Penggunaan simpanse sebagai objek penelitian didasari atas kemiripan gen yang dimiliki oleh simpanse dan manusia yang mencapai angka 96%. Perbedaan genetik antara manusia dan simpanse 10 x lebih kecil daripada tikus. Sehingga, simpanse digunakan sebagai pilihan utama percobaan obat.(Lovgren, Stefan, 2005)
Dengan banyaknya persamaan yang dimiliki oleh simpanse dan manusia, dapat disimpulkan bahwa nenek moyang manusia memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan simpanse. Manusia yang awalnya ditempatkan di famili yang berbeda dengan kera (The Great Apes) dipersatukan dalam famili Hominidae.( The Editors of Encyclopaedia Britannica, 2006)
Hal ini pula yang mendasari penelitian mengenai asal usul virus HIV/AIDS, yang setelah beberapa penelitian diketahui mirip dengan SIV (simian immunodeficiency virus) yang ditemukan dalam tubuh simpanse (Pan troglodytes) . SIV sendiri merupakan virus hasil hibridisasi beberapa macam virus, salah satunya berasal dari monyet. Virus inilah yang dipercaya apabila tertular ke manusia menjadi HIV-1-virus yang menyebabkan AIDS. Hal ini didukung dengan kesamaan bio-anatomi simpanse dan manusia. Karena kesamaan ini, virus apapun yang berhasil beradaptasi dan menyebar dalam diri simpanse bisa saja menjadi kandidat virus yang dapat menular dan menyebar dalam diri manusia. (Lovgren, Stefan, 2003)
Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) sendiri adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV. Virus HIV dapat secara drastis menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga penyakit, bakteri serta virus dapat dengan mudah masuk dan menginfeksi bagian tubuh penderita. Hal ini disebabkan karena HIV menyerang sel CD4 yang merupakan pelindung tubuh untuk melawan infeksi. Seseorang yang terjangkit virus HIV tidak dapat pulih sepenuhnya, atau dengan kata lain akan menderita HIV seumur hidup. HIV sendiri ditularkan melalui kontak cairan dengan seorang yang terinfeksi. Umumnya, seseorang terkena penyakit ini dikarenakan melakukan seks bebas, menggunakan jarum suntik yang tidak steril, ataupun memiliki penyakit menular seksual lainnya. Sekarang ini, seseorang yang menderita HIV menggunakan terapi antiretroviral (ART) untuk mengobati infeksi HIV, namun ART tidak dapat menyembuhkan penyakit tersebut dan hanya meminimalisir mutasi virus HIV. Hingga saat ini peniliti melakukan uji coba secara terus menerus untuk menemukan obat HIV dengan menggunakan simpanse sebagai alat uji mereka.(Andini, Widya Citra, 2019)
Walaupun ada banyak data yang mendukung bahwa simpanse dapat digunakan sebagai "alat" bagi kepentingan manusia untuk menemukan obat HIV/AIDS, namun diperlukan pula melihat sisi lain dari semua penelitian tersebut.
Pada awal tahun 1920, peneliti di Amerika Serikat mulai menggunakan bayi simpanse yang telah diculik dari hutan di Afrika Selatan dan Afrika Tengah. Untuk mendapatkan 1 bayi simpanse, pemburu harus membunuh satu keluarga simpanse tersebut. Tingkat mortalitas para bayi simpanse saat penangkapan dan saat dikirim untuk percobaan sangatlah tinggi. Beberapa yang selamat sampai Amerika menderita dan mati hanya selang beberapa waktu mereka berada  di laboratorium.
Kebanyakan dari simpanse yang berada di laboratorium Amerika Serikat secara sengaja diberikan virus-seperti HIV, hepatitis, kanker, malaria, penyakit jantung- walaupun teknologi canggih membuat penelitian ini sebenarnya tidak relevan. Setelah bertahun-tahun eksperimen, peneliti baru sadar bahwa tubuh simpanse tidak bereaksi dengan cara yang sama saat menjangkit penyakit yang sama dengan manusia. (Peta.org)
Penggunaan simpanse untuk uji obat hanya akan menyiksa simpanse dan secara tidak langsung turut mematikan ekosistem hewan tersebut. Di Indonesia sendiri, 70% spesies primatanya terancam punah, padahal Indonesia menjadi rumah  bagi 40 dari 200 spesies primata dunia. (Malik, Abdul, 2007) Melindungi setidaknya salah satu ekosistem primata tersebut, tentunya harus menjadi bahan pokok pemikiran masyarakat jaman sekarang ini.
Â
Salah satu cara untuk meminimalisir kemungkinan mematikan ekosistem simpanse dan tentunya hewan uji lainnya adalah dengan menghentikan Animal testing dan mempertimbangkan berbagai cara alternatif yang bisa digunakan untuk menguji coba obat.
Berikut disertakan berbagai alasan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangkan lebih lanjut :
1.Peneliti mengungkapkan bahwa hanya 5%-25% dari obat yang diujikan ke hewan hasilnya cocok dengan manusia.
2.Ada perbedaan mengenai  cara hewan dan manusia mencerna zat . Perbedaan itu mencapai kisaran 83%, yang berarti ada banyak sekali zat yang bekerja secara berbeda dalam tubuh hewan dengan manusia.
3.Sekitar 40% pasien mengalami efek samping setelah menggunakan obat, yang bahkan lulus pengujian pada hewan.
4.Banyak ahli kesehatan setuju kalau data dari pengujian hewan tidak semuanya begitu efektif untuk membuktikan seberapa aman sebuah produk untuk digunakan manusia.
5.Simpanse memiliki kemiripan 96% dengan manusia. Mereka memiliki kecerdasan, serta kesadaran yang mungkin hampir sama dengan manusia. Apakah manusiawi melakukan Animal testing kepada mereka?
(Rahayu, Aninda, 2017)
Melalui beberapa hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Animal testing tidak sepenuhnya efektif dilakukan, karena dari banyaknya penelitian yang harus diujikan, dan banyaknya hewan yang  terbunuh, obat yang didapatkan jumlahnya minim. Bahkan dalam upaya menemukan pengobatan HIV/AIDS, hingga sekarang belum terkuak apa hasil yang didapat. Perlu diperhatikan bahwa beberapa obat yang diperoleh tersebut, masih dapat menimbulkan efek samping. Kekerabatan yang dekat antara simpanse dan manusia menjadi salah satu faktor lain. Manusia tentunya memiliki akalbudi, kesadaran, serta rasa peduli pada sesamanya. Dengan tingkat kekerabatan yang begitu dekat, melakukan suatu hal yang menyiksa dan bahkan merenggut nyawa bukanlah sesuatu yang manusiawi.
Hal-hal ini telah disadari oleh berbagai pihak, beberapa diantaranya :
-Uni Eropa (2010) mengeluarkan larangan penggunaan "The Great Ape"(kera besar termasuk simpanse,gorila, dan Orang Utan) dalam  penelitian. Dalam larangan tersebut disertakan pula penjelasan bahwa klausa upaya perlindungan menyatakan penggunaan kera besar hanya diizinkan untuk tujuan penelitian yang bertujuan untuk pelestarian spesies-spesies tersebut atau jika tindakan terkait dengan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa, melemahkan yang membahayakan manusia, diperlukan, dan tidak ada spesies lain atau metode alternatif yang akan cukup untuk mencapai tujuan prosedur.
(National Academy of Sciences, 2011)
-Australia (2003), menetapkan kebijakan yaitu, membatasi penelitian dan menetapkan bahwa "kera besar hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmiah jika kondisi berikut dipenuhi: Sumber daya, termasuk staf dan rumah, tersedia untuk memastikan standar perawatan yang tinggi untuk hewan; penggunaan akan berpotensi menguntungkan individu hewan dan spesies tempat hewan tersebut berada; manfaat potensial dari pengetahuan ilmiah yang diperoleh akan lebih besar daripada membahayakan hewan "
(Australian Government National Health and Medical Research Council, 2003)
-Amerika Serikat, para anggota parlemen Amerika Serikat mengajukan undang-undang yang melarang penelitian medis menggunakan simpanse.
(Liputan 6, 2011)
-Cina, pemerintah Cina mengeluarkan aturan dimana tidak ada aturan yang mewajibkan animal testing terhadap produk post-market atau produk yang diimpor. Padahal, awalnya negara Cina adalah salah satu negara yang memiliki aturan ketat yang mewajibkan Animal Testing.
(Ochell, 2019)
-Organisasi PETA(People for The Ethical Treatment of Animals), adalah organisasi hak asasi binatang yang berpusat di AS. Mereka memiliki 1,6 juta anggota dan pendukung, didirikan pada 1980 di Norfolk, Virginia. PETA adalah organisasi non profit , yang dibiayai hampir seluruhnya oleh sumbangan anggota. (Joseon, 2013)