal untukku… biarkan aku menikmati hidup tanpa rasa. Asalkan napas ini masih ada, setiap kewajiban hidup bisa aku jalankan, itu sudah cukup!

Gusti… dari mula bukan aku yang meminta hidup! Aku ada bukan karena aku mau!  hanya mampukan aku untuk bertahan. Setidaknya demi KANAYA… dia ada bukan karena pintanya, ulah ku dan ijinmu maka dia bernapas lewat napasku! Gusti… aku harus bertahan demi dia. HARUS !!!

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Apakah CINTA harus berakhir dengan LUKA??

Aaah... Perempuan lemah tak punya tempat diruang ini!

Luka boleh mencabik kisi-kisi jiwa!

tetapi seorang Perempuan Tegar tak akan mengijinkan Hatinya PATAH hanya dengan kata menyerah!!

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun