Musik merupakan salah satu elemen dalam yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Musik adalah bahasa yang universal sehingga bisa diterima oleh banyak orang, namun musik merupakan produk yang tidak lepas dari pengaruh budaya (Shaleha, 2019). Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti sering terpapar dengan yang namanya musik, misalnya saat ke caf, pusat perbelanjaan, mobil, dan lain-lain. Dengan adanya musik, membuat keadaan sekitar menjadi tidak terlalu sepi bahkan bisa membuat kita merasa rileks saat mendengarkan musik. Â Menurut data dari Media Info Center menunjukkan bahwa orang dewasa yang berumur diatas 18 tahun menghabiskan waktu rata-rata 21 jam perminggu untuk mendengarkan musik dari radio (dalam Shaleha, 2019). Ada banyak media yang bisa kita gunakan untuk mendengarkan music, bisa melalui MP3, Radio, Handphone, dan lain-lain. Seiring perkembangan teknologi, muncul banyak aplikasi yang bisa digunakan untuk streaming musik, misalnya Spotify, Resso, Joox, dan lain-lain. Namun, ada satu aplikasi streaming musik yang terkenal, yaitu Spotify. Aplikasi ini belakangan banyak dibicarakan dikalangan anak muda. Spotify diluncurkan pada September 2008 dan saat ini aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 500 juta kali di Play Store. Â Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa sekitar 46,9 juta orang Indonesia mendengarkan musik secara online (dalam Netti dan Irwansyah, 2018).
Nah, sebenarnya apa sih yang ingin saya bahas kali ini? Kali ini saya ingin membahas tentang Spotify dengan menggunakan  elemen konsumsi yang ada pada circuit of culture. Menurut Hall (dalam Junifer 2016) circuit of culture adalah proses kultural yang terdiri dari representasi, produksi, regulasi, konsumsi, dan identitas.  Dari lima elemen yang ada dalam sirkuit budaya, kali ini kita akan membahas  elemen konsumsi. Hall mengemukakan bahwa konsumsi yang dimaksud dalam sirkuit budaya ini adalah membeli produk, menggunakan produknya, menjadi bagian dari produk tersebut atau membuat produk tersebut menjadi bagian dari kita serta membayar untuk semua ini (dalam Junifer, 2016).
Setelah mengetahui apa itu sirkuit budaya dan pengertian konsumsi dalam sirkuit budaya mari kita bahas bagaimana aplikasi Spotify dalam elemen konsumsi. Aplikasi Spotify digunakan untuk mendengarkan musik atau podcast. Tersedia sangat banyak lagu maupun podcast dengan genre dan topik yang berbeda-beda. Â Spotify sendiri menawarkan efisiensi. Hanya dengan satu aplikasi dan satu akun, kita bisa memutar lagu dan podcast dari perangkat apa saja sehingga Spotify bisa menemani kegiatan kita sepanjang hari. Aplikasi ini bisa dinikmati baik secara gratis maupun berbayar. Apabila kita menggunakan aplikasi ini secara gratis maka kita akan mendapatkan iklan di sela-sela kita mendengarkan lagu. Maka, agar bisa tetap menikmati lagu di Spotify tanpa gangguan pengguna bisa berlangganan di Spotify dengan mengeluarkan sejumlah uang baik perbulan maupun pertahun.
Nah, itu dia analisis aplikasi Spotify dengan elemen konsumsi dalam sirkuit budaya. Sangat menarik bukan! Yuk kita belajar elemen sirkuit budaya lebih dalam lagi dalam Kajian Kultural Komunikasi.
Daftar Pustaka:
Shaleha, R. R. A. (2019). Do Re Mi: Psikologi, Musik dan Budaya. Buletin Psikologi, 27(1), hal 43-51.
Junifer, C. (2016). Brightspot Market sebagai Representasi Identitas "Cool" Kaum Muda di Jakarta. Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 21(1), hal 109-131.
Netti, S. Y. M. Irwansyah. (2019). Spotigy: Aplikasi Musik Streaming untuk Generasi Milenial. Jurnal Komunikasi, 10(1), hal 1-16.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H