Mohon tunggu...
Cindy Zafira Kasaya
Cindy Zafira Kasaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Keberagaman Tradisi Antarbudaya selama Lebaran di Perkotaan

6 Mei 2022   22:14 Diperbarui: 12 Mei 2022   10:50 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mutiara: memakai hoodieCindy: memakai baju hitam bergaris (dokpri)

Oleh: Cindy Kasaya

Perihal: Pembuatan artikel ini untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah Komunikasi Antarbudaya

Pada hari Senin, tanggal 2 Mei 2022, seluruh umat muslim di dunia memperingati hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1443 Hijriah atau juga yang biasa disebut dengan hari raya Lebaran. Di Indonesia, sudah menjadi hal yang wajib dilaksanakan oleh semua masyarakat yang merayakan hari raya Idul Fitri, pasti merayakannya bersama dengan keluarga serta teman terdekat. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa dengan luasnya geografis Indonesia, akan mewujudkan keberagaman cara serta tradisi dalam memperingati hari raya. Daerah perkotaan seperti Jakarta dan Tangerang, di mana banyak masyarakat daerah pindah untuk mencari penghidupan yang lebih baik, maka keberagaman seperti suku, agama, dan budaya akan sering dijumpai juga. Dan sudah hal yang lazim menjelang hari raya bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan, yang pulang ke tempat asalnya, atau yang biasa disebut pulang kampung, agar bisa bertemu dengan keluarganya. Tetapi, dikarenakan terjadinya urbanisasi --perpindahan penduduk dari desa ke kota untuk bekerja-- banyak pula yang merayakan Lebaran di perkotaan. 

Saya sebagai orang yang tumbuh dan besar di kota Tangerang dan memiliki keluarga besar yang tinggal di Jakarta, sudah sangat terbiasa merayakan Lebaran tanpa harus pulang kampung. Selama libur lebaran ini, saya mengamati perbedaan tradisi Lebaran dari dua pihak keluarga besar --yaitu dari pihak ibu dan pihak ayah-- serta tradisi Lebaran saya dan teman dekat, dan juga tradisi teman dan keluarganya. Melihat perbedaan yang menarik untuk ditelaah dari aspek komunikasi antarbudaya.

Keluarga Ibu

Tepatnya pada tanggal 2 Mei 2022, saya dan keluarga inti (Ibu, Ayah, Kakak, dan Adik) mengunjungi kediaman keluarga baik dari pihak Ayah maupun dari pihak Ibu saya. Setelah melakukan Sholat Ied pada pukul 08:00 WIB, kami sekeluarga berangkat ke rumah Orang tua (Ibu) dari pihak Ibu, atau yang biasa kami sebut dengan rumah Nenek. Karena terdapat peraturan dalam keluarga, bahwa wajib untuk selalu mengunjungi rumah orang-orang yang lebih tua saat hari raya sebagai bentuk rasa hormat kepada mereka.

Saat tiba di rumah Nenek, saya dan keluarga disambut dengan keceriaan dari saudara-saudara yang sudah tiba disana. Lalu, kami langsung bersalam-salaman dengan Nenek kemudian saudara-saudara yang lain seperti Bibi, Paman, dan saudara-saudara sepupu. Setelah selesai bersalam-salaman, kami dibebaskan untuk melakukan apapun. Baik bercengkrama, bersantai di kamar, ataupun makan, tidak ada keharusan untuk melakukan hal-hal tertentu.

Keluarga besar dari pihak Ibu memiliki pengaruh budaya  yang berasal dari Sumatera Barat dan Jawa Tengah, karena Kakek saya yang asli dari Sumatera Barat lalu Nenek tumbuh dan besar di Jawa Tengah. Kemudian mereka pindah ke Jakarta saat ingin mulai berkeluarga. Walaupun begitu, tidak ada tradisi-tradisi yang mengikat ataupun diajarkan secara turun temurun oleh Kakek ataupun Nenek. Dan karena keluarga dari pihak Ibu saya sudah tinggal di Jakarta dan Tangerang sejak Ibu saya masih anak-anak, alhasil keluarga mereka tidak memiliki tradisi dari adat-adat tertentu, baik dari Sumatera Barat maupun dari Jawa Tengah.

Keluarga Ayah

Setelah kami selesai mengunjungi keluarga dari pihak Ibu, kami langsung berangkat menuju kediaman keluarga dari pihak Ayah. Saat tiba, kami langsung disambut oleh para saudara. Saat itu juga kami bersalam-salaman dengan semua saudara yang telah tiba, lalu karena sudah memasuki waktu Sholat Dzuhur, kami diarahkan untuk segera melakukannya. Dengan persepsi agar bisa bebas melakukan aktivitas lain seperti makan ataupun bercengkrama sehingga tidak akan meninggalkan kewajiban Sholat. Setelah selesai sholat, kami diarahkan untuk makan hidangan yang sudah disediakan. Lalu, kami sekeluarga makan di meja makan besar sekaligus berbincang-bincang santai dengan saudara-saudara lain. Tidak lama setelah itu, kami mengabadikan momen acara dengan mengambil gambar dengan seluruh anggota keluarga. Setelah itu, dilakukan kegiatan berdoa bersama sebagai tanda bersyukur atas Ramadhan tahun ini serta berharap agar bisa dipertemukan oleh Ramadhan tahun berikutnya. Serta, ditegaskan kembali tentang pentingnya untuk memprioritaskan hubungan keluarga dan menjadikan agama sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Setelah acara selesai kami sekeluarga dan saudara-saudara lain, pamit pulang.

Teman-teman dekat

Dua hari kemudian, yaitu pada tanggal 4 Mei 2022 pukul 13:00 WIB, saya dan 4 orang teman dekat, berkumpul untuk merayakan Lebaran bersama. Kami berkumpul ke kediaman salah satu teman saya yang bernama Mutiara. Saya dan Mutiara berbincang-bincang santai sekaligus menunggu teman-teman yang lain datang. Saat teman-teman yang lain sudah tiba, kami langsung makan hidangan yang sudah disediakan dan kami pun berbincang-bincang tentang tradisi Lebaran dalam keluarga masing-masing. Saya pun bertanya kepada Mutiara,

"Lu sama Ibu, Ayah, Adik, kalo lebaran ga ngumpul ke rumah sodara mut?"

"Iya ke rumah sodara gua di deket sini. Karena keluarga gua betawi kan.  Dan walaupun ga wajib tapi selalu ke rumah saudara ortu paling tua, karena itu tradisi kita. Terus juga keluarga gua jarang kumpul, sekalinya ngumpul lebaran kan cuma makan sama ngobrol doang. Makanya lebih enak kalo semua pada dateng sih." 

kemudian kami melanjutkan bincang-bincang sekaligus makan bersama. Percakapan kami ini selesai hingga malam hari menjelang waktu pulang. Sebelum pulang pun, kami berlima mengabadikan momen dengan mengambil gambar bersama-sama. 

Analisis

Dinamika dan tradisi Lebaran dari pihak keluarga besar Ibu saya, terlihat sangat kontras apabila dibandingkan dengan tradisi dan dinamika dari keluarga besar Ayah. Dikarenakan Ayah saya datang dari keluarga yang memiliki moral budaya Jawa yang masih dilaksanakan dan dihormati hingga saat ini. Dari segi berperilaku, cara berbicara, serta runtutan kegiatan yang sangat diperhatikan dan ditaati. Sementara, apabila mengunjungi keluarga dari pihak Ibu, kami hanya bersilaturahmi dan tidak melakukan tradisi atau mengikuti tata krama tertentu. Tidak lupa juga, tradisi lebaran bersama teman yang tidak mengikuti batasan budaya tertentu maupun tradisi yang mengikat dan hanya mementingkan kenyamanan semua orang dalam lingkarang pertemanan tersebut.

Dari tradisi-tradisi lebaran yang berbeda-beda, dapat dikaitkan dengan pendapat dari Mary Jane Collier, bahwa banyak kelompok yang membentuk sistem budayanya sendiri (Basuni, 2020). Sehingga memungkinkan bagi kelompok tersebut untuk menentukan tradisi sesuai keinginan para anggotanya. Geografis juga berperan penting dalam pembentukan budaya, seperti apabila seseorang tinggal di daerah pedesaan yang belum terlalu dipengaruhi oleh globalisasi, akan memiliki tradisi yang lebih kental. Dibandingkan dengan seseorang yang tinggal didaerah perkotaan akan menerima pengaruh globalisasi, serta dipengaruhi oleh efek asimilasi maupun akulturasi, menyebabkan nilai-nilai budaya asal orang tersebut akan perlahan-lahan berubah seiring berjalannya waktu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun