Mohon tunggu...
Cindy Elfira
Cindy Elfira Mohon Tunggu... -

Seorang Ibu dan Anesthesiologist\r\n

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika Sang Ibu Meregang Nyawanya, Dimana Kita?

17 April 2014   04:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:35 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kemarin, seorang Ibu muda 23 tahun, hamil 38 minggu, di bawa dengan kondisi kritis ke UGD rumah sakit tempat saya bekerja. Demikian beratnya kondisi Ibu ini sehingga dokter spesialis anestesi dari RS pertama tempat ia datang ikut mendampingi ke RS kami. Ibu ini menderita kelainan jantung berat dan beresiko tinggi untuk melahirkan secara normal/spontan. Oleh karena itulah ia dirujuk ke RS kami sebagai pusat pelayanan penyakit jantung, untuk dilahirkan bayinya melalui  tindakan Sectio Cesarea (SC) . Kebetulan, sayalah yang mendapat amanah melakukan tindakan anestesi/ pembiusannya.

Kelainan jantung yang diderita Ibu ini adalah kebocoran pada sekat antara ruang jantung kanan dan kiri yang sangat lebar. Nama penyakitnya Atrial Septal Defect (ASD) tipe secundum/ ASD secundum. Darah bersih di jantung kiri yang seharusnya dialirkan melalui pembuluh darah besar ke seluruh tubuh, tercuri kembali ke bagian jantung kanan dan bercampur dengan darah kotor untuk kemudian dialirkan ke paru-paru kembali untuk mendapat oksigen. Jumlah darah yang mengalir ke seluruh tubuh dengan adanya kebocoran ini otomatis akan berkurang. Pasien biasanya belum menunjukan gejala pada fase awal, namun bila beban jantung bertambah, misalnya pada saat kehamilan maka mulai timbul gejala, seperti lekas lelah, sesak napas, keringat dingin, nadi cepat, dll.

Kelainan ini sebenarnya adalah penyakit yang diderita sejak lahir yang termasuk dalam kelompok Penyakit Jantung Bawaan (PJB). Dengan makin banyaknya pusat pelayanan kesehatan, harusnya kelainan ibu yang berdomisili di Tangerang ini dapat diketahui lebih dini.

Tapi apa mau dikata,  mungkin saja selama ini ia tidak pernah merasakan gejala atau karena gejalanya sangat ringan, ibu ini tidak pernah sempat mengetahui  kelainan jantung yang dideritanya,  hingga  usia kehamilannya menginjak 35 minggu. Ketika ibu ini datang dengan kehamilannya yang sudah cukup bulan, seiring dengan beban yang bertambah pada jantungnya, kondisinya pun sudah semakin payah dan kritis dengan tekanan di paru-parunya yang sangat tinggi akibat aliran darah ke arah paru yang deras.

Singkat cerita, akhirnya dengan segala persiapan obat dan alat monitoring lengkap, bekerja dgn penuh kehati-hatian, kewaspadaan, kecepatan, ketepatan dan ketelitian maksimal serta kerjasama tim yang baik, Ibu dan bayinya berhasil diselamatkan.

Tapi, ada satu hal yang tertinggal dan menggelitik nurani saya.  Yaitu ketika saya yang akan melakukan tindakan pembiusan dan dokter spesialis kebidanannya yang akan melakukan tindakan SC menerangkan semua hal, resiko baik dan buruk, beberapa pilihan tindakan anestesi, dan resiko tindakan SC pada Ibu ini, ia tampak sangat kooperatif dan menyetujui tindakan di Inform Consent yang disediakan.

Tetapi kami berdiskusi panjang lebar dan akhirnya Ibu ini tetap tidak menyetujui ketika sejawat saya, dokter spesialis kebidanan menerangkan bahwa dengan kondisi jantungnya yang sangat berat ini, sangat disarankan agar Ibu ini tidak hamil lagi. Sebab kehamilan berikut sudah pasti akan sangat beresiko, jauh lebih berat dari resiko yang dihadapi sekarang dan untuk itu dianjurkan untuk dilakukan tindakan sterilisasi.

Alasan yang dikemukakan, sebenarnya sudah beberapa kali saya dengar dari pasien- pasien saya dengan kondisi serupa. Tapi…. tetap saja, saya terhenyak dan kelu lidah rasanya ketika mendengar Ibu ini berkata, " Saya tidak mau disteril dok, saya mau bahagiakan dan berbakti pada suami, saya masih mau kasih dia anak. Kalau saya disteril nanti saya tidak bisa punya anak, bisa-bisa saya malah ditinggal oleh suami. Dan kalau saya ditinggal oleh suami, mana ada yang mau menikah dengan saya lagi? saya kan sudah tidak bisa punya anak?"

Masih tak berputus asa, kami masih mencoba membujuk dengan mengatakan bahwa biar kami saja yang bicara dengan suaminya, menerangkan kondisinya, kami yakin suaminya bisa mengerti, tapi … seperti sudah bisa saya perkirakan, lagi-lagi Ibu ini menolak. " Lebih baik saya meninggal ketika melahirkan dok, daripada saya di steril dan tidak bisa kasih anak pada suami saya."

Salah satu stigma perempuan bernilai sempurna dalam  suatu pernikahan, yaitu bila ia sudah dapat memberikan anak, kiranya masih sangat erat melekat di sebagian besar masyarakat kita. Kalau sudah kondisi begini, tak jarang saya temui, suami pun sulit untuk mengambil keputusan, yang bisa jadi juga karena terpengaruh kekerasan hati istrinya.

Ketika saya melihat pasien saya ini, seorang wanita muda yang sudah terbaring kritis, tak mampu lagi berbaring telentang karena sesaknya akan bertambah parah, napas satu persatu, kulit berkeringat, muka pucat karena kelelahan yang sangat, namun tetap bersemangat dan siap  meregang nyawa demi bayi yang dikandung, bertekad untuk berbakti dan membahagiakan suaminya. Maka sudah tak ada lagi yang mampu saya perbuat selain Bismillah…. dengan seizin dan pertolongan Allah, dan kemampuan yang diberikanNya pada saya dan seluruh tim , harus berikan semua yang terbaik  untuk menyelamatkan Ibu ini dan bayinya.

Ketika kondisi ini terjadi, sebenarnya, …… sampai dimana kewenangan dokter untuk menyarankan pasien dalam mengambil keputusan terhadap suatu tindakan yang sudah sangat dijelaskan resikonya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun